webnovel

Tukang Ojol

"Mas?" ucapannya membuyarkan segala yang berkecamuk dalam pikiranku.

"Mas, boleh, ya?" mohonnya lagi.

"Mas..." Melihat wajahnya yang memelas seperti itu membuat emosiku menguap seketika.

"Hm." Aku berdehem menanggapi permohonannya.

"Boleh?" Aku mengangguk membuat binar cerah di wajah sendunya yang habis menangis tadi kembali terlihat dengan cantik.

"Makasih, Mas!" Bening berjingkrat kegirangan, dia melompat memelukku, membuat aku terpaku di tempat.

"Makasih pake banget bingits deh pokoknya buat Mas!" Melepas pelukan canggungnya ketika ia sadar telah melakukan sesuatu yang pria sukai, ups!

"Saya antar," kataku tak ingin dibantah.

"Mas, gak usah." Bening menahanku. "Bukannya gak mau dianterin, tapi ojol yang aku pesan udah datang." Menunjuk dengan dagunya saat seorang tukang ojol tiba dan berhenti di depan gerbang, di hadapan kami.

"Atas nama Bening?" tanya tukang ojol dan Bening mengangguk.

"Cancel aja!" Aku mulai kesal.

Tahan Aslam, tahan!

"Gak enak, Mas. Kasian Mang Ojolnya nanti...jauh-jauh ke mari tapi di cancel-in..."

Ucapan Bening membuatku terpaku dan kehabisan kata-kata. Aku bertolak pinggang lalu berjalan mondar mandir merasa kesal akan tingkah istriku. Baru saja aku merasa bersalah karena sikap bar-bar yang aku lakukan padanya beberapa jam yang lalu. Tangisan ketakutannya, masih sangat terasa dalam diriku karena aku mendekap erat dirinya.

Tapi apa ini? Apa-apaan dia ini? Dia lebih mementingkan serta mencemaskan tukang ojol itu dibanding suaminya sendiri?

"Jadi berangkat, Dek?" Tanya tukang ojol yang sedang menunggu dan menyaksikan perdebatan kami. Tunggu! Dek? Hah, apalagi ini? Aku baru sadar ia memanggil 'Dek' pada istriku.

"Nggak!" Aslam.

"Ya," Bening.

"Jadi apa nggak nih, Dek?" tanyanya lagi.

"Heh, dia bukan adek kamu!" Hardikku kesal.

"I-iya, Pak. Abisnya adeknya ini imut sih. Anak Bapak, manis."

Seakan ledakan bom hirosima yang percikannya sampai di sini, ucapan tukang ojol itu benar-benar membuatku mati kutu.

Bapak? Setua itukah diriku sehingga ia mengira Bening adalah anakku? Kulihat Bening menahan tawanya.

"Dia bukan bapak saya, Mang." Bening mengakuiku. Membuat ledakan emosi yang tadinya akan lebih dahsyat dari bom hirosima seketika mereda.

"Dia, suami saya." tersenyum menatapku, membuatku salah tingkah. Senang? Tentu saja.

"Oh...maaf, Pak. Eh, Mas, Bang. Hehe...kirain anaknya. Mau saya kecengin, gitu," ujar tukang ojol.

"Jadi, mau diterusin apa di cancel nih, Dek?" tanyanya kemudian merasa tak enak padaku.

"Jadi kok, Mang. Ya udah Mas aku pamit dulu. Mas hati-hati berangkat kerjanya. Assalamualaikum..." Bening menyalimi punggung tanganku.

Aku menggenggam erat tangannya ketika ia hendak melepasnya. Dengan sikap sengaja aku menariknya sehingga tubuhnya menabrakku. Lalu tanpa malu aku mengecup kening dan bibirnya sekilas. Di depan tukang ojol yang merasa kikuk itu, aku sengaja membiarkan dia melihat kemesraan yang aku berikan untuk istriku.

Bening menegang dan terkejut akan sikapku. Sepertinya ia masih trauma akan kejadian sebelumnya. Cepat-cepat ia melepaskan diri. Tapi aku tetap menahannya.

"Tunggu, mana hp-mu?" Menengadahkan tangan meminta hp-nya.

"Untuk apa?"

"Cepat berikan, sini!" Tak mau dibantah.

Dengan enggan Bening mengambil hp yang ada di dalam tasnya lalu memberikannya padaku. Aku mengambil hp yang ada di saku celanaku, hendak menerima panggilan dari nomor Bening. Tapi ternyata jalan tak selalu mulus. Bening mengunci hp-nya. Entah dengan pola rumit apa atau salah satu jari mana yang dijadikannya finger scan.

