webnovel

Di mana kamu?!

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 07.30 malam. Hari ini pekerjaanku begitu sibuk. Sehari kemarin tidak bekerja, berkas-berkas setumpukan seperti seminggu. Belum lagi masalah proyek dari klien yang ingin segera rampung. Entah memang seperti inikah pekerjaanku selama ini? Atau karena rezeki setelah menikah, banyak sekali klien baru yang ingin bekerja sama.

Ya, orang bilang rezeki sebelum dan sesudah menikah berbeda. Semoga rezeki menikahku ini selalu membawa berkah dan terus mengalir.

Aku menyenderkan punggungku di kursi kebesaranku. Melepaskan kaca mata yang sudah membuat kepalaku pening. Aku memijat pangkal hidung supaya meredakan sakitnya.

"Besok aja terusin lagi. Gue juga udah capek banget," sahut Mario. Kulihat dia juga sudah kelelahan.

"Emang bener ya, ini rezeki setelah lo merit. Kerjaan bertambah banyak." Baru saja aku memikirkan hal itu, Yo.

"Duluan aja. Ya, semoga kita bisa menyelesaikan semuanya tepat waktu," balasku menyahut.

"Apa ini efek faktor U? Sepertinya stamina ini terus menurun," lirihku yang memang merasakan akhir-akhir ini selalu lelah.

"Gue rasa begitu. Atau mungkin kita jarang berolah-raga akhir-akhir ini. Udah lama juga, kan, kita gak nge-Gym." Kurasa Mario benar.

"Ya, sepertinya begitu..." tanggapku memejamkan mata.

"Tapi, lo kan bisa olga malem bareng bini lo. Dan itu bisa bikin badan seger," celetuknya membuatku membuka mata lalu memelototinya tanpa ekspresi.

"Hehe, becandaan doang. Serius amat. Ya udah, gue cabut duluan, ya. Semoga besok udah fresh lagi," pamitnya.

"Lam," panggilnya kemudian ketika sampai di ambang pintu.

"Hm,"

"Sorry." Aku menoleh saat Rio mengucapkan kata-kata itu.

"Sorry, karena sepertinya perasaan gue terhadap bini lo gakkan bisa ilang gitu aja. Jadi maafin gue kalo-kalo ke depannya ada sikap refleks gue sama Cibey," tuturnya.

"Tolong bersabarlah ngadepin gue yang sabar juga ngadepin lo, karena sejujurnya sulit bagi gue nerima cewek yang gue cintai dari dulu nikah sama sobat gue sendiri. Tolong maklumin gue. Sampai gue bener-bener ikhlas." Aku terpaku. Mario tersenyum kecut sambil lalu meninggalkan ruangan kerja kami.

Maafin gue juga, Yo. Karena gue juga belom yakin perasaan apa yang gue punya terhadap Bening.

Aku mengambil ponsel. Hal pertama yang aku gulir pada layar ponselku adalah membuka instagram. Banyak sekali postingan Erina memenuhi beranda. Aku memandang lekat-lekat foto dirinya yang begitu cantik. Dia tak berubah sedikitpun, wajahnya masih sama seperti tahun kemarin. Hanya model dan warna rambutnya saja yang berbeda.

Aku tersenyum melihat fotonya. Senyum kecut yang hampir seperti sinis. Bahkan jempol tangan yang biasanya langsung menekan love dan juga menyertakan komentar yang langsung di hapusnya, kali ini aku melewatinya. Aku mengamati, namun tak ingin memberinya pesan jika aku merindukannya ataupun menanyakan kabarnya.

Kali ini jempol tanganku bergulir. Mencari nama seseorang. Tapi banyak sekali nama yang keluar ketika aku mengetik nama istriku. Sebenarnya, apa nama IG istriku? Aku terlalu malu jika aku menanyakannya langsung padanya. Atau, haruskah kubertanya pada Mario?

Ah ya, kurasa aku harus mencari lewat IG'nya Mario. Aku mencari akun IG Mario lalu berkepo ria mencari sosok yang aku cari. Dan ternyata cukup mudah mencarinya. Banyak sekali foto-foto yang Mario post bersama istriku. Dan mengapa aku begitu kesal melihat kedekatan mereka? Aku membanting ponselku di atas meja. Tapi kemudian aku kembali lagi melihat foto-foto Mario dan mencari akun milik Bening.

Untungnya setiap foto yang Mario post selalu menyertakan akun IG milik Bening. Baru aku sadari ternyata akun yang ia tag adalah milik perempuan yang kini menjadi istriku. Aku yang cuek tidak memperhatikannya selama ini. Aku menekan nama yang tertera itu. Aku merasa deg-degan. Banyak sekali foto yang Bening post. Sama halnya dengan Mario, dia juga lebih banyak ber-selfie ria bersama kakak angkatnya itu. Aku segera keluar dari akun IG-ku. Tak ingin lebih banyak bergulir sampai ke bawah. Apalagi melihat foto-foto kebersamaannya dengan Mario. Untuk yang kedua kalinya aku membanting hp-ku.

