Calling...
-Haru
Percaya atau tidak, tangan Ginnan gemetar ketika dia membaca nama itu. Dia jadi bingung harus apa sampai-sampai memutuskan membiarkannya hingga mati sendiri, baru memasukkan nomor ponselnya.
Sialnya, Renji sudah keluar ketika beberapa pesan baru masuk. Dan Ginnan lagi-lagi terlonjak melihatnya yang sudah berbalut bathrobe hitam.
"Anu aku... hanya memasukkan nomor ponsel," kata Ginnan secepatnya. "Dan tadi Haru menelpon. Tapi maaf aku tidak berani mengangkatnya."
Renji mendekat dan Ginnan segera mengembalikan benda itu. "Sudah lama?"
Ginnan langsung menggeleng. "Tidak kok. Baru saja," katanya. "Oh, sepertinya ada pesan juga..."
Renji memandangnya sebelum membuka pesan-pesan itu. "Mandilah..." perintahnya. "Setelah ini kita keluar."
"Wow? Sungguh kita langsung keluar?" tanya Ginnan tak habis pikir.
"Memang kau tidak ingin makan malam?" tanya Renji dengan menghela nafas panjang. Ginnan pun diam. "Dan baju-baju yang kubelikan sudah ada di koper."
"Oh, oke..." kata Ginnan. "Kalau begitu aku mandi sekarang..."
Ginnan pun langsung melarikan diri ke kamar mandi. Jujur saja, dia berdebar gila barusan. Sebab entah kenapa Renji mendadak terlihat sedang menahan amarah. Dan kini ajaibnya dia mulai bisa membedakan ekspresi-ekspresi samar pria itu.
"Apa mereka sudah baikan..." gumam Ginnan sebelum menceburkan tubuh polosnya ke dalam bath-up. "Kenapa aku ikut-ikutan gelisah? Bodoh sekali..."
Ginnan memang tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tapi jika Renji menghabiskan waktu bersama orang lain-contoh dirinya dan Yuka waktu itu-berarti hubungan Haru dan Renji benar-benar kurang bagus. Tapi sebelum pikirannya merambat jauh kemana-mana, Ginnan pun menggelengkan kepala segera. "Ah, sudahlah... bukan urusanku juga..." gumamnya pelan.
.
.
.
Kau sudah sampai disana? Syukurlah.
Aku masih proses menghias kue tart untuk Sherly.
Ngomong-ngomong hari ini dia juga ulang tahun.
Jadi, nikmatilah waktumu, Ren...
-Haru
Itu pesan pertama Haru. Sembari mengusap rambut dengan handuk, Renji pun membalasnya.
Berikan salamku untuknya, Sheila juga.
Bilang selamat ulang tahun dan kado untuk mereka menyusul.
-Renji
Balasan dari Haru muncul tak kurang dari 10 detik dan langsung empat sekaligus.
Tentu. Terima kasih, Ren.
-Haru
Sebenarnya aku berharap kau juga di sini.
-Haru
Tadi Sheila dan Sherly bertanya apa kau akan ikut datang...
-Haru
Pesan ke empat berisi satu foto yang baru dijepret. Lokasinya di ruang tengah dimana Rose, Sheila, dan Sherly menyalakan kembang api kecil-kecilan. Sudut pandangnya diambil dari dapur apartemen Haru. Mereka bertiga pasti menunggu lelaki itu membuat kejutan. Menilik wajah Rose, wanita itu masih agak pucat pasca operasi dan terbaring di atas sofa panjang. Namun dia tetap mengamati kedua putrinya dengan senyuman.
Renji baru saja akan meremas ponsel itu secara emosional saat suara Ginnan memecah pendengarannya.
"Um... kali ini mandiku tidak lama kan?" tanya Ginnan. Lelaki itu juga berbalut bathrobe hitam dan menatap Renji dengan raut inosennya. "Yeah... aku hanya takut mengganggu jadwal liburanmu."
"..."
Ginnan langsung salah tingkah karena kedua mata emas itu tak berkedip sekali pun. "Apa aku baru melakukan kesalahan?" tanyanya, lebih terlihat tak berdosa.
Renji menggeleng, "Tidak juga," katanya. Lalu meletakkan ponsel di sisi tubuh. "Kemarilah..."
DEG
Ginnan tergugu seketika. "S-Sekarang?"
"Ya."
Meski ketar-ketir, Ginnan tetap mendekat dengan gerakan mengusap rambut basahnya yang pelan. Dia meneguk ludah ketika sebelah tangannya diraih.
"Apa?"
Renji mendongak menatapnya. "Naik ke pangkuanku."
DEG
"A-Apa?"
"Naik saja."
Handuk kecil sampai terjatuh dari tangan Ginnan saat itu. Dia meremas kedua bahu Renji gugup sebelum benar-benar menduduki pahanya pelan-pelan.
"Anu... aku pasti berat..." gumam Ginnan seperti bisikan. Dia belum benar-benar nyaman duduk ketika sudah berjengit tak biasa. "Atau aku turun saja, ya..."
"Tidak."
Ginnan menahan nafas ketika wajah Renji hanya berjarak sejengkal darinya. Mereka saling bertatapan. Anehnya, dia mendadak khawatir tadi tidak gosok gigi dengan bersih. Padahal biasanya tak pernah begitu. Mungkin karena dia sudah tahu Renji maniak pasangan yang bersih.
Kesiapan mental memang sudah Ginnan tabung sejak malam Renji menyewanya. Tapi... setelah berada di posisi ini dan malah melihat ekspresi kosong disana-Ginnan sangsi.
