webnovel

Risih yang tak tertahankan

Tara menatap puterinya lama. "Kamu punya masalah apa? Cerita sama papa! Apa kamu merasa Genta berubah setelah kamu melahirkan? Apa kamu tidak suka dengan perubahan yang ada dalam diri kamu? kamu menjadi tidak percaya diri? Atau kamu terlalu lelah mengurus Mikaela?"

"Pa, aku bertanya sama papa, kenapa melemparkan tanyakan balik padaku?" Aku menggeram frustasi pada papa.

Papa menatapku sedih. "Kalau tidak nyaman sama papa kita ke psikolog mau?"

"Untuk apa psikolog, pa?" Kania menggeram pada papanya. "Kania…"

Papa menggenggam tanganku sebelum Kania menyelesaikan ucapannya. "Papa, Genta atau siapapun selalu ada disisi kamu sayang."

Kania memejamkan matanya rapat-rapat. "Bukan itu hal yang terjadi sekarang, Pa! bagaimana bisa papa mempercayai aku pada Om Genta. Maksudku dia memang baik. tapi dia seusia papa? Papa tidak masalah menikahkan puteri papa dengan teman papa sendiri? Atau papa sebenarnya terlilit hutang yang tidak pernah aku tahu. Om Genta menjadi penjamin dan …"

Papa mengusap pipinya. "Kamu tidak mengingat semuanya?"

"Pa …." Kania merengek pada papa untuk menjawab semuanya saja dengan benar.

"Papa tidak bisa menahan kalian yang saling mencintai itu. Genta bahkan sudah berencana menikahi kamu setelah kalian tamat sekolah menengah. Itu lebih gila lagi karena kamu masih terlalu kecil."

"Kania dan Om Genta saling mencintai?" Kania mengulang pada papa. Ia sungguhan tidak percaya.

Papa menganggukkan kepalanya. "Papa juga tidak tahu kejadiannya, ketika papa memergoki semuanya kalian sudah berpacaran dua tahun. Kamu belum pernah menjelaskannya pada papa Kania. Awalnya papa sangat marah, papa akui itu. Tapi kamu sendiri yang mengatakan pada papa kalau kamu mencintai Genta."

Kania bertanya ragu mengerutkan kening. "Om Genta tidak pernah cerita apa-apa pada papa."

"Kalau dia cerita dari kamu lahir sudah nandai kamu, papa sudah pasti membunuhnya dari lama," ujar papa. "Bagaimanapun tidak seharusnya dia menandai puteri temannya. Dia hanya mengatakan pada papa sudah mencintai kamu jauh sebelum kamu lahir."

Kania mengerutkan kening. "Pa, apa papa percaya kalau aku masih berasal dari masa lalu. masih Kania anak papa lima tahun yang lalu. Kania yang tujuh belas tahun. Bagaimana bisa aku menghadapi Om Genta?"

Papa mengusap pipinya. "Makanya besok kita ke psikolog ya? Mau ya? Biar papa tenang, nak. Kamu juga tenang."

"Okeh!!" ujarku jengah pada akhirnya.

***

Kania membuka matanya begitu cahaya matahari menerpa Kania yang tidak sengaja mengintip pada celah gorden. Meregangkan otot badannya yang kaku meski sebenarnya malas sekali untuknya memulai hari. Oh! Mimpi konyol semalam berakhir juga pada akhirnya. Sudah agak terlambat untuk bangun tapi Kania harus segera sebelum terlambat ke sekolah.

pada akhirnya Kania benar-benar memaksakan diri membuka mata. Ia membuka tirai itu lebih luas dengan remote. Membiarkan cahaya masuk memenuhi kamar. Pada akhirnya Kania bisa melihat semuanya termasuk satu sosok yang tidur disebelahnya dengan sesuatu yang tegak mengacung.

"Aaaaaaaaa!!!!" teriaknya kencang sama seperti hari sebelumnya. Kania reflek merapatkan badannya segera dengan menarik selimut lebih lagi pada tubuh hingga memperlihatkan tubuh Om Genta yang ternyata minim pakaian. "Aaaaa Om Genta!!!" pekiknya yang kedua kali untuk hari ini.

Om Genta terperanjat mendengar teriakannya. "Sayang …" ujar Om Genta.

"Om Genta ngapain tidur disini dengan pakaian yang gitu lagi?!!!" ujarnya histeris.

Om Genta menutup mulut perempuan itu yang tentu saja membuatnya memberontak. "Ka' tenang. Please …" ujar Om Genta kemudian memasang pakaiannya.

Kania mengobrak-abrik ranjang. Mencari ponsel yang pada akhirnya ketemu tapi ponsel baru sama seperti hari kemarin. Masih menunjukkan tahun di masa depan. Oh! Kacau sekali. Sepertinya Kania benar-benar berada di masa depan. Pada akhirnya Kania percaya ini bukan sekedar mimpi belaka. Tapi Kania masih tidak percaya Om Genta suaminya.

"Kok Om bisa tidur disini?" tanya Kania pada Om Genta setelah pria itu memasang bajunya.

"Biasanya juga tidur disini. Setelah semalam menjaga Mikaela," ujar Om Genta santai.

"Mulai hari ini kita harus rubah peraturan. Om Genta enggak boleh tidur sama aku. Om tidur saja sama Mikaela di kamar sebelah." Kania berkata pada Om Genta.

"Sayang …"

"Kania risih, Om!" ujarku histeris setengah frustasi. Air mata Kania mengalir lurus begitu saja karena frustasi. Sungguh, Kania kebingungan dan tidak tahu menjelaskannya. Om Genta tampak terkejut.

"Okeh, sementara waktu sampai kamu tenang. Hm?" Ujar Genta pada isterinya itu. Dia tidak menyangka isterinya akan sehisteris itu melihat dirinya tidur disampingnya. Hari biasa juga seperti itu.

"Beres-beres yuk! Saya mau beresin Mikaela dulu," ujar Om Genta padanya.

"Om Genta enggak ngelakuin hal aneh-aneh ke Kania semalamkan?" tanya Kania yang membuat Genta merasa perih secara tiba-tiba pada bagian dadanya. Merasa Kania menolaknya. Merasa Kania tidak suka lagi dengan sentuhannya.

"Ka' saya salah apa? Kamu udah malas sama saya yang tua ya? Kamu udah merasa saya banyak kurangnya?"

Kania menarik nafasnya. "Apaan sih Om bawa-bawa tua?! Aku tuh aneh sama Om Genta yang tiba-tiba jadi pasangan aku. Keponakan sendiri Om, kebayang enggak rasanya tiba-tiba jadi aku? paman sendiri jadi suami!"

"Tapi semuanya enggak tiba-tiba, Ka'. Kita pacaran dulu." Om Genta masih berusaha menjelaskan semuanya dengan raut pedih yang pada wajahnya. Kania menjadi tertekan menghadapi semua hal itu. Benar-benar tertekan.

"Aku enggak ingat!" ujar Kania tegas kemudian membanting pintu kamar mandi dengan kesal. Ia tidak tahu kenapa dia tiba-tiba marah. Mungkin ia tidak ingin berada di posisi itu. Posisi dimana dia menjadi isterinya Genta. Bukan itu yang Kania, harapkan bukan hal tersebut yang bisa dia terima.

***

Konsultasi dengan psikolog terjadi juga. Perempuan itu sekarang berada di ruangan itu dengan Kania yang sudah malas menatap perempuan yang berwajah ramah itu.

"Jadi Ibu Kania merasa bahwa diri ibu masih tujuh belas tahun?" tanya wanita dihadapannya dengan ramah.

"Bukan merasa dok, memang saya masih tujuh belas tahun. Udahlah! Enggak semua bisa percaya!" Kania benar-benar lelah meyakinkan semua orang. Entah bagaimana Kania bisa mengerti.

"Baiklah. Mbak Kania? Apa itu lebih ramah?"

"Okeh, mbak lebih baik daripada seorang ibu." Kania memutar bola matanya jengah.

"Jadi gimana ceritanya mbak bisa sampai melompati usia 22 tahun?" tanya Kania.

"Aku dapat kado, sebuah kotak musik dari Om Genta. Setelahnya aku tidur, kemudian aku terbangun keesokan harinya. Tiba-tiba aku mendengar suara bayi." Kania menceritakan semua kronologi yang dialaminya. Ia juga menceritakan bagaimana terkejutnya menghadapi hal tersebut. psikolog itu hanya diam sambil mencoret-coret kertas.

"Bisa dibayangkan, bagaimana bisa dalam waktu lima tahun aku memiliki tubuh dengan gelambir lemak dimana-mana seperti ini? Aku enggak pernah melewati berat badan idealku sebelumnya." Kania berkata tegas pada psikolognya.

Wanita paruh baya itu menganggukkan kepalanya kemudian membuat kesimpulannya sendiri. Setelahnya dia berkata pada Tara yang mendampinginya. Kania jelas tidak ingin pergi dengan Genta kemanapun.