"Buka kuncinya," perintahku dengan suara pelan. Tak ingin harga ini turun seribu di depan tukang ojol yang kurasa masih menyimak interaksi di antara kami. Suami macam apa yang tak tahu sama sekali pola kunci hp istrinya? Aku tak ingin ojol itu berpikir ke situ.

Bening mengangkat tanganku yang sedang memegang hp-nya. Lalu tepat pada wajahnya ia meletakkan layar hp-nya. Layar hp itu menyala. Ah, rupanya pemindai wajah untuk membukanya.

Sejenak aku tertegun. Wallpaper yang ia pajang adalah foto selfi dirinya yang memang benar-benar manis. Lalu secepat kilat aku mengetik nomor pada hp-nya dan mencoba menghubungiku dengan nomornya. Aku mematikan panggilan lalu menyimpan nomornya. Tak lupa aku menyimpan nomorku di hp-nya.

"Nih." Menyodorkan hp kepadanya. "Hubungi saya kalo kamu mau pulang," perintahku.

"Hah? I-iya. Aku pergi dulu," pamitnya.

"Hati-hati." tak percaya, pada akhirnya aku mengijinkannya.

Bening melambaikan tangan. Pada akhirnya aku kalah telak oleh pesona tukang ojol yang tetap membawa istriku pada tujuannya.

Menikahi Bening membuat hari-hariku terasa seperti menaiki roller coster. Selalu ada hal yang tak terduga. Sikapnya yang sulit sekali aku tebak membuatku terus bertanya-tanya. Bahkan jauh dari jangkauan, berbanding balik dengan Erina yang sempurna di mataku. Perempuan seperti apa yang aku nikahi itu?

***

"Udah mendingan, eih?" Mario menyapaku ketika kami berpapasan hendak menaiki lift. "Kalo masih sakit gak usah maksain. Gue bisa handle kerjaan lo," tuturnya.

Aku menoleh padanya lalu kami sama-sama memasuki lift yang pintunya sudah terbuka.

"Gue tau dari Cibey. Kemarin dia yang ngabarin kalo lo sakit," jelasnya seakan ia tau apa yang hendak ingin aku tanyakan.

"Hm." Aku hanya berdehem menanggapi ucapannya.

"Lo, baik-baik aja?" tanyaku kemudian memecah keheningan di antara kami. Walau gimana pun, Mario adalah manusia yang mempunyai sisi rapuh dalam dirinya.

"Jujur, gue gak baik-baik aja. Tapi gue harus baik-baik aja, bukan?" ucapnya.

"Sorry," hanya itu yang bisa aku utarakan.

"Gak usah minta maaf. Lo berhak."

"Gue gak maksud."

"Gak apa, gue ngerti." Mario tersenyum kecut. "Lo, gak nyakitin Cibey, kan?" tanyanya ragu.

"Kami belum melakukannya," sanggahku mengerti akan ucapannya.

"Dan entah apa aku bisa melakukannya. Tapi yang jelas, lo gak usah kepo. Ini privacy!" Semburku kemudian tepat ketika lift yang mengangkut kami berhenti pada lantai yang kami tuju.

"Ah, padahal gue penasaran," kekehnya lalu ia duduk di meja kerjanya.

"Oh ya, katanya Hilda ngundurin diri kemarin. Dadakan banget," ceritanya.

"Ah, Hilda. Ya...gue yang suruh,"

"Hah? Sumpah lo? Kenapa?" Mario terkaget. "Padahal si Hilda anaknya pinter, berpendidikan trus kerjanya juga bagus."

"Ya, dia memang seperti itu. Tapi mulutnya gak sebagus pendidikannya." Sambil berkutat pada tumpukan berkas yang sudah berada di meja kerja.

"Kelakuan tak ada akhlaq itu harus gue basmi supaya tidak merusak citra perusahaan yang gue rintis dari nol."

Mario diam dan tak menanggapi selanjutnya. Ucapanku mungkin terdengar mengintimidasi sehingga membuat Mario tak meneruskan rasa penasarannya.

***

"Mbak Cibey, kiraan gakkan datang." Yuni memekik ketika melihat sosok yang ditunggu-tunggu turun dari ojolnya. Ia memberikan helm kepada tukang ojol yang tadi mengantarnya.

"Makasih ya, Mang."

"Sama-sama, Dek. Oh ya, tadi beneran suami Adek?" Tukang ojol kepo.

"Iya, Mang."

"Suaminya galak ya, Dek?"

