14 Parents (Part 1)

Hari berlalu terasa cepat bagi seorang Mika setelah menyatakan perasaan sayangnya pada Mas Doni. Bertemu Mas Doni di sekolah, tak lagi seperti biasanya. Aku menjadi lebih pemalu dan sering menahan diri tiap kali timbul keinginan untuk bertingkah konyol di hadapan temanku. Mas Doni menjadi seperti hantu. Tiap kali aku bercerita tentangnya pada teman-temanku, seketika itu pula Mas Doni sudah berada di dekatku.

Kini kami memiliki panggilan yang berbeda dari sebelumnya. Sesekali Mas Doni masih memanggilku Mika, namun terlebih sering memanggilku dengan panggilan 'Sayang' atau 'Hunny'. Bagiku terasa canggung, saat pagi itu aku menyapanya dengan sebutan yang sama.

"Pagi, sayangku." Aku berlari menuju kelasku dengan sedikit menahan malu.

Sebelum berangkat sekolah, aku telah meminta izin kepada Mama untuk pulang terlambat karena ada rapat OSIS menjelang hari raya Idul Adha. Mama memberikan izin dan tak lupa mengingatkan agar aku membawa jaket. Musim hujan menjadikan suhu menjadi lebih dingin dari biasanya. Sedari pagi, mendung menggelayut tebal.

"Sayang, nanti ada rapat OSIS. Habis rapat, ikut aku ya, jalan bentar," pinta Mas Doni padaku.

"Mau kemana emang?"

"Kencan! Haha.."

Mas Doni tertawa menggodaku. Selama beberapa bulan, menjalin hubungan dengannya, kami belum pernah mengadakan selebrasi apapun. Tidak seperti Erika yang merayakan hari jadiannya dengan makan-makan di kedai bakso. Aku mengangkat tangan kanan ke arah dahiku dengan sikap tegak seolah memberi hormat. "Siap, pacar!"

***

Rapat OSIS hanya berlangsung sebentar saja. Kami mengatur pembagian tugas untuk acara penyembelihan hewan qurban, serta tata laksana ibadah Sholat Ied di lapangan sekolah.

Idul Adha akan berlangsung dua minggu kemudian. Di samping itu, dua hari lagi Mama Papa akan berangkat melaksanakan Ibadah Haji. Begitu sibuk mempersiapkan acara Idul Adha di sekolah, juga membantu Mama mengemasi barang bawaan untuk bekal selama 40 hari berada di tanah suci.

***

"Sayang, kita mau kemana? Jangan lama-lama ya. Aku ada janji dengan Mama mau belanja soalnya."

"Iya, beneran. Sebentar doang."

Aku merapatkan dua pahaku di atas jok motor Mas Doni. Tangan kananku melingkar, berpegangan pada pinggang Mas Doni. Jaketnya kini tak lagi black and white bertuliskan Mitsubishi melainkan jaket jins, menyerupai jaket yang sering ku kenakan.

Aku tak mengenali arah jalan Mas Doni mengarahkan kemudinya. Melaju melintasi jalan raya, kemudian berbelok memasuki kompleks perumahan. Kemudian beberapa kali tikungan dan jalan yang menyempit. Tibalah kami di depan sebuah rumah megah dengan pagar berwarna coklat keemasan.

"Masuk, sayang," bisik Mas Doni seraya menarik tanganku.

"Ini..."

"Rumahku. Welcome."

Aku ternganga melihat tiga pilar besar berdiri tegak menopang rumahnya. Cat dindingnya berwarna krem pastel, dan terdapat ukiran berwarna emas di tepian atapnya. Pintu masuknya terbuat dari kayu dengan ukiran jepara di sekelilingnya. Ukirannya tidak terlalu rumit sehingga kesan etnik nan sederhana tampil anggun menyambut setiap tamu yang datang.

Motor Mas Doni terparkir di halaman. Kemudian dia mengucap salam, diikuti sahutan salam yang serupa dari arah dalam rumahnya. Pastilah itu Ibu Mas Doni, pikirku. Mas Doni menuntunku masuk menuju ruang tamu. Kudapati lukisan dan kaligrafi pada temboknya terbingkai dengan indah.

"Duduk dulu, aku ambilkan minum."

Mas Doni bergegas masuk ke suatu ruangan, yang nampak seperti kamarnya. Lalu menutup pintu kamar tersebut. Aku duduk sendirian, melihat dengan penuh kekaguman pada lukisan dan kaligrafi di depanku. Selang beberapa menit, aku melihat Mas Doni berjalan menuju arah belakang dengan sekedar menggunakan kaos biru muda dan celana pendek.

"Manis," gumamku singkat dengan sedikit tersenyum.

Aku mendengar suara orang berbincang dari arah belakang. Namun tak dapat kudengar dengan jelas, pembicaraan mereka. Hingga tak lama Mas Doni menemuiku dengan membawa dua gelas orange juice dingin di atas nampan.

"Wah, ngrepotin, Mas."

"Minum dulu, sayang. Habis itu kita jalan lagi."

"Mas, ada ibu mu, di dalam?" tanyaku.

Mas Doni mengangguk dan tersenyum.

"Iya. Kenapa? Mau ketemu?"

Aku merasa gugup saat itu. Rasa malu muncul ketika Mas Doni menawarkan padaku agar bertemu dengan ibunya. Kecemasan turut hadir dalam benakku, bagaimana jika ibunya menolak kehadiranku.

