11 Bab 11: Desahan Panas

Tiga hari kemudian...

Ginnan terbaring rebah di kasurnya. Dia menatap langit-langit. Lalu menoleh ke setangkai bunga mawar yang dia letakkan di gelas kaca.

Di tempat ini, tiga hari lalu. Yuki benar-benar diurus Hiro setelah pintunya didobrak paksa. Sekarang, wanita itu sudah dirawat sang manajer di rumahnya. Sementara Madam Shin sempat marah-marah lima menit sebelum berterima kasih ke Ginnan karena sudah mendapat maaf agung dari seorang Renji Isamu.

Yuka lah yang mendapat omelan panjang pada akhirnya. Wanita lacur itu dicutikan sementara dan Ginnan didukung penuh mengambil tawaran Renji menjadi endorse untuk kolase toko-toko bunga kecilnya.

Renji menyebutnya kecil di rumah sakit, tapi sungguh keparat pria itu. Ginnan bahkan sampai menahan napas ketika diajak berkunjung Haru di salah satu cabang yang dimaksud.

Satu cabang toko Renji seluas Indomaret tiga lantai. Dan yang Renji sebut beberapa ternyata ada 7 di dua kota. Tokyo dan Osaka. Dan memang benar... model-model yang Renji pakai di kolasenya bukan dari kalangan professional atau selebrita ranah umum. Mereka sosok-sosok cantik yang ditemukan entah dari mana saja.

Kebanyakan perempuan, tapi laki-laki pun cukup mengambil ruang di dalamnya. Dan lagi, Renji tidak hanya menjual bunga, tapi juga boneka-boneka lucu berbagai macam karakter. Anehnya... Haru bilang pria itu masih suka memborong barang-barang tersebut dari toko lain.

Contohnya hari ini. Saat Renji sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, Haru bilang pria itu harus bersabar sebelum masuk ke penthouse-nya. Sebab ada tiga puluh kotakan paket yang dikirimkan ke dalamnya. Isinya 12 buket bunga dan 18 boneka ukuran ekstra besar.

Ginnan sampai tertegun begitu Haru memberikan kartu nama ke tangannya.

"Setelah ini kita akan kerja sama," kata Haru. "Tapi izinkan aku membawa pulang Renji dulu. Dia memang sudah mau makan, tapi masih butuh istirahat. Walau harus menyesuaikan jadwalku juga. Sesi photoshoot mungkin akan diundur kalau kami ada undangan ke perusahaan penerbitan tiba-tiba."

Ginnan tak bisa berkomentar lebih kecuali hanya mengangguk. "Oke."

Haru lalu mengikuti langkah Renji yang sudah menuju mobil putihnya. Jenis porsche 911, dan Ginnan tebak selama ini kendaraan itu tak pernah dipakai kecuali ada moment khusus—ralat—walau kali ini lebih kepada kondisi audinya yang tak memungkinkan.

Manajer Renji itu sempat tersenyum ke Ginnan sebelum menyetir mobil itu pelan-pelan.

Setelah beberapa saat berdiri disana, jujur Ginnan penasaran. Bagaimana reaksi Haru kalau tahu Renji sempat menyentuhnya? Apakah pria itu masih akan ramah padanya seperti ini?

Oh, tidak-tidak! Mungkin juga tak berpengaruh.

Ginnan baru ingat kalau Yuka sempat bilang... bahwa Haru sendiri lah yang menghubunginya untuk melayani pria itu. Singkatnya, Haru tahu. Tapi bagaimana bisa hubungan kedua pria itu masih normal-normal saja?

Bukankah Renji tahu kalau Haru menaruh perasaan kepadanya?

Tunggu dulu.

Perasaan Renji sendiri bagaimana? Benarkah pria itu hanya menganggap Haru sebagai teman seksnya?

Tidak mungkin.

