76 SORRY

Pagi hari yang cerah. Langit dan lautan biru membentang luas, bersaing siapa yang lebih indah. Burung-burung camar terbang sambil mencuit sahut menyahut, sedangkan beberapa ekor ikan terlihat meloncat-loncat di permukaan air.

"Lucu sekali!!" Ameera berseru girang, ia menengok permukaan laut dari atas tepi buritan kapal. Topi lebarnya melambai seakan hendak tersapu angin, untung saja ada tali pengikat yang membuatnya tetap aman.

"Kau bisa tercebur kalau terus menengok sampai sebungkuk itu, Kak." Eric duduk bersila di bawah Ameera. Ia memainkan pisau lipat, benda tajam itu menari indah di tangan Eric.

"Berhentilah memainkan pisau, Eric! Bahaya." Ameera mendengus kesal, baginya perbuatan anak itu jauh lebih berbahaya dari pada kelakuannya menengok laut dari tepi buritan.

"Kenapa? Bagiku ini hal biasa." Eric acuh dan sibuk mengupas apel pemberian Mike.

"Bermain pisau bukanlah hal biasa! Kau bisa ditangkap polisi!" Ameera mengeplak kepala Eric.

"Ach!! Sakit!"

"Apa yang kualakukan?" tanya Ameera.

"Ini, aku mengupas apel. Mau?" Eric menyodorkan sebuah apel yang sudah terkupas bersih.

"Sejak kapan?" Ameera menerimanya.

"Sejak kau berteriak-teriak seperti orang gila tadi." Eric terkekeh, ia menggigit apel lain. Ameera ikut bersila di dekat Eric, memakan apelnya.

"Kau tidak takut padaku, Kak?" Eric menoleh ke arah Ameera, gadis itu duduk tanpa jarak sama sekali dengannya. Lutut mereka bahkan bersentuhan.

"Haruskah??" Ameera terlihat bingung.

"Semua orang di tempatku berasal sangat takut padaku." Eric tersenyum.

"Oh, ya? Hm ... ngomong-ngomong kau berasal dari negara mana?"

"Irak," jawab Eric.

"Kok bahasa Indonesiamu bagus??" Ameera melongo, ia hampir-hampir tak percaya. Selain karena warna kulit Eric yang cenderung gelap, Eric sangat mahir berbahasa Indonesia.

"Ibuku berdarah Indonesia. Begitu pula Ayahku." Eric tersenyum, ia menggenggam bandul kalung yang berisi foto sang ibu.

"Di mana ibumu?"

"Sudah meninggal saat mencari Ayah, waktu itu usiaku 4 tahun."

"Ah, aku ikut berduka cita, ya. Setidaknya kau telah bertemu Ayahmu." Ameera menepuk pundak Eric. Eric mengangguk.

"Ah, langitnya cerah sekali. Biru, rasanya enggan untuk mengakhiri liburan ini. Tapi dua jam lagi kita akan berlabuh." Ameera menyipitkan mata untuk melihat langit biru.

"Benar. Aku harap kita bertemu lagi, Kak." Eric bangkit, mengulurkan tangannya membantu Ameera berdiri.

"Dasar bocah! Kita pasti akan bertemu lagi tahu!!" Ameera mengusik pucuk kepala Eric. Bocah pria itu hanya setinggi dada Ameera.

"AMEERA!!" teriak Rosie dari kejauhan.

"Ah, itu ibuku. Dia pasti marah karena aku belum membereskan pakaianku." Ameera menyengir. "Aku pergi dulu, Eric. Sampai bertemu lagi! Jadilah anak baik, OK!" Ameera lagi-lagi mengusik kepala Eric, membuat wajah bocah itu menghangat.

"MERA!!"

"Iya, Bu. Coming!!" Ameera berlari ke arah sang ibu dan langsung bergelayut pada lengannya.

"Dasar! Ke mana saja sih? Ibu cari-cari! Kita masih harus berpamitan pada keluarga besan!" Rosie menegur Ameera.

"Iya, Bu. Maaf, terlalu asyik melihat ikan." Ameera menjulurkan lidahnya.

