webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Urban
Not enough ratings
108 Chs

MCMM EXTRA 5 (Tamat)

"Mas, ijinkan adek menikah dengan pak Syafiq." Banyu terperanjat mendengar ucapan Nabila. Sementara itu Aminah dan Gladys tersenyum bahagia.

⭐⭐⭐⭐

"Dek, kamu yakin memilih yang itu? Terlalu sederhana. Kalau menurut kak Adis, yang ini lebih cantik deh. Cocok buat kamu."

"Iya sih kak. Tapi kak Adis lihat dong harganya. Buat adek yang penting adalah prosesinya. Pakaian kan bukan hal yang paling utama. Lagipula adek nggak mau merepotkan kak Syafiq. Uang segitu bisa buat kasih makan anak-anak panti selama 3 bulan."

Gladys tersenyum mendengar ucapan Nabila. Keluarga Banyu memang seperti itu. Meski kini mereka berkelimpahan harta, namun gaya hidup mereka tetap sederhana. Aminah tetap bekerja sebagai guru. Nabila kemana-mana lebih memilih naik motor atau angkutan umum. Aidan yang masih di London juga bersikeras mencari uang sendiri untuk membiayai hidup keluarga kecilnya disana. Mereka berdua membuka usaha catering bagi muslim yang menginginkan makanan halal dan menyehatkan. Kini Aidan dan Sita menempati rumah Gladys. Mereka tak lagi tinggal di apartemen. Itupun karena paksaan Gladys.

"Bagaimana kalau ini hadiah dari kak Adis untuk kamu? Lagipula baju yang ini ada padanan cadarnya."

"Nggak usah kak. Kalau kak Adis mau kasih hadiah, baju yang biru itu saja gimana. Modelnya manis, ada cadarnya, sesuai tema dan yang pasti harganya tidak terlalu mahal." Nabila memilih sebuah gaun sederhana namun terlihat elegan. Gladys menyukai selera sederhana Nabila namun elegan.

"Oke, kak Adis setuju. Oh ya, kamu yakin mau melaksanakan pernikahan sederhana di panti? Ibu nggak keberatan?"

"Alhamdulillah ibu setuju dengan konsep pernikahan kami. Mas Banyu awalnya kurang setuju, tapi setelah adek jelaskan akhirnya mas Banyu setuju."

"Iya beberapa hari lalu mas Banyu sempat ngomel panjang pendek gara-gara kamu menolak mengadakan pernikahan di resort. Mas mu itu mau memberikan yang terbaik untuk adik bontotnya. Apalagi ini pertama kalinya mas mu menjadi wali nikah."

"Mas Banyu mah gitu. Yang mau nikah adek, eh dia yang stress." Mereka tertawa bersama.

"Kayaknya seru banget sih," Terdengar suara seorang pria menyapa mereka.

"Eh Syafiq. Baru datang?"

"Iya kak. Habis ambil cincin." Syafiq menyerahkan kotak cincin pada Nabila yang langsung membukanya.

"Sudah jadi kak cincinnya?" tanya Nabila antusias. "Maaf ya kak, jadi kakak yang harus ambil cincinnya. Soalnya tadi sebelum pergi dengan kak Adis, Bila hectic dengan urusan pengiriman barang."

"Lho, kamu nggak bilang kalau kamu harus ambil cincin, dek," tegur Gladys.

"Nggak papa kak. Kebetulan tadi dari kampus aku lewat toko emasnya. Sekalian beli tambahan untuk maharnya." ucap Syafiq.

"Lho, kak Syafiq beli apa lagi? Kan kemarin kakak bilang maharnya sudah siap semua."

"Alhamdulillah kemarin aku dapat rejeki tambahan. Jadi aku sekalian membeli LM untuk tambahan mahar."

"Tapi kak, lebih baik uangnya untuk hal lain. Aku cukup kok dengan mahar yang kakak sudah siapkan."

"Dek, mahar itu nantinya bisa buat modal kamu hidup kalau terjadi sesuatu pada diriku. Atau terserah kamu mau pakai untuk apa mahar tersebut nantinya."

"Terima kasih ya kak," ucap Nabila terharu.