Ah, sudah hampir jam delapan malam. Aku harus segera pulang mengingat sekarang ada seseorang yang menungguiku di rumah.

***

"Sudah pulang, Den?" Sapa mbok Narti ketika aku sampai di rumah.

"Mbok Narti? Kapan datang?" aku menyaliminya.

Mbok Narti udah kayak mama yang lain karena dia ikut merawat aku sejak masih bayi. Papa dan mama begitu menyayangi mbok Narti seperti keluarga sendiri.

"Keluarga di kampung, sehat?" Tanyaku.

"Alhamdulillah, Den. Semuanya sehat," jawabnya lembut. "Aden, gimana? Sehat?" tanyanya kembali.

"Baik, Mbok." Kami berjalan beriringan. Rasanya sudah lama sekali tidak bertemu si mbok.

"Den Aslam ini gimana toh, si mbok tinggal dua minggu ke kampung, tau-tau denger kabar Aden sudah menikah," cebiknya kesal. Khas emak-emak yang lagi merajuk.

"Tapi si mbok ikut seneng, asal Aden bahagia, si mbok juga bahagia," tuturnya sedih.

"Seneng tapi mukanya sedih," ucapku berpura-pura mencebik kesal.

"Nggak kok, beneran. Si mbok terharu karena bahagia," elaknya.

Aku merangkul pundaknya yang ringkih. Mengajaknya untuk duduk di kursi meja makan.

"Makasih, Mbok." Aku tersenyum menenangkan. Kulihat mbok Narti berkaca-kaca.

"Oalah, Den...si mbok seneng! Kali ini liat Aden tersenyum ikhlas, senyum bahagia. Si mbok lega..." Mbok Narti memekik senang sampai menangis. Ia mengusap sayang kedua lengan tanganku. Aku menenangkannya.

"Udah pulang sejak kapan, Nak?" Mama menyahut menginterupsi kesyahduan di antara aku dan si mbok.

"Barusan, Ma," jawabku menyalim tangan mama.

"Bening udah ke atas?" Tanya mama. Aku mengerutkan kening. Mama sedang bertanya ataukah memberitahu keberadaan Bening?

"Maksud Mama, dia ada di atas?" tanyaku.

"Lha, kamu ini gimana? Maksud mama, Bening udah ke atas apa belom? Kamu pulang bareng dia, kan?"

"Dia belum pulang?!" Aku memekik.

"Lho? Kalian gak pulang sama-sama?" aku menggeleng. "Ya ampun, Nak...hati kamu itu terbuat dari apa, sih? Sama istri sendiri aja gak peka. Mama tau, kamu masih belum terima Bening jadi istrimu. Tapi mama bisa liat dari mata sama tindakan kamu. Apalagi tadi pagi saat mama gak sengaja mergokin kalian. Mama bisa tau kalo kamu mulai peduli padanya," cecar mama. "Jangan diem aja! Cepat telpon mantu mama!" Perintah mama yang seketika membuat aku menurutinya.

Tanganku bergetar ketika merogoh hp dari saku celanaku. Kulihat wajah mama yang begitu cemas akan Bening. Dan mbok Narti yang sepertinya mencemaskan keadaan kami. Aku membuka kunci layar hp lalu mencari nomor yang aku save dengan nama...

Ah, aku belum menamainya!

Aku bergulir pada nomor tanpa nama. Ya, ampun begitu banyak nomor tanpa nama yang masuk seharian ini untuk menghubungiku. Aku memilih nomor dengan jam di waktu pagi sebelum keberangkatanku ke kantor. Apa ini nomornya? Aku coba saja.

"Lama amat, sih? Kamu punya nomornya apa nggak?" Bawel mama. Membuat aku semakin gugup.

"Ada apa, Ma?" Sahut papa tiba-tiba.

"Ini lho, Pa. Mantu mama belom pulang. Dan suami bodohnya ini malah gak tau," adu mama.

"Sudah dihubungi?" Di antara yang lain, kurasa papa orang yang cukup tenang menghadapi situasi.

"Mau Pa," aku menyahut. Tak ingin mama semakin membuat tegang.

Setelah beberapa saat nada panggilan tersambung. Aku berjalan mondar-mandir, menunggu panggilan ini terhubung.

"Ya, Mas?" Aku menghela nafas lega. Ini suara Bening, istriku. "Mas?"

"Di MANA KAMU?!" Aku membentak.

Namun tak lama, papa meremas pundakku dengan sedikit kencang. Sepertinya...mungkin, papa sebenarnya pengen banget mukul aku.

"Di jalan. Otw pulang."

"Kamu tau ini jam berapa? Suami pulang kamu masih keluyuran? Saya sudah bilang sama kamu untuk hubungi saya. Kenapa kamu gak hubungi saya?" Ah, kenapa mulutku ini pedas sekali? Bukan ini yang seharusnya aku utarakan.

Aku melihat mama dan papa juga mbok Narti menggelengkan kepala melihat tingkahku. Dari gelagat mama sepertinya ia ingin memukulku juga. Namun papa yang tau sifat mama, menahannya dan menenangkannya. Thanks, Pa! Tapi tadi papa juga sempat ingin meremukkanku...

"Bening?" Tak ada sahutan.

"Mas," sepertinya ada sesuatu yang ingin ia katakan.

"BENING!" Aku berteriak frustasi.

"HEI, KAMU DENGAR GAK APA YANG SAYA BILANG?" Aku semakin membentaknya.

"Dek, awas Dek! Jangan di situ! Akhh!!" Aku tak mengerti yang Bening ucapkan. Yang aku tau Bening menjerit.

"BENING? Kamu gakpapa, kan? BENING?!" Aku panik, sambungan telpon terputus. Dada ini bergemuruh.

"Bening kenapa, Nak?" Mama membuat aku semakin frustasi.

"Lam, coba hubungi lagi. Tenang. Semuanya harus tenang," ujar papa menenangkan.

Panggilan masuk ketika aku hendak menekan nomor Bening kembali. Aku segera mengangkatnya. "Bening, apa yang terjadi?"

"Mas, maafin aku. Aku gak bermaksud gak pulang tepat waktu. Tapi beneran ini aku udah otw pulang. Ini aku udah ngebut, kok. Mas, tungguin ya," sahutnya tanpa jeda lalu memutus panggilannya sebelum aku sempat memprotes ataupun menanyakan di mana dirinya sekarang.

Satu hal yang mengusikku dari perkataannya. Ngebut? Apa maksud dari perkataanya 'ngebut' itu?

"Dasar suami durhaka!" Mama memukul punggungku. Oww, apa-apaan mama ini?

"Yang lembut kalo ngomong sama istri! Mama gak mau ya kalo anak mama nyakitin orang lain, apalagi dia itu istrimu! Jangan galak-galak sama istri. Kalo sampai kenapa-napa sama mantu mama, kamu yang bakalan mama cincang idup-idup!" Ancam mama membuat bulu kuduk meremang.

Papa membawa mama ke kamar. "Lam, kabari kami kalo istrimu sudah kembali. Ada yang harus papa sama mama sampaikan sama kalian." sambil lalu pergi ke kamar.

***

EPILOG

Aku dalam perjalanan pulang ketika hp yang bergetar berkali-kali itu ternyata panggilan dari mas Aslam. Aku mengangkatnya, kemudian menyelipkan hp-ku ke dalam helm yang aku kenakan.

"Di mana kamu?" Sahutan itu begitu mengintimidasi. Aku sampai tersentak mendengarnya. Hingga cerocosan demi omelan terus berdatangan dari mulut pedasnya. Oh, mas Aslam, berapa banyak cabai yang kamu makan hari ini? Huhuhu... T_T

Kata-katanya cukup membuatku sedih. Ah, kenapa aku se-sensitif ini? Padahal tamu bulananku udah hampir surut.

Aku hendak menjawab pertanyaan mas Aslam ketika hp yang aku selip di helm terlepas dari telingaku. Dan tanganku begitu refleks menangkap hp-ku yang hampir terjatuh ke bawah. Hal itu membuat keseimbanganku membawa motor menjadi oleng.

Sampai hal tak terduga terjadi. Aku menubruk gerobak sampah yang sedang bersantai manis di pinggir jalan. Membuat gerobak itu menggelinding tanpa bisa dicegah karena pemiliknya entah ke mana. Gerobak sampah itu terus berjalan hingga tak terduga terjadi lagi. Seorang anak kecil tengah melintas sambil berlari ketika gerobak sampah itu hampir mendekatinya.

DUK! Aku benar-benar menabrak roda sampah hingga terguling kali ini. Bersamaan dengan jatuhnya diriku yang mencoba menghindarkan roda itu agar tidak mengenai serta melukai anak kecil itu. Selamat...aku menghela nafas lega ketika kulihat anak kecil itu berdiri mematung dengan wajah yang shock.

Aku tergeletak di jalanan beraspal wilayah komplek perumahan mas Aslam. Bersyukur akan hp yang baik-baik saja dalam genggaman tangan. Panggilan teriakan tadi terputus. Mas Aslam pasti mengomeliku.

TBC

PS:

Hai readers 🤗

Maafkan ya, mungkin Otor sanggupnya Up 1 minggu 1-2x 🙏🏻🙏🏻

Palagi akhir² ini udah mulai sibuk SO di real work, trus berkutat dengan oven di dapur 😊

Jadi tolong di maklum yaa

Sarangeyoo 💕

Next chapter