webnovel

Kedatangan keluarga Suami

"Gimana Kania, Ta? Ada kemajuan?" tanya Tara pada menantunya itu. Harusnya dia bisa menggunakan bahasa yang lebih baik pada Genta sebagai menantu, tapi karena sudah lama berteman, rasanya canggung sekali jika langsung berubah. Genta sendiri juga jarang memanggil ayah mertuanya itu dengan papa. Terutama jika situasi seperti ini.

"Bisa lihat sendirilah gimana. Namanya juga baru satu kali ke psikolog. Semuanya pasti ada prosesnyakan? Kita perlu banyak bersabar," Genta menjawab memberikan komentar.

Tara menengadahkan kepalanya pada langit-langit rumahnya. "Kalau Dita ada dia pasti lebih paham ngehandle Kania." Tara berbisik dengan sedikit desahan. "Kania pasti enggak merasakan setertekan itu menjadi seorang ibu. Dita pasti mendampinginya, mengajarkannya dengan banyak hal."

Genta yang melirik itu juga melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh temannya. Menengadah sambil mendesah. "Gue belum tentu bisa nikah sama Kania kalau Dita masih ada. Mungkin dia akan membunuh gue dari lama. Tendangannya enggak pernah main-main," ujar Genta dengan sedikit senyuman.

Tara tertawa membenarkan apa yang Genta katakan.

"Om Genta!" suara pada tangga ujung atas membuat dua orang tersebut mengalihkan tatapannya meskipun hanya Genta yang dipanggil Kania.

"Mikaela pub!" Kania hanya berkata demikian dan Genta sudah mengerti. dia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

"sebentar ya, saya matikan dulu rokoknya," ujar Genta meletakkan puntung rokoknya dalam asbak.

"Dari bulan kemarin kamu udah bisa lho, nak!" komentar Tara.

Kania berdecak dalam hati. Bagaimana bisa dia paham soal bayi jika ia berasal dari masa lalu. sebulan yang lalu dalam bayangan Kania, mereka mengunjungi makam mama Kania. Itu yang diingatnya. Dia tidak mengingat hal lainnya.

Genta melirik isterinya tersebut kemudian mengelus tangan Kania. Seolah mengatakan pada wanita itu bahwa ketidaktahuan Kania bagi Genta tidak masalah. "Kamu perhatikan ya!" ujar Genta dengan tenang dan penuh pengertiannya.

Genta banyak kelebihannya sebenarnya. Sayangnya laki-laki itu genit yang membuat Kania benar-benar merasa Genta adalah 'predator' yang harus dia jauhi.

"Ekhm ya besok aku belajar sama bibi!" ujar Kania sedikit berdehem. Genta mencubit gemas pipi isterinya tersebut dengan senyuman maut khas laki-laki itu. Selanjutnya ia melirik pada puterinya. Sama menggembulkannya dengan Kania yang membuat Genta gemas menduselkan wajahnya pada pipi bayi itu.

"akhh aa!" Mikaela dengan tangan mungilnya berusaha mendorong Genta. Tapi Genta tidak menyerah tentunya. Menjelajahi perut bayi itu seolah Genta siap melahapnya.

"Aku enggak tahu Om bisa sesayang itu sama Mikaela!" perempuan mendesis tidak percaya melihat interaksi ayah dan anak itu.

"Sayanglah! Kalau ada adiknya lagi saya juga masih sayang! Mau enggak?" ujar Genta mengedip dengan senyuman anehnya menurut Kania.

"Ih om Genta!" Kania memukul lengan laki-laki itu.

"Iya maaf!" ujar Genta dengan sedikit tawa yang masih ada di bibirnya.

"Genit!" umpat Kania sambil berdiri. Bersiap untuk ke kamarnya.

"Sayang, kamu benaran nyuruh saya tidur disini?" tanya Genta memastikan sekali lagi.

"Hooh" ujar Kania tanpa perlu berbalik. Masuk ke dalam kamarnya dan melelapkan diri dari tempat tidurnya. Tidak lupa Kania mengunci pintunya. Hal ini dimaksudkannya agar Genta tidak menyelinap masuk saat ia terlelap nanti. Kania sudah pasrah hari ini jika ia masih terbangun besok di keadaan masa depan.

***

Rumah Tara tersebut kedatangan tamu kali ini. Mamanya Genta alias mertuanya Kania yang masih tegap badannya di usianya yang memasuki usia 70 tahun. Meski sudah beruban, meski keriput sudah banyak mengkudeta tubuhnya, perempuan itu masih tampak cerah dan bugar.

