"Aku tidak tahu kalau kau adalah perempuan," ucap Brick dengan lirih.
Brick menelan ludah kasar, menundukkan wajahnya dan menyesali apa yang sudah dia perbuat. Menghajar seorang gadis bukanlah hal yang jantan. Sebagai lelaki, tidak ada istilah memukul perempuan apapun alasannya. Brick merasa malu sekali, dia tidak bisa menunjukkan wajahnya sekarang.
"Aku minta maaf, aku sangat ceroboh. Kalau kau ingin mengajukan keluhan dan melaporkan aku ke pihak ADDOM, maka aku tidak akan melarang. Berikan aku sanksi yang bisa membuat ku menebus semua kesalahan yang telah ku perbuat," ujar Brick. Kali ini dia berlutut dan mengutarakan semua perasaan bersalahnya.
"Oh astaga!" Loria meraih pundak Brick. Menggeleng cepat dan menarik bahu kekar Brick agar dia berdiri. "Hentikan omong kosong itu, aku tidak suka dengan rasa bersalah yang berlebihan. Kau tidak tahu tentang aku, jadi wajar kesalahpahaman terjadi. Sudahi masalah ini, aku tidak apa-apa. Daripada memancing keributan, lebih baik kita segera membereskan kekacauan di sini--"
"Tidak perlu repot-repot, setelah kita semua meninggalkan ruangan ini," sela Sheilla. Gadis berambut pirang itu menunjuk ke arah pintu keluar kelas sebentar lagi akan ada yang mengatasi kekacauan ini.
"Benar, kalau ingin melakukan mediasi langsung saja pergi ke tempat yang lebih tenang. Aku tahu dimana kita bisa berbincang tanpa merasa terganggu," ujar wanita bertopi penyihir.
Loria mengulum senyum. "Baiklah, kita bisa ke sana. Terimakasih atas bantuan anda."
Loria menggenggam tangan wanita bertopi penyihir dan berjabat tangan. Wanit itu bersemu merah.
"Oho, aku hanya berbicara. Tidak membantu apapun, tapi... terima kasih kembali."
.
.
.
.
.
Selama perjalanan menuju tempat yang dimaksud wanita bertopi penyihir, Loria tersenyum cerah. Senyumannya merekah tak henti-henti. Memandangi tangan yang baru saja melakukan aksi menganggumkan, Loria berseru di dalam hati. Pasti gadis itu sudah merasa menjadi salah satu manusia super di dalam film superhero yang biasa dia tonton bersama sang ayah.
Loria baru saja menyadari kalau tadi dia hampir jatuh kalau tidak berhati-hati, rupanya dengan menggunakan awan yang ada di ruangan itu otomatis Loria dapat masuk dan berjalan di sana. Setidaknya itu yang sudah Loria ketahui meskipun dia baru berada di kelas itu selama beberapa jam.
"Hei, kau."
Loria mendongak, memperhatikan sosok yang tengah memanggilnya tersebut.
"Ya, ada apa?" tanya Loria balik.
"Kau berasal dari mana?" tanya wanita itu.
"Aku berasal dari London," jawab Loria.
Wanita itu membulatkan mulutnya menyerupai huruf O. Dia baru tahu tentang Loria, tidak ada banyak informasi yang disebarkan tentang siswa-siswi di sana terkecuali mereka sendiri yang menjabarkan hal itu kepada orang lain.
"Kau sendiri, berasal dari mana?" tanya Loria. Dia juga penasaran dengan asal muasal para siswa-siswi yang ada di kelasnya itu, tidak nyaman bila dia tidak tahu apapun tentang teman-temannya.
"Berlin," jawab wanita itu singkat.
'Sesuai dengan logat bicaranya.' Loria membatin, diliriknya wanita berambut coklat itu, topi penyihir berwarna ungu tersampir indah di kepalanya.
"Itu kota yang indah," puji Loria. Loria antusias saat dia menemukan teman baru yang berasal dari negara yang berbeda. "Banyak festival budaya yang menakjubkan. Aku ingin menikmati festival lampu di depan Katedral dan juga beberapa museum menarik di sana. Berlin penuh dengan budaya dan bangunan bergaya klasik yang penuh gemerlap."
"Ya, kami suka dengan sesuatu yang penuh warna," balas wanita itu. "Sesekali berkunjunglah ke sana bersama ku ketika musim liburan sudah tiba."
"Itu ide yang bagus, aku akan sangat senang berkunjung ke sana." Loria membalas denga ramah.
"Bicara soal itu... Perkenalkan aku Inge Sworben," ujar wanita itu. "Panggil aku Inge."
"Salam kenal, Inge. Nama mu cantik sekali," ujar Loria. "Perkenalkan, nama ku Loria Hardio. Panggil saja aku Loria."
"Wah! nama yang manis sekaligus gagah," puji Inge. "Pria yang tadi memukul mu itu namanya Brick Pitterson. Dia pria yang baik, hanya saja over action untuk gadis yang sedang disukainya."
"Aku baru tahu nama dia, sepertinya kau sudah kenal banyak orang di sini. Aku tidak luwes dalam pergaulan," tutur Loria, kagum pada Inge.
"Tidak juga, kau terlalu memuji ku. Aku lebih dulu datang ke sini, jadi wajar bila aku tahu beberapa orang terlebih dahulu ketimbang dirimu," ujar Inge. "Di kelas kita tidak semuanya terdiri dari orang yang menyenangkan. Kau harus tetap berhati-hati, aku lihat kau terlalu lugu."
Inge menyeka poni rambut Loria yang menutupi satu mata indahnya. "Tapi tenang saja, di sini bukan seperti sekolah pada umumnya. Berkenalan lah, dan membaur. Tidak ada senioritas di sini. Lebih tepatnya, di sini sangat liberalis."
Loria mengangguk paham, setidaknya dia sudah punya teman baru di situ. Dia harus lebih banyak membuka diri untuk pergaulan di tempat barunya tersebut.
"Oh! lalu siapa gadis yang tadi berlari saat aku ajak bicara? dia adalah gebetan Brick bukan?" tanya Loria.
Inge manyun, cemberut dan melipat tangannya di depan dada. "Ya, namanya Cora Iana. Panggil saja dia Cora. Dia sangat pemalu, dan dia pasti mengira kalau kau berniat mesum. Maklum, banyak orang yang salah paham dengan fisik mu."
Loria mengangguk maklum, tidak tersinggung. "Ya, kau benar. Aku mengerti. Aku harus minta maaf padanya."
"Nanti saja, biarkan Lucy yang membujuknya. Dia ahli dalam berbicara, juga ahli dalam perasaan orang lain. Atau bisa dibilang dia ahli hipnotis," sanggah Inge. "Ayo ke taman, pasti Brick dan yang lainnya sudah ada di sana."