28 Bab 28: Pecahan Kaca

BRAKH!

Ginnan berjengit. Aoki menampar kanvas di belakangnya dengan kedua lengan. Mengunci. Lelaki muda itu bahkan meremas kain putih yang menyelubungi seluruh areal depan kanvas yang sudah pasti berisi lukisannya.

"Yuki bilang kau juniornya, kan?" kata Ginnan. Berusaha tetap tenang, padahal perbedaan tinggi badan mereka saja sudah membuatnya was-was. "Itu berarti kau juga lebih muda dariku, paham?"

"Begitu," kata Aoki santai. "Tapi apa kau berharap aku peduli?"

"Tidak juga..." kata Ginnan. Makin kelihatan panik tiba-tiba. "Kalau melihat kepribadianmu, itu akan sia-sia saja kulakukan."

Wajah Aoki semakin maju. "Kau lebih cerdas dari bayanganku rupanya."

"Hei..." gumam Ginnan pelan. Mukanya sudah pucat saat ini. "Apa kau tidak terlalu dekat..."

Suara Aoki merendah. "Kita bisa lebih dekat lagi asal kau mau."

"Apa?"

"Dengan bercinta denganku, tertarik?"

DEG

BRAKH!

"Dasar sinting...!" maki Ginnan. Seketika Aoki mundur jauh karena dorongannya yang kasar. "Jangan main-main dengan omonganmu, sialan!"

Poni tipis Aoki jadi agak berantakan. Tapi bukannya marah, lelaki itu justru memberi isyarat dengan dagu. "Lihat ke belakangmu," perintahnya. "Sepertinya tidak bagus juga kalau lukisan itu kututup lama-lama."

Ginnan pun langsung berbalik.

Mungkin karena pergerakan mereka barusan, kain putih yang dicengkeram Aoki jadi ikut tertarik begitu saja. Jatuh ke lantai perlahan-lahan. Memperlihatkan potret lukisan telanjang seorang lelaki.

Lelaki itu terbaring di atas ranjang king size dengan seprai yang terbuat dari beledu merah. Apapun yang ditimpa tubuhnya berantakan. Bantal, guling, selimut... semuanya serba tak beraturan. Tubuhnya sendiri penuh peluh, cakaran, dan gigitan merah. Meninggalkan kesan semalam baru melewati malam panas dengan seseorang. Sudut bibirnya agak berdarah, namun sinar matanya tetap bahagia meski terlihat sangat redup. Mungkin tokoh di dalam lukisan itu sangat kelelahan. Tenaganya terkuras habis sampai bibirnya agak terbuka tapi tak mampu mengatakan apa-apa.

Style lukisan itu hiperrealis. Sehingga tiap detail ketegangan di tubuh lelaki tersebut bisa terlihat sangat jelas termasuk jejak-jejak cairan cinta yang meluber keluar dari lubang mungilnya yang meremang.

Yang tidak Ginnan sangka adalah... wajah lelaki itu adalah cerminan dari dirinya. Membuatnya terbeku di tempat. Tak sanggup berkata-kata seperti sosok tiruannya di dalam sana.

"Itu lukisanku 3 tahun lalu," kata Aoki. Lelaki muda itu mendekat dan merengkuhnya dari belakang. Percaya tak percaya, Ginnan tak mengelak sedikit pun karena pikirannya terlalu kosong. "Judulnya 'Cintaku'. Tapi mengecewakan sekali... setelah kuikuti kau ke kampus yang sama, Yuki-Yuki menyebalkan itu justru menjadi pacarmu."

Dagu Ginnan didongakkan Aoki pelan-pelan. Matanya dipaksa melihat potret panas yang sangat indah itu.

"Bagaimana, Cintaku? Bukankah kemampuanku menakjubkan?" kata Aoki frontal. Ginnan justru mulai mual karenanya. "Mungkin pacarmu berpikir pertemuan pertamaku dengannya adalah di kantin—astaga... jika benar dia pasti bodoh sekali."

Ginnan menoleh ke Aoki dan mereka bertatapan. "Dia samasekali tidak bodoh..." katanya, meski engan suara tercekat.

"Menurutmu begitu?" kata Aoki. "Asal kau tahu saja, Ginnan Takahashi yang naif. Aku ini bukan jenis orang yang memiliki cukup waktu, paham? Apalagi untuk makan semeja dengan seorang gadis..."

Detak jantung Ginnan mulai naik tak beraturan. Jujur saja, lelaki ini menakutkan. Dipeluk saja sudah terasa sangat menjijikkan.

"Jadi kau gay?"

"Apa aku perlu menjelaskan?"

Telapak tangan Ginnan pun langsung berkeringat.

"Tapi bagaimana bisa itu aku?"

"Apa bagimu sangat penting?" tanya Aoki. "Aku ini seniman. Apalagi karyaku sudah diakui hingga mancanegara. Kau sendiri yang bilang kan? Jadi mataku memang mudah tertarik pada keindahan yang tak wajar."

"Omong kosong..."

Aoki justru terkekeh. "Kau memang sangat indah, Sayangku..." katanya dengan nada yang sangat-sangat seduktif. "Benar-benar membuatku gila..."

Parahnya, Ginnan sampai hampir lupa diri. Mulanya dia mulai terpejam karena akan dikecup, tapi ketika bibir itu nyaris menipunya... Ginnan langsung terbelalak lebar karena mengingat wajah Yuki.

PLAR!

JDUGH!

"SIAL!"

Ginnan langsung melepaskan diri setelah meninggalkan tamparan dan tendangan. Dia mundur sejauh-jauhnya, menyambar vas bunga terdekat dan sengaja memecahnya ke meja agar ujungnya yang berbahaya bisa dijadikan senjata.

"MENJAUH ATAU KUBUNUH!" teriak Ginnan. Raut wajahnya warna-warni seketika. Dia tak peduli suara langkah kaki para pelayan buru-buru menyusul ke ruangan itu karenanya. Tapi sedikit saja Aoki mendekat, Ginnan tak segan-segan menusukkan pecahan vas kaca itu untuk melindungi diri.

Di masa depan, kejadian hari itu menjadi semacam mimpi buruk bagi Ginnan. Rasanya seperti tidak nyata. Membuatnya trauma, bahkan tak pernah bisa tidur kecuali Yuki di sampingnya.

Untung saja tidak berjalan berlarut-larut. Setelah tujuh bulan dihantui mimpi kejadian itu, Ginnan mulai pulih perlahan-lahan. Dia yang semula menjeda kuliah kemudian mulai melanjutkan pendidikan, walau harus berpindah kampus dengan Yuki sekaligus.

Mereka pergi ke Inggris. Mencari kost baru, daftar kuliah lagi dengan meloncat semester, lalu mencari ketenangan yang berbeda.

Sejujurnya, Ginnan tidak pernah benci terhadap kaum yang tidak lurus. Dia termasuk jenis lelaki yang mudah bertoleransi. Namun, jika yang menjadi sasaran adalah dirinya sendiri, Ginnan menyerah. Dia sudah tahu, sedikit banyak gambaran seperti apa yang akan dia lalui jika benar-benar menerima pola hidup sepert itu. Maka ketika dia sudah mampu melupakan, Ginnan tetap bersikukuh menjadi gigolo para wanita saja meski bayarannya lebih kecil.

"Jadi kau memiliki cerita semacam itu..." gumam Renji, setelah mendengar keseluruhan cerita Ginnan. Pria itu menoleh padanya dengan seringai tipis yang sangat tampan.

Ginnan sampai bergeser mundur karenanya. "K-Kenapa melihatku begitu?! Dasar mesum!" jeritnya refleks.

"Mesum? Aku tak bermaksud terlihat seperti itu," kata Renji. "Lagipula sekarang sudah jelas kenapa tingkahmu sering berlebihan. Aku jadi bisa menolelirmu lebih jauh."

"Hanya begitu reaksimu?" tanya Ginnan jengkel.

"Memang kau mengharapkan apa dariku?"

"Y-Ya..." gumam Ginnan. Secepat mungkin beralasan. "Kau harusnya punya rasa bersalah menyentuh lelaki yang punya trauma sepertiku."

"Hoo... bukankah waktu itu aku sudah minta maaf?"

"Tidak sungkan samasekali ya ternyata?!"

Renji justru tersenyum senang. "Kenapa harus? Lagipula kau bilang traumamu sudah sembuh," katanya tanpa beban "Dan kejadiannya sudah 10 tahun lalu. Bayi yang lahir waktu itu saja sudah bisa memaki ibunya sekarang..."