"Dek, kita makan dulu yuk. Nih di perut ada yang nagih minta diisi. Padahal baru sejam yang lalu kak Adis makan."

"Ayo kak, eh tapi tunggu sebentar. Kak Syafiq, nanti kita mampir sebentar ke toko gamis situ ya," pinta Nabila.

"Masih ada yang kurang seserahannya dek?" tanya Syafiq heran.

"Nggak kak. Untuk seserahan sudah lebih dari cukup. Aku mau beli sesuatu untuk bapak dan ibu sebagai ucapan terima kasih karena sudah dengan ikhlas membesarkan kamu." Syafiq tersenyum mendengar ucapan Nabila.

"Kak Adis, aku nggak salah pilih calon istri kan? Alhamdulillah banget Allah menuntun jalanku untuk bertemu dia. Padahal aku belum pernah menjadi dosen pembimbing untuk prodi dia."

"Itu namanya jodoh Fiq. Semuanya rahasia Allah."

"Iya seperti kak Adis dan mas Banyu. Sudah bertahun-tahun berpisah akhirnya menyatu juga." Nabila memeluk lengan Gladys. "Impianku terwujud, menjadikan kak Adis sebagai kakakku.

⭐⭐⭐⭐

"Alhamdulillah akhirnya acara hari ini selesai juga." Gladys menyelonjorkan kakinya di atas sofa. Mereka baru saja balik dari panti asuhan, menghadiri pernikahan Nabila dan Syafiq. "Mas, kok diam saja dari tadi?"

"Aku masih nggak percaya, Nabila sudah menikah. Tadi saat dia meminta ijin untuk menikah dengan pria pilihannya, hatiku terasa remuk. Kini aku bukan lagi tempat dia bersandar," Banyu mendudukkan dirinya di hadapan Gladys. Diangkatnya kaki Gladys dan ditaruh di atas pahanya.

"Insyaa Allah kamu tetap menjadi salah satu pria terpenting dalam hidup dek Bila. Namun kini dia sudah menemukan pelabuhan hatinya. Tugasmu sebagai kakak telah selesai. Ayah pasti bangga sama kamu, mas." Gladys menghibur Banyu yang tampak tak bersemangat. "Jangan sedih, mas. Aku yakin Nabila masih membutuhkanmu, walau kini kamu bukan lagi prioritas utama tempat dia mengadu."

"Aku masih nggak nyangka aja, sayang." Gladys menarik kakinya dan mendekati Banyu lalu bersandar di dadanya.

"Masih ada aku dan anak-anak yang akan selalu membutuhkanmu mas." Tangan Gladys membelai dada bidang Banyu. Lalu ia mengambil tangan Banyu dan diletakkan di perutnya. "Coba kamu rasakan."

"Masyaa Allah, dia bergerak sayang."

"Iya mas. Sudah beberapa hari ini dia bisa merespon kita."

"Terima kasih ya sayang."

"Terima kasih kenapa?

"Karena dari dulu kamu selalu siap mendampingiku di saat-saat burukku. Aku nggak tahu akan bagaimana hidupku kalau kita tak bertemu lagi di London."

"Aku juga terima kasih karena mas Banyu mau berjuang meraih cintaku," bisik Gladys. "Kalau bukan karena Allah yang mengatur semuanya, saat ini mungkin aku sudah menjadi istrinya Brian. Padahal aku penasaran lho mas."

"Penasaran apa?"

"Iya penasaran saja gimana rasanya punya suami bule. Kalau kata Janet, suami bule 'itunya' gede lho."

"Gede mana sama aku?"

"Hmm.. kayaknya bule deh."

"Kok kamu bisa tahu. Memangnya kamu pernah tidur sama bule?" tanya Banyu kesal.

"Apa hubungannya?"

"Ya adalah. Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu kalau kamu belum pernah melihatnya. Coba kamu pegang, apa masih kurang gede?"

"Pegang apa?" Banyu menarik tangan Gladya untuk meraba juniornya yang sedari tadi terbangun akibat belaian tangan Gladys di dadanya. Entah mengapa setiap sentuhan atau desahan Gladys selalu mampu membuat juniornya bereaksi.