"Ibu belum melihat Kakakmu? Apa dia belum bangun? Dasar anak itu, padahal suaminya sudah sarapan di bawah. Kenapa dia tak melayani suaminya dihari pertama menjadi suami istri?!" Rosie merasa kesal dengan Jasmine, bukannya menemani Leonardo sarapan, dia bahkan belum beranjak dari dalam kamarnya.

oooooOooooo

Jasmine sudah berganti pakaian. Ia mondar-mandir di dalam kamar, wanita itu terus mendengus kesal karena ia memang tak mengingat kisah kasihnya semalam.

Mimpi atau kenyataan??

"Untuk apa dipikirkan?! Lebih baik aku bertanya langsung padanya," tutur Jasmine, ia bergegas pergi untuk menemui Leonardo.

Di restauran kapal.

"Tuan Leon, ini Nona Hilda." Kesya menyodorkan seorang wanita yang dicari oleh Leonardo pagi ini.

"Perkenalkan, Tuan Leon, saya Hilda, penyayi soprano yang mengisi acara malam pernikahan Anda. Sebuah kehormatan bisa mengenal Anda Tuan." Hilda tersenyum, wajah cantiknya merona kemerahan, hatinya begitu bahagia, kenapa pria sekelas Leonardo mencarinya? Apa ia juga hendak memakai jasanya seperti teman-temannya semalam.

Leonardo mengangguk, ternyata wanita ini yang membuat Jasmine cemburu semalam. Sepertinya istrinya itu salah sangka dengan kepergian Leonardo. Ia kira suaminya menemui wanita ini dan menghabiskan malam bersamanya.

"Sebutkan hargamu!" Leonardo mengelap mulutnya setelah selesai makan.

"Hmm, teman-teman Anda memberi saya sebuah kontrak rekaman. Nilainya cukup besar, Tuan Leon. Kalau Anda mau, saya bisa memberikan diskon separuh harga." Hilda mengelus pundak Leonardo, ia mendekatkan bibir agar Leonardo terpesona dengan suara merdunya.

"Minggir!! Jangan dekat-dekat!! Wanita menjijikkan." Leonardo malah mendorong Hilda sampai wanita itu hampir terjungkal, beruntung Kato sempat menangkapnya.

"Maaf, Tuan." Hilda bergidik takut.

"Lagi pula apa aku terlihat pria yang menginginkan diskon dari wanita murahan sepertimu? Aku bahkan bisa membayarmu untuk mati saat ini juga!!" Leonardo membentak Hilda dengan kasar karena meremehkannya.

"Maaf, Tuan. Maafkan saya. Saya tidak bermaksud ..."

"Tuan Leon, Nona Jasmine datang!!" Kesya menyela dan memberi kode. Leonardo terkejut, ia pun langsung menarik lengan Hilda dan pura-pura bercakap akrab dengan wanita itu. Semula Hilda mengeryitkan alisnya bingung dengan perubahan sikap Leonardo —dari kejam dan dingin menjadi lembut dan manis. Namun begitu Jasmine mendekati mereka, Hilda tahu. Leonardo hanya butuh jasanya untuk membuat sang istri cemburu. Hilda langsung beracting seakan memang untuk itulah ia dibayar.

"Terima kasih sudah menemaniku semalam, Hilda." Leonardo mengelus lengan Hilda yang terbuka.

Jasmine mendekat, Relia mengerkor di belakangnya. Mata bulat Jasmine tak ayal langsung melotot galak ke arah Leonardo saat mendengar ucapan pria itu! Apa dia bilang? Menemaniku semalam? Yang benar saja? Leonardo benar-benar telah berselingkuh di awal pernikahan mereka??

"Apa masih sakit?" tanya Leonardo lagi, Hilda tersenyum manis dan mengalungkan lengannya pada sikut lengan Leonardo.

"Sedikit, Tuan. Permainan Anda semalam sangat liar dan ganas." Hilda menjawabnya sambil tersenyum pada Jasmine. "Oh, kenapa wajah Anda pucat Nona Jasmine? Apa Anda sakit?"

"Tidak! Aku baik-baik saja."

"Syukurlah, terima kasih sudah meminjamkan Tuan Leonardo semalam." Hilda semakin mempererat pelukkannya.

Jasmine mengepalkan tangan menahan rasa sesak dan sakit yang bergemuruh di dalam dadanya. Jasmine menggigit bibir; berusaha menjaga agar wajahnya tetap tenang dan tegar.

"Kenapa kau mencariku, Baby?" Leonardo beralih pandang ke arah Jasmine.

"Tidak, tidak ada!" Jasmine mendengus dan berbalik badan, "Ayo kita kembali ke kamar, Lia."

"Baik, Nona. Saya permisi, Tuan Leon." Relia mengikuti Jasmine begitu berpamitan dengan Leonardo.

Jasmine berjalan cepat menuju ke dalam kamarnya. Air matanya terus terurai sepanjang jalan. Dengan kasar ia menutup pintu kamar, membuat Relia berjengit kaget.

"Nona?? Anda tidak apakan??" Relia menggedor pintu kamar Jasmine.

"Pergilah, Lia!! Aku sedang ingin sendiri!!" Jasmine merosot jatuh ke lantai. Ia menangis terisak-isak.

"Nona Jasmine, tolong jangan begini! Ini tak baik untuk bayi Anda." Relia menggedor lagi pintu, namun sampai lelah ia berusaha, Jasmine tetap tidak bergeming. Ia tetap menangis dan tak ingin siapa pun masuk.

Jasmine menangis sambil memeluk lutut, ia menekan dadanya yang sesak karena ucapan Leonardo.

Jadi semalam benar-benar hanya mimpi? Sentuhannya yang hangat? Kecupannya yang manis? Persatuan yang nikmat? Hentakan yang penuh gairah itu hanya mimpi? batin Jasmine.

Hatinya terasa sesak dan terluka. Ia menyentuh perutnya dan kembali terbayang akan penolakkannya terhadap Leonardo dan juga bayi mereka. Jasmine merasa bersalah, sesakit apapun Jasmine saat ini ia hanya bisa menyimpannya di dalam hati karena rasa bersalah yang menghantuinya.

Bukan salah Leonardo sampai hatinya berubah. Bukan salah Leonardo sampai mengacuhkannya saat ini. Bukan salah Leonardo bila ia menduakan Jasmine dengan wanita lain. Toh ini bukan pernikahan yang selayaknya pernikahan, ini hanyalah sebuah pernikahan agar anak mereka terlahir sebagai anak sah keluarga Wijaya. Pemilik darah dan nama besar keluarga Leonardo.

Jasmine berkali-kali menolak cinta Leonardo. Jasmine pula yang menolak ajakan Leonardo untuk menikah dan malah menyakiti anak mereka. Jasmine juga yang setuju mengakhiri hubungan mereka setelah sembilan bulan. Tak pelak, Leonardo pasti menilainya sebagai wanita jahat yang akan menelantarkan anaknya begitu lahir demi uang kompensasi.

Naif sekali dirinya yang mengharapkan cinta itu untuk kembali hadir. Naif sekali dirinya yang percaya bahwa Leonardo masih mencintainya sepenuh hati.

"Hiks, maafkan Mama, Nak. Mama terlalu bersedih. Kau jangan ikut menangis, ya! Mama janji tak akan menangis lagi." Jasmine mengelus perutnya, mencoba untuk tegar demi bayinya.

Aku tak boleh terpuruk hanya karena hal ini, kalau aku ingin bahagia bersama anakku, aku harus mendapatkan cinta Leonardo kembali! Jasmine mengusap air matanya dan bangkit berdiri. Jasmine bertekat untuk berjuang mendapatkan cinta suaminya kembali. Tak hanya semata-mata karena hatinya yang terlanjur mencintai Leonardo, namun juga bagi kebahagiaan anak mereka.

oooooOooooo

Hmm ... Memang setiap perbuatan pasti akan menuai hasil, jadi berpikir dua tiga kali sebelum bertindak 😊. Yang tegar ya Jasmine. 😘😘😘😘 tak selamanya main charakter itu sempurna. Ia juga punya kesalahan ya gaes.

Semoga Jasmine bisa kembali memperjuangkan cintanya 🥰🥰🥰🥰 dan menjadi wanita kuat!!

avataravatar
Next chapter