"Apa-apaan..." kata Ginnan. "Kupikir kau akan bersimpati."

"Hmph..." dengus Renji. Pria itu memparkan pandangan ke jendela dan menggeleng-geleng pelan. "Lelaki bernama Aoki itu benar. Kau ini terlalu naif, Ginnan Takahashi."

Ginnan diam. Dia mengepalkan tangan, mengerucutkan bibir, sebelum menggerutu samar. "Keterlaluan..."

"Faktanya kau menikmati sentuhanku pagi ini..." celutuk Renji tiba-tiba.

Seketika, dada Ginnan mencelus mendengarnya. Dia pun membuang mukanya yang memerah. "Bisa jangan dibahas lagi?" katanya sebal.

Wajah mereka memang menghadap arah berlawanan, tapi diam-diam Ginnan ingin melihat ekspresi Renji saat ini. Jujur dia sendiri tak mengerti, kenapa pria ini bisa memonopolinya dengan tanpa sungguh-sungguh menyakiti?

"Mustahil," kata Renji. "Aku akan terus membahasnya sampai kau mengakui."

Ginnan pun mendesis. "Ssst... iya-iya... terserah saja," katanya sekena. "Kalau aku memang menikmati, lalu kenapa? Bukan berarti aku langsung berubah jadi gay sepertimu kan?"

"Haha... anggap saja begitu..." tawa Renji, membuat Ginnan mendadak ingin meremas-remas tatanan rambut pria itu—tapi tentu saja ditahan. "Oh, ya... jadi kau berkelahi dengan Aoki sampai masuk rumah sakit?"

"Hmm..." sahut Ginnan tanpa minat. Bola matanya berputar ke sembarang arah.

"Dagumu rusak?"

"Hmm..."

"Lalu kondisinya?"

"Dia kutusuk di perut dan kucakar di wajah," kata Ginnan sebal. "Pokoknya waktu itu parah sekali. Aku sampai malas mengingatnya. Jadi berhentilah bertanya!"

Diperlakukan begitu, Renji justru menoleh. Pria itu meraih dagunya gemas dan memberinya kecupan lembut.

"Hei..." gumam Ginnan. Dia berkedip-kedip. Entah kenapa langsung terpaku ke wajah berhias seringai itu. "M-Mendadak sekali..." protesnya pelan.

Renji justru mengecupnya sekali lagi. Kali ini pergerakannya menjadi ciuman yang dalam. Ginnan yang kurang siap sampai bersandar ke punggung kursi dan meremas kedua bahu pria itu. Berdebar-debar tanpa alasan yang jelas.

"Melakukannya denganku... menyenangkan bukan?" kata Renji begitu mengakhiri sentuhannya. Ginnan diam dan hanya menatap wajah pria itu. Dari bibir ke mata, lalu kembali ke bibir lagi. "Walau yang sangat berkesan buatmu tetap wanita itu..."

Seketika wajah Yuki pun berkelebat. "Iyalah! Dia kan pacar pertamaku!" seru Ginnan langsung berapi-api. Dia menggeleng. "Tidak-tidak! Yang benar dia bahkan pacarku satu-satunya selama ini. Jadi, kalau sampai tak berkesan malah aneh, Dasar bodoh..."

Seringaian Renji semakin lebar. "Begitu?"

Alis Ginnan nyaris bertaut. "Kau ini mengajakku berkelahi atau bagaimana?"

Renji terkekeh. Nada suaranya terdengar lebih menyebalkan dari biasanya. "Boleh saja. Di ranjang. Nanti kalau sudah tiba."

DEG

"A-Apa katamu?"

Seringai Renji melebar. "Bagaimana?"

Ginnan pun langsung mendorong muka itu dengan telapak tangan. "B-Bodoh... kau ini tidak lelah karena perjalanan ya. Menyebalkan..."

Renji terkekeh, "Sebaiknya kau siap-siap saja..." katanya. Lalu menegakkan duduk, sebelum kembali memejamkan mata. Meninggalkan Ginnan yang meremas pegangan kursi tanpa sadar. "Begitu tiba, waktu yang kita habiskan tak akan berbatas apapun lagi."

"Sial... kenapa aku selalu lupa soal ini..." batin Ginnan lelah.

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter