webnovel

BAB 3 Bagian 2

Mengapa ada peristiwa seperti itu dalam semalam? Mengapa korbannya adalah putera mereka? Dan mengapa Ginnan yang menghilang?

Ryouta maupun Nana yakin tidak mungkin lelaki itu yang menyebabkannya. Senyumnya, caranya bicara, dan betapa lembut sosoknya ... mustahil! Tapi biarlah orang-orang luar berkata apa.

"Apa kamar mayatnya masih jauh?" tanya Nana dengan suara mencicit. Nadanya agak sengau dan serak meski maskernya sudah dilepas.

"Sebentar lagi kita sampai," kata polisi itu tenang. "Meskipun kita takkan pergi ke tempat yang Anda maksudkan."

Tanda tanya telat datang di wajah Ryouta dan Nana. Mereka sama-sama bingung hingga polisi tersebut ikut membuka maskernya.

Wajah muda. Kacamata yang diganti dengan khas para dokter, dan bentuk belahan bibir yang takkan mereka lupakan meski hanya pernah melihatnya sekali di foto kelulusan Renji.

"Aku Kuze, jika kalian lupa. Maaf baru mampu ikut terjun menangani ini, Paman, Bibi. Karena orangtuaku meninggal beberapa hari lalu," kata Kuze. Kedua mata itu tampak sama lelahnya dengan Ryouta dan Nana, tetapi tatapannya memang sangat bisa dipercaya. "Dan aku yang sekarang tidak hanya menjadi temannya, tetapi juga dokter pribadinya."

Nana pun menerima kartu nama Kuze dan bukti validasi Renji kontraknya dengan Renji di sana. Entah apa yang mereka lakukan di masa lampau, yang pasti kini Nana baru benar-benar paham. Mengapa Renji bisa bertahan sejauh itu tanpa dirinya dan Ryouta selama di Jepang.

"J-jadi ... Renji?"

"Masih bernapas, tapi kita harus menjaganya tetap "mati" di depan publik mulai sekarang," kata Kuze. Lalu menatap Ryouta tajam meski dia tahu pria itu sangat keras. "Ini memang ideku, Paman, Bibi. Dan aku pun tidak bertanya persetujuannya terlebih dahulu. Hanya saja, kontrak kami di masa lalu kuanggap sudah menjadi perwakilan atas tindakanku."

Ryouta pun ikut melepas maskernya. Pria itu tampak agak kecewa karena merasa ditololi situasi, tetapi dia masih harus memastikan kondisi Renji. "Jadi, di mana dia sekarang?" tanyanya. "Apa memang kematian memang paling tepat untuk menutupi mata umum saat ini? Kupikir itu agak berlebihan."

Kuze tampak samasekali tak gentar. "Soal itu, Anda berdua bisa ikut aku sekarang," katanya. Dia pun menggiring Ryouta dan Nana ke tempat selanjutnya. Kali ini mereka justru dibawa keluar rumah sakit lewat pintu belakang, dipersilahkan masuk ke dalam mobil, dan diculik pergi menjauh dari rumah sakit yang masih dikepung sejuta orang.

Kuze menyetir mobil itu sendiri, dengan kacanya yang lapisi dengan anti gores yang berfungsi ganda. Benda itu menyebabkan orang luar tak melihat jelas siapa di dalam, tetapi Kuze dan kedua tamunya bisa melakukan sebaliknya.

Pria itu mempersilahkan Ryouta dan Nana ke kediaman rahasianya di sudut kota Tokyo. Mereka tampak bingung, lebih-lebih tampak luar bangunan itu dipenuhi dengan anjing-anjing ras alaskan malamute yang berjaga.

Ada pelayan yang mengawasi tiap ekor di halaman. Mereka bermain bersama, dan saat Kuze pulang semuanya menggonggong pelan serta menyerbunya.

Peristiwa itu sangat singkat. Kuze hanya mengelus kepala mereka buru-buru, lalu segera masuk untuk memperlihatkan dimana Renji berada.

Pria itu tidak terbaring seperti bayangan Nana. Apalagi memejamkan mata bagai orang koma. Dia justru duduk diam di tepi jendela yang tirainya terbuka sedikit, tampak kosong, dan tubuh atasnya yang telanjang dibebati perban-perban.

Di bahu. Di perut. Selebihnya baik-baik saja kecuali wajahnya yang memang pucat.

"Ren? Sayang?" Nana pun memburu sang putera tunggal dan berlutut di depannya. Dia meraih pipi Renji yang begitu kering, lalu menghadapkan wajah itu kepadanya. "Ibu datang, Nak. Bagaimana perasaanmu?"