Hubungan mereka berdua memang tidak terlalu membuat Renji peduli. Tak seperti kepada Jean yang fotonya sampai disimpan dalam liontin. Namun, di mata Ginnan jalinan yang terjadi justru lebih dalam dari itu. Apalagi Haru adalah seorang ayah. Dia punya istri dan dua anak, tapi masih bisa memberikan sebagian besar waktunya untuk Renji. Pria itu bahkan bisa marah besar hanya karena kehilangan satu hari dan luput mengawasi kondisinya.

"Aku benar-benar tak bisa membayangkannya."

Memiliki pola kehidupan seribut itu. Seaneh itu. Dan setidak jelas itu.

Wajar bila Renji kesulitan menjalin hubungan normal dengan seseorang. Maksudnya... memang siapa yang bisa bertahan dengan sosok abstrak itu? Yang hanya memikirkan seks, uang, kerja, dan segala ketidakjelasnnya setiap waktu.

Drrt... drrt...

Mendadak fokus Ginnan terpecah dengan getaran notifikasi yang masuk.

"Haru?"

Barusan Ginnan memang diberi kontak Haru. Untuk kerjasama, katanya. Dan saat dibuka, isi pesan yang disampaikan memang seperti itu.

Sesi Photoshoot akan dilaksanakan tepat waktu. Dan bunga ini akan menjadi atributmu.

Nb: Pikirkan baik-baik konsep foto seperti apa yang akan kau tampilkan.

—HARU

Ginnan menatap foto bunga itu lamat-lamat. Dia tak mengerti apa namanya. Yang pasti, kesan cantik menguar hebat dari mahkotanya yang mungil-mungil.

"Kau bunga."

Tanpa sadar, Ginnan merona tipis mengingat kalimat sederhana itu. Renji memang tidak berekspresi, tapi mata emasnya tampak sangat-sangat berkilau.

"Beberapa orang memang terlihat seperti itu. Mereka tidak harus perempuan, tapi sangat sesuai dengan bunga."

Tatapan mata Ginnan menerawang. Dari layar, menuju antah entah kemana.

"Bodoh..." desah Ginnan pelan. Dia menjatuhkan ponsel ke dada sebelum menutup matanya dengan lengan. "Laki-laki ya laki-laki. Berani-beraninya dia bilang aku cantik dan semacamnya. Hahhh..."

.

.

.

Pulang. Renji yang berjalan malas digandeng Haru mendekat ke ranjangnya. Dalam satu dorongan, Renji pun duduk dan dorongan lain membuatnya rebah begitu saja.

"Istirahat," kata Haru. "Kau itu belum pulih sempurna."

Renji menatapnya bosan. "Kau hanya menyuruhku tidur, lalu makan," katanya. "Dan kalau sudah. Kembali lagi makan, lalu tidur. Tiga hari kemudian, kalau aku sudah sembuh... kau akan memperlihatkan jadwal-jadwal..."

Haru senyum. "Itu semua memang tugas-tugas wajibku," katanya. Lantas menaiki tubuh itu tanpa sungkan. Dia duduk di perut Renji, mendekat, dan memeluk kepala pria itu seperti sedang menimang bayi. "... mengerti?"

"Binal," kata Renji. "...padahal aku belum sembuh."

Haru tertawa. "Syarat jadi manajermu memang itu," katanya penuh percaya diri. "Kalau tidak, dia pasti stress dan merasa kau perbudak sepanjang waktu."

Meski terlihat ingin menyingkirkan Haru, nyatanya Renji membalas perlakuan hangat pria itu. Dia terpejam nyaman, dan melingkarkan kedua lengannya di pinggang Haru. Hanya ingin tidur dengan cepat.

Haru yang melirik ekspresi damai di wajahnya langsung lega. "Tidurlah, Ren..." bisiknya pelan. "Bangun nanti kupastikan teh hangatmu sudah siap."

"Hm..." sahut Renji dengan mata tetap terpejam.

"Oh, aku bisa kupaskan pir lagi kalau mau," tawar Haru. "Atau kalau tidak, kau ingin makan apa malam nanti nanti?"

"Tidak usah."