"Non Kania!" bibi buru-buru menghampiri majikannya ketika melihat mobil tersebut terparkir di halaman. Menghampiri Kania yang sedang melakukan Yoga di halam samping rumahnya dengan alam yang tampak asri tersebut.

meski Genta melarangnya diet, Kania tidak bisa menahan dirinya untuk berolah raga. Perempuan remaja yang terobsesi dengan standar kecantikan itu sudah pasti tidak tahan dengan kondisi tubuhnya. Selain itu olahraga memberikan manfaat lainnya. Melepaskan stress misalnya. Hal yang mampu membuat Kania bisa berfikiran jernih dengan keadaan gila yang dialaminya selama beberapa waktu belakangan.

"Ya. Bi?" Kania menoleh sambil memperbaiki posisinya untuk gerakan peregangan akhir sebelum benar-benar selesai.

"Mama mertua non datang," ujar Bibi.

Kania mengerutkan keningnya. "Maksudnya Oma?" Kania memang terbiasa memanggil mamanya Genta itu dengan panggilan Oma. Kembali lagi, hubungan pertemanan Genta dan Tara membuat Kania merasa dekat juga dengan keluarga laki-laki itu. Memang tidak sering bertemu dengan orang yang melahirkan Genta itu tapi pernah beberapa kali pada momen penting keluarga Genta. Seperti pernikahan adik-adik Genta, acara ulang tahun pernikahan keluarga Genta, acara ulang tahun mama Genta, dll.

"Kan non udah lama manggilnya dengan sebutan mama. Juga ada adik-adiknya tuan Genta, Non!"

Kania menjilati bibirnya gugup. Entah kenapa dia tidak tahu bagaimana pandangan keluarga Genta padanya setelah mereka menjalin hubungan. Dulu mereka memang menerima Kania dengan baik sebagai anak dari teman Genta. Tapi tidak tahu bagaimana pandangan mereka sebagai menantu. Mengingat keluarga Genta termasuk orang yang memperhatikan banyak detail norma dan sopan santun meski bukan keturunan darah biru.

Kania ragu-ragu menghampiri orang-orang yang berkemuruman menimang Mikaela tersebut. "Mikaela banyak bangat ya makannya? Gembul bangat!" oceh Talita, adik Genta. Orang nomor dua yang tertua itu memang sangat ramah sekali. Dia memiliki sifat keibuan yang kental. Mungkin karena dia sudah terbiasa menjadi kakak sedari kecil.

Genta anak pertama dengan tiga saudara perempuan di bawahnya, Talita, Marsha, Aruna. Genta anak laki-laki satu-satunya sekaligus anak sulung dari empat bersaudara itu. Bisa dibayangkan bagaimana bingungnya Kania menghadapi kondisinya sekarang. Terlebih lagi dengan orang-orang yang dua kali lipat umurnya. Orang-orang yang biasanya Kania panggil dengan sebutan tante.

"Asli gemasin bangat. Lo udah ada planning buat yang kedua enggak sih? Minta gue satu ini!" Ezra, keponakan Genta yang bahkan usianya berada dua tahun di atas Kania. Biasanya Kania memanggil laki-laki itu dengan sebutan bang.

"Zra, jangan main-main panggil 'lo' aja sama tante sendiri! Berapa kali mama bilangin sama kamu." Talita menegur anaknya tersebut. tidak lupa pelototan mata sedikit geraman.

"Maaf ma, kebiasaan gimana lagi! maksud aku tante." Ezra menurut. Segera meralat panggilannya untuk Kania yang membuat Kania merasa sangat canggung.

"Enggak apa-apa kok, Aunty!" ujar Kania.

Semua orang disana kompak berdecak. "Masih aja manggil kita Aunty biasanya juga Mbak. Udah lupa lagi ya?"

Kania tersenyum kecil takut-takut. "Ini nih kalau Mas Genta menikah dengan orang yang usianya jauh lebih muda!" komentar Aruna. si bungsu dalam keluarga Hirawan itu memang suka ceplas ceplos. Ia jarang sekali memikirkan perasaan ketersinggungan seseorang.

Mamanya Genta alias nyonya Hirawan memberikan tatapan mendelik pada anaknya untuk tidak berbicara seperti itu pada kania. "Habis dari mana, nak?" mama Genta mengalihkan topik.