Mulanya, Ryouta hanya memperhatikan. Tap ketika Kuze mengambil satu ampul suntik untuk diinjeksikan ke lengan terbuka Renji, raut pria itu kini dipenuhi liku-liku pertanyaan.

"Jelaskan padaku, Nak. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?" tanya Ryouta. Telapak tangannya gemetar, tetapi dia tak mau menampakkan emosi berlebihan saat sang istri sendiri sudah mulai panik.

"Dia kenapa, Nak?"

Kuze menelan ludah kesulitan. Pria itu tampak begitu stress, dan berat mengatakan segalanya. Namun, bagaimana pun Ryouta dan Nana harus tahu semuanya.

"Renji gila," kata Kuze. "Atau setidaknya menuju ke fase itu. Tapi aku berusaha untuk mencegahnya sebisa mungkin."

Deg.

"Apa?" tanya Nana, telinganya serasa berdenging seketika.

Tanpa melihat orangtua Renji, Kuze berusaha menjelaskan sesimpel mungkin. Dia tampak menekuri diri sendiri saat melepas suntikan itu. "Anda berdua orangtuanya. Jadi, kalian pasti tahu tentang bulimia yang diidapnya sejak lama."

Ya, tentu. Mana mungkin Nana tidak tahu itu. Apalagi Ryouta yang menjadi penyebab Renji memiliki penyakitnya.

"Sebenarnya aku sudah tahu suatu saat akan begini, apalagi Renji-sama adalah tipikal pria dengan tempramen yang kurang stabil," kata Kuze. "Dalam artian menangani perasaannya, maksudku. Jadi bukan secara aksi nyata. Dia sering stress saat menghadapi masalah besar, tetapi gejalanya makin tak terlihat karena menekan gelombang itu."

"Aku sedikit tidak mengerti," kata Nana jujur. Tapi setelah itu dadanya serasa ditikam oleh lubang besar. "Maaf." Sebab dia adalah sosok seorang ibu, tetapi dalam hidup Renji, peran itu hanya dia jalani sebentar di masa lalu.

"Intinya tingkat depresi Renji-sama kali ini adalah yang paling tinggi," kata Kuze. Dia menambahi suntikan di lengan Renji dengan ampul yang berwarna beda, lalu menarik injeksi untuk kedua kali. Pria itu tetap mematung seperti tak merasakan tusukan apa pun pada kulitnya. "Jadi, efeknya mengarah ke kesehatan. Bila biasanya dia muntah, susah makan, pingsan, atau koma beberapa hari, maka sekarang yang diserang adalah otaknya."

Nana gemetar tepat saat Kuze mengetuk pelipisnya sendiri.

"Di sini, tahu kan? Syarafnya terganggu dan itu mendorongnya melakukan kekacauan kemarin," kata Kuze. "Dan aku tak bisa membiarkannya menggila, merusak kamar rumah sakit lebih banyak, atau membuat media tahu kondisi terburuknya saat ini. Bukankah kalian setuju mereka hanya akan mengganggu?"

Ryouta dan Nana terdiam. Sedetik kemudian, Nana menangis terisak-isak, sementara Ryouta mendekati puteranya yang sempat tersenyum cerah saat mereka bertemu di Amsterdam.

Betapa tampan dan bahagia sosok itu, Ryouta takkan bisa melupakannya. Apalagi saat kedua mata kosongnya dulu menatap Ginnan. Di sana penuh cahaya, kebahagiaan, dan banyak hal yang ada dalam dirinya saat jatuh cinta pada Nana dulu.

Namun, kini semua jejak itu menghilang. Seperti Ginnan yang tak lagi di sini untuk berada di sisinya.

"Nak ..." Jemari Ryouta gemetar saat meraih pucat Renji, dan dia menarik kepala pria itu ke dalam pelukannya yang hangat.

Tak pernah seperti itu dia dalam seumur hidup merasakan kehilangan. Sebab dulu, meski Renji kecil pergi dari sisinya, kedua mata itu masih memiliki api kehidupan. Yang membara. Penuh kekuatan. Penuh keyakinan, bahkan meski itu berarti dendam.

Kini, Ryouta tak melihat semua itu dalam diri Renji. Tidak meski hanya setitik sisa jiwanya di dalam sana.

Ryouta pikir, dia bisa menebus dosa masa lalu saat membiarkan Renji bersama Ginnan. Namun, melihatnya seperti ini setelah tak mengawasinya langsung selama bertahun-tahun ... itu bagai pukulan telak untuknya.

Bisakah dia kembali ke masa lalu? Tidak.

Ryouta pun meremas rambut Renji dan mencium pucuk kepalanya sayang seolah sosok itu masihlah bocah. Dia menangis tanpa suara di sana dan merasakan seribu sembilu seperti menusuki jantung hatinya.

Next chapter