"Kau tahu aku akan tetap memaksa."

Tangan Renji yang memeluk, kini meremas pinggul itu meski pelan.

"Kau."

Haru diam sejenak mendengarnya. Dia tampak berpikir, sebelum menggeleng meski pelan. "Tidak. Jangan hari ini," katanya. "Aku mau kau istirahat sepenuhnya."

"Kau," ulang Renji. Kali ini membuka mata dan perlahan membalik posisi mereka. Haru diam. Dia hanya terpejam kala dikecup seperti biasanya. "Jujur saja. Kau berbohong saat di rumah sakit."

DEG

"Soal apa?"

Renji membuat jarak, Haru pura-pura tidak tahu.

"Istrimu sudah kembali dan semacamnya," kata Renji. "Ingat berapa lama aku mengenalmu? Kau pikir masih bisa melakukan trik sepele seperti itu?"

"Haha..." Haru tertawa, tapi hambar. Dia mengelus dada Renji seolah sedang menidurkan singa marah. "Kau tahu kesan perlu saat kau sakit," katanya beralasan. "Itu demi kebaikan psikologimu. Dan... lagipula disana ada orang lain juga."

"Bagaimana dengan ulangtahun Sheila?"

"Kalau soal itu, aku tidak membohongimu," kata Haru. "Pestanya memang sudah selesai. Kapan hari kita ke restoran keluarga. Dan dia pesan kue besar yang diinginkan."

"Lalu, kenapa?"

Haru diam kali ini. Dia hanya menatap Renji dan enggan menjelaskan meski lehernya mulai dicumbu paksa. Tak melawan.

Haru menatap langit-langit kamar yang sangat akrab di ingatannya. Penthouse Renji. Sebagian besar aktivitas seksnya justru dihabiskan di tempat ini. Kapan pun Renji ingin, dia akan menjadi wanita... pria itu. Sudah tak terhitung berapa kali tubuhnya dipermainkan. Dan terkadang juga menggunakan benda seks aneh-aneh yang didapatnya entah darimana.

"Ren..."

Haru terpejam dan menggigit bibirnya untuk tidak mendesah bebas. Sebab Renji pasti mulai lepas kendali jika membiarkannya begitu saja.

"Sudah... oke? Aku hanya mengizinkanmu sebentar kali ini.."

"Tidak."

"Ren, please..." gumam Haru. Wajahnya mulai memerah hebat begitu gigitan itu turun ke ceruk leher hingga menjamahi tonjolan mungil di dadanya. "A-Ahh... hhrrm..."

Haru refleks menggigit punggung tangannya saat itu. Seperti sudah terlatih atau biasa... tubuhnya memang bereaksi mudah dikuasai kalau Renji mulai menyentuh. Matanya berkaca-kaca. Dan debaran jantungnya selalu menghebat tanpa kendali.

Setiap mereka bercinta, Renji jelas mendengar gemuruh gila itu. Dan jika dia ingin berkata tidak sekali saja, akhirnya pun selalu sama.

Renji akan terus menjamahnya, membuat syarafnya bekerja sama... untuk beku, kala ditelanjangi satu demi satu. Kemejanya diloloskan dari bahu, tonjolan di dadanya dikuasai bergantian, dan beberapa gigitan pun membekas di sekitarnya.

Ah, parah. Mengapa pria ini selalu tahu cara membuatnya nikmat—bahkan sampai lupa cara menolaknya?

"Aku tahu kau akan pulang malam ini," kata Renji. Dia membiarkan Haru mengambil nafas terlebih dahulu meski sangat kesulitan. "Tapi apapun alasannya, tidak akan kubiarkan."

Genggaman di wajah Haru disingikirkan pelan-pelan. Dan dalam satu gerakan, bibirnya kembali dilumat habis.

"Ahhmn... mn... nn..."

Ah, ya sudahlah... memang dirinya bisa apa. Renji tak mungkin melepaskannya sekalipun bisa menghentikan sentuhan menggebu pria ini.

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter