77 HOT KISS HOT WATER

Satu Minggu kemudian ...

Jasmine sudah resmi menyandang gelar sebagai nyonya Wijaya sekarang ia tinggal di kediaman keluarga Wijaya bersama Leonardo. Jasmine mulai membiasakan dirinya untuk menjadi istri Leonardo. Berbeda dari saat menjadi istri Rafael. Jasmine tak tahu harus melakukan apa sebagai istri seorang pria berkuasa. Semua kebutuhan mereka telah dikerjakan oleh para pelayan. Tiap pagi makanan sudah dihidangkan dengan cantik di atas meja. Rumah bersih tanpa noda dan debu.

Selama seminggu menjadi istri Leonardo, Jasmine hampir-hampir tak punya kesempatan untuk menemuinya. Leonardo selalu pulang larut malam dan Jasmine sudah tertidur. Keesokan paginya Leonardo akan terbangun di siang hari dan langsung berangkat ke kantor.

Jasmine ingin berguna bagi suaminya, ia juga ingin menjadi istri yang berfungsi selayaknya istri. Pagi-pagi benar wanita itu bangun dan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Para pelayan sudah mencegah Jasmine, namui ia tetap nekat turun tangan sendiri dan memasak.

"Leon, apa kau sudah bangun?" Jasmine masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan. Kali ini roti tawar dengan telur dadar, keju, dan ham, jagung rebus, kopi susu panas, dan buah-buah potong segar.

"Heung?" Leonardo hanya melengguh, aroma kopi yang nikmat pun tak menggelitik kesadarannya.

"Leon, aku membuatkanmu sarapan. Cobalah!!" Jasmine menaruh nampan pada meja. Ia berjalan mendekati suaminya.

"Aku masih mengantuk! Jangan ganggu aku, Jasmine. Pergilah!" Leonardo memutar tubuh, memunggungi Jasmine dan kembali tidur.

Jasmine menggigit bibirnya, namun ia belum menyerah. Dengan perlahan Jasmine mengusap rambut Leonardo. Ia mengecup dahi suaminya dengan lembut.

"Ayolah bangun. Sudah jam 8 pagi. Kau bisa terlambat ke kantor," kata Jasmine.

"Perusahaan itu milikku, tak akan ada yang protes meski aku tidak datang satu bulan." Leonardo menepis tangan Jasmine.

Jasmine menghela napas panjang. Ingin menyerah karena tak bisa membujuk Leonardo untuk bangun sama seperti biasanya. Yang ada malah emosinya semakin tersulut. Kesedihan dan kecemburuannya memuncak. Sudah pasti Leonardo menemui Hilda semalam.

"Semalam kau pergi ke mana?" tanya Jasmine.

"Bukan urusanmu," jawab Leonardo ketus.

"Apa kau bersama Hilda lagi?"

"Apa itu mengganggumu?? Bukankah aku bebas pergi dengan siapa saja?" Leonardo menyeringai.

"Benar, kau benar, tapi apa harus kau melakukannya di awal pernikahan kita?" Jasmine menatap nanar ke arah Leonardo.

"Kau cemburu?" Leonardo menarik tubuh Jasmine masuk dalam dekapannya.

"Tidak!! Untuk apa aku cemburu pada wanita itu!" Jasmine mendengus kesal, jujur dia cemburu hanya tak ingin mengakuinya.

"Hilda sangat penurut, dia juga manis dan cantik. Lagi pula aku butuh pelampiasan karena kau tengah hamil." Leonardo mengelus perut Jasmine.

"Kau benar-benar bajingan, Leon!" umpat Jasmine. Ia menepis tangan Leonardo yang bersarang pada perutnya.

"Aku tahu kau cemburu, Baby!" Leonardo mengecup bibir sang istri lalu melumatnya tanpa jeda. Kecupan-kecupan kecil beralih menjadi lumatan-lumatan yang dalam dan berirama. Meski sebal Jasmine tak menolaknya karena ciuman Leonardo telah menjadi candu baginya.

"Aku tidak cemburu!" seru Jasmine begitu panggutan Leonardo terlepas. Leonardo terkikih melihat wajah cemberut Jasmine.

"Minggu depan kita ada janji temu dengan Alexiana. Kita akan mengecek kandunganmu." Leonardo bangkit dari atas ranjang dan merenggangkan badannya.

"Iya, aku tahu."

"Good!" Leonardo menuju ke kamar mandi.

"Berikan aku pekerjaan, Leon!!" seru Jasmine, ia mengekor di belakang Leonardo.

"Heh??" Pria itu mengeryit bingung.

"Berikan aku pekerjaan di salah satu perusahaanmu. Terserah kau mau menempatkanku di mana! Aku bisa mati bosan bila terus mendekam di rumah ini." Jasmine mendekati Leonardo.

"Kau serius?? Hidup di sini membosankan?? Kenapa tidak jalan-jalan? Beli perhiasan, beli baju, beli mobil, beli apa saja yang kau mau! Hamburkan uangmu!! Kau ini Nyonya Wijaya! Untuk apa bekerja?" Leonardo bergeleng, Jasmine sudah menjadi istrinya. Apa uang yang dihasilkan Leonardo masih kurang sampai ia harus bekerja? Bosan? Bahkan ada kolam renang sampai teater pribadi di rumah mereka.

"Aku kesepian saat kau tidak ada." Jasmine menundukkan kepalanya.

"Ada Relia yang menemanimu. Aku membayarnya untuk itu!"

"Aku kesepian, Leon!! Kenapa kau terus menghindariku setelah menikah??" Jasmine menggenggam tangan Leonardo, meminta penjelasan perubahan drastis sikap suaminya itu.

Leonardo menatap mata bulat Jasmine yang terlihat penuh kaca. Tampak betul wanita itu sedang menahan air matanya. Leonardo menyeringai, ia berhasil menorehkan rasa sakit juga pada hati Jasmine. Menorekan luka sama seperti cara Jasmine melukainya dulu.

"Datanglah ke kantor siang ini! Aku akan memberimu pekerjaan." Leonardo menghempaskan tangan Jasmine dan masuk ke dalam kamar mandi.

"OK!" seru Jasmine senang, ia menyusul Leonardo masuk ke dalam kamar mandi.

Leonardo melepaskan piyamanya dan masuk ke dalam jet shower, semburan air hangat dari empat arah langsung menghujam tubuhnya saat tombol digital dipencet. Ada angka yang menunjukkan suhu air.

Jasmine ikut melepaskan seluruh pakaiannya dan menyusul Leonardo masuk ke dalam jet shower.

"Apa yang kau lakukan?" Leonardo terperanjat saat tubuh Jasmine bersentuhan dengan tubuhnya.

"Mandi," jawab Jasmine singkat.

"Aku sudah tahu kau mandi! Tapi kenapa kau mandi bersamaku?" Leonardo menelan ludahnya saat melihat tubuh Jasmine polos di depan matanya. Pemandangan menggiurkan yang dulu susah di dapat itu kini tersuguh tanpa perlu meraih lagi. Terpampang nyata di hadapannya.

"Hanya ingin saja. Tidak boleh?" Jasmine acuh, ia menekan sabun dan mulai mengusap seluruh permukaan kulitnya dengan lembut. Busa mulai mengembang, aroma bunga bercampur dengan uap air hangat. Menggelitik hidung Leonardo. Leonardo menelan lagi ludahnya saat Jasmine mengusap paha dan turun ke betis. Membungkuk sedikit sampai memperlihatkan bulatan penuh benda kenyal menggantung indah.

"Kenapa berhenti mandi? Apa perlu aku memandikanmu?" Jasmine melirik ke arah Leonardo yang mematung setengah syok.

"Wajahmu memerah. Apa kau malu, Leon? Hahaha!! Kita suami istri sekarang." Jasmine terkekeh, ia memompa lagi sabun dan menggosokkannya pada tubuh sang suami.

"Eh, jangan, jangan! Berhenti!! Hentikan Jasmine!" Jantung Leonardo berdegup kencang, sentuhan Jasmine membuat hasratnya sebagai seorang pria memuncak.

"Kenapa sih?? Kok belingsatan gitu?" Jasmine kebetulan menyentuh bagian paling berharga milik seorang pria.

"Stop!! Aku tak ingin menyentuhmu! Kau sedang hamil!" Leonardo menahan tangan Jasmine. Cepat-cepat ia membersihkan sisa sabun yang menempel di kulitnya. Saat hendak keluar, Jasmine menahan tangan Leonardo.

"Kalau cuma cium bolehkan?" Jasmine menatap Leonardo dengan mata berbinar. Air masih menetes turun dari anak rambutnya yang basah. Bibir Jasmine terlihat begitu ranum dan menggoda karena sedikit bergetar.

Leonardo menelan ludahnya dengan berat. Pemandangan ini terlalu menggoda imannya.

Kau tidak boleh goyah, Leon! Akan ada waktunya kau bisa menikmatinya setiap hari! batin Leonardo.

"Semenit saja!" Jasmine menggoyangkan tangan Leonardo manja. Jantung Leonardo kembali meloncat.

"Dasar wanita gila," umpat Leonardo namun mencium bibir Jasmine juga. Keduanya berpanggutan, dalam dan penuh irama, kasar, dan penuh gairah.

Air masuk bercampur dengan saliva, sedikit tawar dan hangat. Jasmine melingkarkan lengannya pada bahu koko Leonardo, dan Leonardo menangkup pinggang Jasmine. Tubuh Jasmine terdorong masuk pada sisi dalam ruang jet shower.

Ah, ini benar-benar seperti candu bagiku, pikir Jasmine. Ia menikmati tiap-tiap alunan bibir Leonardo yang melumat kasar bibirnya. Menikmati ciuman panas itu.

Leonardo mengelus naik ke atas benda kenyal dan menangkupnya dengan kasar. Jasmine mulai melengguh dan menggeliat sensual. Jasmine mengusapkan kakinya naik, mengait pada paha Leonardo. Leonardo mengelus paha Jasmine sampai ke arah pantat.

"Achh!!" Jasmine melengguh lagi, membuat Leonardo semakin menginginkannya.

"Kau benar-benar wanita yang nakal, Baby!" Leonardo mengunci kedua tangan Jasmine ke atas kepalanya. Mereka bersitatap dengan intens, mata bertemu mata, hasrat bertemu hasrat, gairah bertemu gairah.

"Kau yang membuatku jadi seperti ini! Jadi bertanggung jawablah, Tuan Wijaya." Jasmine tersenyum. Leonardo menggigit pelan pundak Jasmine dan menjilat cerukkan leher sampai ke belakang telinga.

Gerakan sensual mereka tanpa sadar menekan alat digital pengatur mengatur suhu air. Memanaskan air sampai ke tingkat tertinggi. Walupun tidak sampai seperti air mendidih, pasti akan sangat menyakitkan bila menyentuh kulit. Air mengalir dari sisi atas shower. Leonardo berjengit saat air panas menetes.

"Awas!!" Leonardo melindungi Jasmine dengan punggungnya. Menahan air panas agar tidak mengenai tubuh Jasmine. Dengan refleks cepat tangannya bergerak untuk mematikan tombol air. Beruntung tidak banyak air yang menghujani mereka.

"Leon!! Kau tidak apa-apa??" Jasmine terlihat panik. Leonardo menyahut handuk dan pergi dari pandangan Jasmine.

"Leon!!" Jasmine mencegah Leonardo pergi.

"Lepaskan!!" Leonardo menepis tangan Jasmine .

"Apa kau baik-baik saja?? Coba aku lihat luka tidak? Aku akan mengobatinya, kau punya salep dingin?? Aku akan menelepon Carl." Jasmine bergetar hebat, ia bahkan bingung saat harus menekan tombol pada intercom telepon, serangan panik karena kecelakaan barusan.

"Aku tidak apa-apa! Lagi pula apa kau akan memanggil pelayan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu??" Leonardo menunjuk tubuh Jasmine. Ia kesal dengan tingkah istrinya yang tak punya pertahanan.

"Ah, benar. Maaf. Aku terlalu panik. Benarkah kau tidak apa-apa? Sungguh?" Jasmine berusaha melihat punggung Leonardo.

"Tidak apa, suhunya memang panas, tapi tak akan sampai membuat kulit melepuh." Leonardo menyelimutkan handuk ke punggung Jasmine.

"Sekali lagi, maafkan aku. Kau terluka karena melindungiku."

"Siapa bilang? Aku hanya melindungi anakku." Leonardo menyinggungkan sudut bibirnya. Hati Jasmine kembali terasa sesak, seakan-akan Leonardo tak lagi mempedulikannya dan hanya peduli pada anak mereka.

"Maaf," lirih Jasmine, air mata mengalir dari sudut mata bulatnya.

"Sudahlah, aku harus berangkat ke kantor." Leonardo mendengus kasar dan meninggalkan Jasmine mematung seorang diri.

"Kenapa jadi begini? Hiks, aku padahal sudah mulai mencintaimu dengan tulus, Leon." Jasmine terisak. Leonardo mendengarnya dari dalam ruang ganti.

Benarkah ia belum merasa puas setelah berhasil menyiksa batin Jasmine seperti ini??

oooooOooooo

Please like and comment, jangan lupa kasih banyak cinta buat author bellecious 💋💋💋💋

avataravatar
Next chapter