"Kau... kelihatan tidak baik," kata Ginnan. Dia melirik sebentar ke sisi saat Renji meremas pinggulnya lembut. Pria itu memang menyentuh, tapi keantusiasannya tak muncul sedikit pun. "Mn, apa kau mau berciuman untuk menenangkan diri? Ada masalah lagi ya."
"..."
"M-Maksudku, beberapa klienku ada yang sepertimu," imbuh Ginnan segera. "Mereka menyewaku saat sedang marah atau kecewa pada suatu hal. Jadi, tidak apa-apa. Aku bisa mengerti."
Semenit tetap diam-diaman, Renji baru mendekat dan memeluk tubuh di depannya. Pria itu menyandarkan kepala di bahu kiri Ginnan, terpejam, dan menghirup aroma sabun dari sana.
Ginnan yang bingung hanya bisa berkedip-kedip. Yang semula merasa cemas disentuh ini itu, dia jadi lebih tenang. Kali ini malah seperti mengemong bayi besar. Dia mengelus punggung tegang itu dan membiarkan bibir di lehernya mengecup beberapa kali. "Mn... anak baik... anak baik..." katanya dengan tersenyum.
Kalau boleh mengaku, Ginnan tak mengerti seberapa jauh kedalaman pikiran yang dipendam oleh Renji. Sebab pengidap bulimia sangat jarang. Mungkin hanya satu dari seribu orang di dunia. Jika sudah sampai tahap parah, pengidapnya tidak hanya akan muntah atau pingsan, tapi juga akan mimisan mendadak yang sulit berhenti. Lalu jika masih berlanjut, bisa-bisa Renji akan koma tiga atau empat hari setiap satu minggu, atau malah kalau dia lelah. Jadi, Ginnan tahu... ketenangan batin memang hal yang paling mendasar bagi pria itu. "Kau yakin mau makan di luar? Atau kubuatkan masakan yang kemarin lagi?"
Jawaban Renji justru jauh dari pertanyaan.
"Kepada siapapun. Sebenarnya aku lebih tertarik kepada leher daripada bibir."
Ginnan meneguk ludah kala Renji meraba kalungnya. "Ahaha... begitu..."
Renji meraih bandulnya yang berbentuk hati. "Mungkin kau cocok dengan warna ruby."
"Benarkah?" tanya Ginnan. Dia balas menatap mata emas yang mendongak itu. Tak menyangka. Sebab beberapa saat lalu mereka masih bertengkar di bandara. "Hmm... aku tak pernah memikirkannya. Tapi, terima kasih..."
Entah kenapa perasaan Ginnan mulai tidak enak.
"Kalungmu yang sekarang punya arti khusus?"
"Ini?" tanya Ginnan retoris. "Tidak juga. Aku membelinya waktu dapat bonus gaji."
Renji mendadak menegakkan punggung. "Kalau begitu lepas saja. Nanti kubelikan yang baru."
DEG
"Apa? Tidak perlu!" jerit Ginnan. Refleks dia memegangi kalung itu sebelum dilepas oleh Renji. Mukanya terlihat tidak suka. "Kau pasti akan menghabiskan uang lagi..."
Tak peduli, Renji tetap melepas benda itu.
"H-Hei kubilang tidak usah kan..."
Terlambat. Renji sudah tersenyum karena berhasil menyingkirkannya. Sebal, Ginnan meraba lehernya yang terasa kosong dan memelototi pria itu.
"..."
"Pokoknya bukan aku yang minta, " kata Ginnan. "Tapi tolong sekali jangan mahal-mahal, oke? Aku bisa-bisa merasa berhutang setelahnya."
"Berhutang?"
Ginnan mengangguk, "Iyalah. Mn, aku kan hanya dua minggu bersamamu," katanya. "Kalau kubawa pulang nanti kau sendiri yang rugi."
"..."
Sadar-sadar, sejak tadi Renji memperhatikan tiap gerak bibirnya ketika bicara. Ginnan pun menutup mulut dan bahkan menyembunyikannya ke bagian dalam pipi. Bola matanya bergulir ke sembarang arah. Salah tingkah. Dia bahkan menutup bagian itu dengan punggung tangan ketika pipinya mulai merona. "H-Hei... bisa tidak melihat ke arah lain?" pintanya. "Kau kan baru bilang tidak suka bibir."
"Bukan tidak suka," kata Renji. Tanpa berubah mimik sedikit pun. "Tapi aku lebih suka leher."
"T-Terserah yang mana saja."
"Berapa usiamu tahun ini?" tanya Renji tiba-tiba.
Sontak wajah Ginnan semakin memerah. "Ini bukan sesi wawancara!" jeritnya kesal.
Seringai terbit di sudut bibir itu. "Hmph, lupakan saja," kata Renji. "Aku sudah mengingat tahun lahirmu di paspor."
"Sial... setelah itu lalu apa?"
Renji menarik tangan Ginnan dan menahannya dalam genggaman. "Apa kau pernah memikirkan pernikahan?"
DEG
Kali ini wajah merah Ginnan sudah tak tertolong. "M-Memang apa hubungannya denganmu?!" katanya kesal.
Renji menggeleng. Tatapannya mendadak redup. "Kalau aku, itu adalah hal yang setiap hari kupikirkan..."
.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.
Ginnan peduli kepada Renji tanpa sadar. Sementara Renji memanjakan lelaki itu meski hanya sering diam. Sialnya, Ginnan tidak peka sedikit pun tentang hal itu...
Follow IG ku, @mimpi_work untuk melihat visualnya..