webnovel

Manja

Cinta menatap Ezra dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mencoba membandingkannya dengan Eden dan segera menemukan beberapa perbedaan.

Kalau dilihat sekilas sih mereka sangat mirip, apalagi model rambutnya serupa. Tapi rahang Ezra terlihat jauh lebih tegas, sedangkan Eden lebih lancip. Kulit Eden juga sedikit lebih putih, tapi sepertinya Ezra sedikit lebih tinggi.

“Ehm, apa aku terlihat sangat susah dibedakan dengan Eden?” tanya Ezra ragu-ragu, sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia merasa risih dilihati seperti itu.

“Oh, maaf.” Cinta segera mengarahkan pandangannya ke televisi yang menyala di ruang tamu umum ini. Dia merasa malu karena ternyata Ezra menyadari tatapannya.

“Yah, kalian kembar tentu saja mirip,” sambung Cinta sedikit terbata. “Tapi tetap masih ada bedanya kok,” lanjutnya dengan cepat.

“Ehm. Mungkin kamu gak tahu, tapi... aku juga kuliah ditempat yang sama dengan kamu dan Eden. Beda jurusan sih tapi. Aku ambil jurusan arsitektur,” seru Ezra sedikit canggung.

“Oh, ya. Eden gak pernah bilang,” jawab Cinta sama canggungnya.

Ezra sebenarnya merasa enggan datang ke tempat kos Cinta ini kalau bukan Eden yang memaksa. Apalagi yang dia datangi itu perempuan yang berstatus pacar saudaranya. Rasanya tidak etis bagi Ezra dan karena itu dia merasa sangat canggung.

“Karena titipan Eden sudah sampai, aku pamit ya.” Ezra tiba-tiba saja berdiri dari sofa panjang yang didudukinya, membuat Cinta sedikit kebingungan.

“Oh, iya. Biar saya antar sampai ke depan.” Cinta berbicara dengan sopan karena Ezra dan Eden sebenarnga lebih tua setahun darinya.

“Gak usah. Kata Eden kamu kan lagi sakit,” Ezra menolak dengan cepat.

“Istirahat saja lagi.” Ezra menunjuk pintu kamar dengan sembarangan menggunakan telapak tangannya yang besar dengan gugup dan itu membuat Cinta harus menahan tawa.

“Kamar saya di atas,” balas Cinta masih menahan tawa.

Lelaki tinggi di depannya terlihat menggemaskan ketika gugup. Terlihat sedikit berbeda dengan kembarannya yang lebih sering cemberut.

“Oh, ya. Maksudku naiklah kembali ke kamar untuk istirahat. Aku bisa sendiri,” Ezra segera memperbaiki ucapannya.

Ezra memaksa Cinta untuk naik lebih dulu, sebelum dia sendiri beranjak pergi. Dan karena pria itu bersi keras menunggu Cinta naik, maka Cinta pun melakukannya. Benar-benar sikap seorang gentlemen, setidaknya itu yang dipikirkan Cinta.

Setelah Cinta berhasil mengunci kamarnya, dia kembali membuka kotak makanan yang sempat tertunda tadi. Tangan Cinta membuka kotak ayam geprek itu dengan telaten, sementara otakknya berpikir keras.

Kehidupan yang sebelumnya, Cinta tidak terlalu mengenal Ezra. Mereka juga baru berkenalan setelah Cinta dikenalkan ke keluarga Eden. Dan itu terjadi ditahun ke-4 setelah mereka berpacaran.

“Tahun depan berarti,” bisik Cinta sebelum menyuapi dirinya dengan nasi daun jeruk dan ayam dibalut keju mozarella dan taburan sambal.

Cinta masih ingat pertemuannya dengan Ezra dulu. Ingatan itu membekas karena pria dengan kulit kecokelat itu selalu kedapatan sedang menatap dirinya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Yah, walau Ezra dulu juga beberapa kali menolongnnya sih.

Terlalu asyik makan sambil berpikir, Cinta lupa mengabari Eden soal es krimnya. Dan dia baru sadar sejam kemudian, ketika pria itu meneleponnya.

“Maaf. Tadi karena lemas dan kekenyangan aku langsung ketiduran lagi,” seru Cinta berbohong dengan penuh rasa bersalah. Suaranya pun berubah menjadi manja dengan sendirinya.

“Kamu itu bikin khawatir saja deh. Lain kali langsung kabari dong. Oke,” keluh Eden dari ujung sambungan telepon.

Cinta sudah nyaris membalas lagi, tapi dia tiba-tiba teringat satu hal. Dia mengingat kalau Oliv itu biasanya manja dan sedikit centil. Cinta tidak bisa bersikap centil, tapi kalau manja... rasanya tidak masalah.

“Ta?” panggil Eden karena Cinta sudah agak lama terdiam.

“Maaf. Aku benar-benar gak sengaja.” Cinta membersit hidungnya yang kering dengan sengaja.

“Aduh, Sayang. Jangan sedih dong. Aku minta maaf kalau aku tadi terlalu keras. Soalnya aku terlalu khawatir,” balas kekasih Cinta itu dengan sangat lembut.

“Bener? Kamu gak marah?”

“Gak, Sayang. Mana mungkin sih aku marah sama kamu, apalagi kamu lagi sakit begini.”

“Kalau gitu, entar pulang kantor bisa kan temani aku?” seru Cinta masih sok manja.

“Tentu saja. Aku akan datang.”

***

“Eden? Sudah mau pulang?” Olivia yang kebetulan sekantor dengan pria itu, menghampirinya di ruangannya. “Pulang bareng yuk.”

Oliv tanpa segan menggelayuti lengan Eden. Dia bahkan tidak peduli kalau masih ada orang di ruangan yang berisi beberapa kubikel itu.

“Oliv, ini dikantor. Orang-orang melihat,” desis Eden tidak suka pada kelakuan Olivia.

“Ck. Di sini kan gak ada Cinta. Gak perlu takut gitu lah,” protes Oliv dengan bibir mencebik.

Eden menghela napas. Inilah yang tidak dia sukai dari Olivia Hermanto, dia adalah perempuan yang tidak begitu pandai membawa dan menempatkan diri. Padahal jelas kalau status mereka disembunyikan, tapi dia selalu berulah di tempat umum seperti ini.

Enggan menjadi pusat perhatian lebih lama lagi, kembaran Ezra Brawijaya itu menarik lengan Oliv untuk pergi menjauh dari ruangannya. Dia membawa wanita itu ke arah tangga darurat. Setidaknya di sana tidak banyak orang yang lalu lalang dan mungkin mendengar mereka.

Walau suasana sunyi, Eden tetap memastikan tidak ada orang barulah dia menyudutkan Oliv. Bukan untuk bermesraan, tapi untuk memperingatkan wanita itu.

“Dengar, Oliv. Rasanya perjanjian kita sudah jelas dari awal kamu menawari hubungan ini,” Eden sengaja berbisik.

Eden adalah tipe orang yang cukup berhati-hati, jadi dia ingin meminimalisir segala kemungkinan buruk. Termasuk dengan berbisik agar suaranya tidak kedengaran ke mana-mana.

“Kamu berjanji ini akan menjadi rahasia kita berdua. Dan sekarang kamu bermanja-manja bahkan di tempat umum?” desisnya sedikit kesal. Waktunya jadi terbuang sia-sia karena ulah Oliv.

“Tapi aku kan kangen,” jawab Oliv manja dan langsung membuat Eden luluh begitu saja.

“Tapi janji, tetaplah janji. Dan kamu tahu aku gak suka orang yang ingkar janji,” balas Eden lebih lembut.

“Oke baiklah. Oliv mengaku salah.” Bibir Oliv mencebik ketika mengatakannya.

“Good. Jadilah anak baik.” Eden mengelus puncak kepala Oliv, merasa gemas dengan ekspresi wajah Oliv.

Bagi Eden, ekspresi Oliv selalu cute dan membuatnya jadi sering tersenyum. Dan karena alasan itu pula, Eden menerima tawaran Oliv 6 bulan yang lalu. Tentu saja setelah dipikirkan matang-matang.

“Karena Oliv sudah jadi anak baik, Eden mau kan main ke rumah Oliv malam ini? Mami sama Papi pergi ke luar kota lagi, rumah kosong,” seru Oliv dengan sangat manja dan kerlingan penuh arti.

“Maaf, Liv. Aku gak bisa,” jawab Eden tegas. “Aku sudah ada janji dengan Cinta.”

“Yah, kok Cinta lagi? Aku kapan dong?” Oliv terlihat kembali cemberut.

“Dia lagi sakit, Liv. Dan lagipula kita kan tiap hari ketemu di kantor, sementara aku dan Cinta gak. Lalu kamu juga tahu kan kalau aku pasti akan medahulukan Cinta,” Eden mengingatkan Oliv pada posisinya.

“Ya. Aku ngerti kok. Tapi nanti sabtu jadi kan?”

“Jadi. Dan sekarang aku sudah harus pergi atau aku akan terlambat.”

Eden mengacak rambut Oliv dengan gemas sekali lagi, sebelum keluar lewat pintu darurat. Meninggalkan Olivia Hermanto dengan wajah cemberut yang berangsur berubah menjadi kesal.

Begitu pintu tertutup rapat, Oliv menghentakkan kakinya dengan kesal. Dia bahkan menendang pintu dengan ujung sepatunya, walau berujung dengan penyesalan.

“Sialan banget sih perempuan yatim piatu itu. Gak punya apa-apa, tapi semua yang bagus dia ambil.”

***To Be Continued***