"Aduh, ndak usah, aku malu," bisikku lalu meminum orange juice yang diletakkan di meja depanku.

Lama kami saling terdiam. Tak tahu apa yang hendak kami bicarakan. Hingga aku melirik pada jam tanganku, ya Tuhan aku ada janji dengan Mama, pekikku dalam hati.

"Mas, ayo anterin pulang. Aku janji sama Mama, jam 3 mau belanja nih," pintaku.

"Ini kan baru setengah dua, sayang."

"Ya tapi aku belum makan juga. Aku laper."

Mas Doni hanya menjawab permintaanku dengan senyuman. Dia bangkit dari tempat duduknya dan memberiku cubitan kecil di pipi.

"Buu.. aku pergi anterin Mikaa duluu ya," teriaknya.

"Mas, gak sopan tahu! Masak pamitan pake teriak gitu sih," ujarku.

Tiba-tiba saja, seorang wanita berusia sekitar 40 tahun sudah berada di dekat Mas Doni. Dengan mengenakan apron berenda, aku melihat tangan Ibu Mas Doni belepotan dengan adonan kue. Lidahku kelu saat wanita itu menyapaku terlebih dahulu.

"Mau pulang, nak Mika?"

"Ini tho pacarmu, Don?"

Ibu Mas Doni tersenyum sembari membersihkan tangannya dengan apron yang masih terpasang. Aku mengulurkan tanganku, hendak menyalami Ibu Mas Doni.

"Pamit dulu ya, Bu." Aku mencium tangan Ibu Mas Doni, yang langsung aku panggil dengan kata Ibu. Wajahku terasa memerah karena malu karena Ibu Mas Doni menyambutku sebagai pacar Mas Doni.

"Cantik kan, Bu." Mas Doni menimpali pertanyaan Ibunya. Aku terpaksa tersenyum meski sebenarnya aku lebih memilih segera berlari jika mampu.

***

Keluar dari gerbang rumah Mas Doni, kakiku terasa lunglai. Rasa malu, cemas, takut, belum saja hilang. Hatiku terus saja berdebar. Kakiku kesemutan.

"Sayang, kenapa ndak bilang dulu sih." Diatas motor Mas Doni aku mengutarakan kekesalanku padanya.

"Haha.. gak papa. Ibu gak akan marah kalo aku bawa pacarku yang cantik ini ke rumah. Lihat kan tadi?" Mas Doni membelai lembut tanganku yang melingkar berpegangan pada pinggangnya.

"Tapi aku malu.. mana bau.. masih pake seragam gini."

"Temen-temenku kalo ke rumah, juga pake seragam. Juga bau. Juga keringetan. Ibu gak masalah tuh, haha.."

"Ya kan, beda atuh, sayang." Aku mencubit pinggang Mas Doni karena kesal bercampur gemas.

Deru mesin motor berhenti. Kami tiba di bawah pohon yang rindang, dan Mas Doni menyuruhku turun. "Makan siomay dulu, biar gak laper," katanya.

Kami duduk di bangku kayu panjang dan di depan kami terlihat Akang Siomay sedang sibuk meracik siomay dan bumbunya.

"Kang, siomay seperti biasa."

"Kamu gimana, sayang?"

"Mm.. aku siomay dengan telur. Tanpa pare, tanpa kol, tanpa kentang."

"Pedes ndak?"

"Noo! Aku gak suka pedes."

"Ooh, ternyata sayangku gak doyan pedes, ya."

Akang siomay tersenyum melirik ke arah kami. Aku lihat, seperti ada yang hendak disampaikan, namun ditahannya.

"Mm.. emang ini langganan Mas Doni, ya? tanyaku memulai perbincangan.

"Yaa.. biasanya kesini sama temen-temennya, Non." Tiba-tiba Akang siomay menyahuti pertanyaanku sembari memegang dua piring siomay dan menyerahkan pada kami.

"Pacarnya cantik, Mas," goda Akang siomay pada Mas Doni dengan kerlingan matanya.

Aku hanya melirik ke arah Mas Doni. Sedari dari, dia tak banyak bicara, hanya tersenyum dengan mulut penuh makanan.

"Cepetan makan, katanya tadi laper," seru Mas Doni.

Di bawah pohon besar yang rimbun dengan dedaunan, aku melihat ke arah jalan raya. Jalanan masih sepi siang itu, hanya beberapa motor yang lewat. Pengunjung kedai siomay hanya kami berdua, sedangkan si Akang duduk agak menjauh dari kami. Bangku kayu panjang yang ku duduki terbuat dari kayu biasa. Dengan sedikit hembusan angin, aku merasakan sensasi yang berbeda ketika aroma parfum Mas Doni sekali lagi menyeruak. Aku merasa begitu nyaman meski ini pertama kali harus menikmati makanan di warung kaki lima.

"Mas, emang Mas Doni udah bilang ke Ibu kalo kita..."

"Iya, udah dari kapan hari kok Ibu tahu."

"Ibu Mas Doni, gak marah?"

"Enggak, emang kenapa harus marah?"

"Ya.. kalo orangtuaku mungkin beda respon, Mas."

"Jadi itu sebabnya, kamu ngaku 'temen' waktu Papamu tanya, iya kan?"

"Iya..."

"Ya kapan-kapan deh, aku mau kok ketemu Mama mu."

"Hehe.. iya, nunggu waktunya dulu ya."

***

avataravatar
Next chapter