"Nggak, kok. Suami saya baik. Ya udah deh saya tinggal dulu. Sekali lagi makasih ya," pamit Bening masuk ke toko bersama Yuni yang tadi menghampirinya.

"Ngobrolin apaan?" Tanya Yuni.

"Gakpapa,"

"Emang bener kata tukang ojolnya. Suami Mbak Cibey, galak,"

"Lho, kok, Mbak Yuni kenapa malah ngomongin Mas Aslam?" Bening geleng-geleng kepala. "Mana yang mau dihias kuenya? Cepetan kerja! Katanya mepet..." Mengalihkan topik pembicaraan.

"Hehe, iya mangap, Mbak. Ampun." Mengacungkan dua jari membentuk huruf V.

Bening dan Yuni pun masuk beriringan mengerjakan setumpukan tugas yang harus diselesaikan hari ini.

***

EPILOG

Siapa yang takkan gemetar dan ketakutan ketika seseorang mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh walaupun itu dari orang terdekat kita? Termasuk suami sah kita sendiri.

Ya, Mas Aslam bersikap di luar batasnya. Dia melakukan yang sebenarnya sah-sah saja dan dia wajib melakukannya. Dan aku wajib menerimanya.

Tapi bukan ini yang aku mau!

Perlakuan Mas Aslam begitu kasar dan menakutkan. Ia lepas kendali. Seperti predator yang sedang menerkam mangsa. Entah apa yang merasukinya? Adegan ber-ihim ria yang jauh dalam bayanganku. Tak ada cahaya lilin ataupun lampu remang-remang bertaburan kelopak mawar seperti yang sering kali kulihat dalam drama.

Aku menegang dengan ciuman brutal dan juga sentuhannya. Aku meronta sekuat tenaga. Namun tenagaku tak bisa melampaui tenaga Mas Aslam. Bagai batu, Mas Aslam tak bergerak sedikit pun. Hingga sahutan mama menghentikan gairah yang sepertinya sudah memuncak dalam diri suamiku.

Mas Aslam kesal, tangannya terkepal memukul tempat tidur setelah mama meminta maaf karena menginterupsi kegiatannya.

Setelahnya aku menangis, menutup wajahku dengan telapak tangan. Aku sungguh malu!

Walaupun mungkin mama tidak sepenuhnya melihat apa yang terjadi di antara kami karena berada di sisi yang berbeda. Tubuhku semakin bergetar ketika Mas Aslam menurunkan kaos yang aku kenakan. Aku begitu terkesiap dan...merasa takut.

Tanpa mau bergeser di atas tubuhku, seolah melindungi, Mas Aslam merengkuh tubuhku. Dia mengecup keningku berulang kali untuk menenangkanku. Mas Aslam meminta maaf akan perlakuannya padaku.

Maafkan aku juga, Mas. Aku menyadari kesalahan yang aku perbuat juga. Sebagai istri, aku telah mengabaikan apa yang suamiku perintahkan. Aku sungguh malu, malu karena membuat Mas Aslam marah padaku...

***

Aku langsung berlari ke atas mengambil tas setelah mengantar Mas Aslam sampai ke depan mobilnya. Rasa malu, perasaan bersalah dan juga kesal jadi satu. Ya, setidaknya aku marah karena apa yang Mas Aslam lakukan tadi. Tanpa mau menoleh atau berdadah ria aku sedikit merajuk pada suamiku.

Lewat pintu belakang aku keluar dari rumah setelah pamit pada mama yang ternyata sedang di taman belakang. Aku tak memperhatikan mobil Mas Aslam yang ternyata belum berangkat. Hingga seruan seseorang itu membutku kaget.

"Mau ke mana, kamu?" Sumpah demi apapun, aku begitu bingung harus dengan cara apa aku mendapatkan izin darinya karena mbak Yuni sungguh-sungguh kewalahan mengerjakan semua pesanan di toko.

Hingga Mang Ojol itu datang dan membuat Mas Aslam sedikit possesif. Bersyukur Mas Aslam mengizinkanku pada akhirnya. Aku pamit melambaikan tangan padanya setelah tubuhku di angkut oleh Mang ojol yang sebelumnya suamiku bersikeras mengantarkanku.

Mas Aslam cemburu ketika aku lebih mementingkan tukang ojol itu ketimbang dirinya.

Maaf ya, Mas. Saatnya berbagi rezeki, bukan?

Hp-ku bergetar. Ada 1 pesan masuk .

'Hati-hati'

Bukan karena itu aku kehabisan kata-kata. Aku salfok pada nama yang mengirimku pesan itu.

Suami ganteng tersayang

Auto pengen lompat dari motor ojol ini... 😊

TBC

Next chapter