"Iiiih... mas Banyu mesum nih. Aku nggak ngapa-ngapain, kenapa dia bangun? Lalu apa hubungannya dengan pembicaraan kita tadi?"

"Kamu kan bilang 'itunya' bule gede. Makanya aku minta kamu bandingkan dengan punyaku," jawab Banyu. Gladya tertawa ngakak mendengar jawaban Banyu.

"Ya ampun maaaas... ada salah paham kayaknya nih. Yang kumaksud itu bukan ini. Tapi sifat romantisnya bule tuh gede banget. Mereka nggak segan-segan menunjukkan perhatian dan perasaan mereka pada pasangannya." Gladys terkekeh. "Beda dengan orang kita yang lebih gede gengsinya."

"Tapi yang, gimana yang ini?" tanya Banyu dengan wajah memelas. "Kamu harus tanggung jawab lho."

Gladys terkikik melihat sesuatu menggembung di balik celana suaminya. Ia tahu Banyu sudah turn on sejak tadi, tapi ia pura-pura tak tahu. Gladys berdiri dari sofa dan menuju kamar mandi.

"Aku capek, mas. Aku mandi dulu ya." Sambil berjalan perlahan menuju kamar mandi, Gladys sengaja menggoda Banyu dengan membuka pakaiannya satu per satu dan melemparkannya ke lantai. Tentu saja hal itu semakin membangkitkan gairah Banyu. Tanpa banyak kata, Banyu bergegas menghampiri Gladys dan menggendongnya menuju kamar mandi. Setelah itu Banyu mengunci pintu kamar mandi.

Tak lama dari dalam kamar mandi terdengar desahan-desahan sensual akibat kegiatan 21++ yang terjadi di balik pintu kamar mandi.🤭

⭐⭐⭐⭐

"Bun, Bagas berangkat sekolah ya." Seorang remaja tampan mengetuk pintu kamar yang masih tertutup. Tak lama keluarlah seorang wanita cantik.

"Lho, ini kan hari sabtu sayang. Bukannya sekolah libur?" tanya wanita cantik yang tak lain adalah Gladys.

"Bunda pasti lupa deh kalau hari ini Bagas ada turnamen basket." Bagas yang kini duduk di kelas 8 terlihat sudah siap dengan seragam basketnya.

"Pulang tanding Bagas diajak kak Salma cari kado untuk Sean."

"Salmanya ummi Intan kan? Bukan Salma yang lain?" tanya Gladys penasaran. Akhir-akhir ini Bagas sering pergi dengan Salma yang sekarang duduk di kelas 12. "Bunda lihat kamu tambah dekat sama dia ya. Hayooo... kamu naksir dia ya?"

"Ih bunda apaan sih. Bagas nggak naksir dia kok. Kak Salma kan sudah punya pacar, kak Arsyad."

"Arsyad anak ummi Wina?" tanya Gladys tak percaya.

"Iya bun. Malah rencananya setelah kak Salma lulus SMA, mas Arsyad akan mengajaknya menikah. Bunda tau sendiri kan ummi Wina dan om Jihad nggak mengijinkan anaknya pacaran."

"Kamu kok kayak emak-emak sih? Update banget soal gosip."

"Ini bukan gosip bun. Kak Salma sendiri yang cerita ke Bagas. Sudah ah, bunda ngajak ngobrol melulu nih. Nanti kalau Bagas telat gimana? Ayah mana bun? Kok jam segini masih tidur?"

"Eh.. itu.. ayah kamu habis lembur. Makanya sekarang masih ngantuk."

"Oh gitu. Bun, Bagas berangkat ya."

"Hati-hati sayang bawa sepedanya."

"Mas, bangun dong. Kamu hari ini janji mengantar Quinny ke tempat les piano lho," Gladys membangunkan Banyu yang masih bergelung di bawah selimut. Tubuh bagian atasnya tak mengenakan pakaian, menampakkan dada bidangnya. Bukannya bangun, Banyu malah menarik Gladys hingga terjatuh ke dalam pelukannya.

"Ini kan hari Sabtu sayang. Aku masih pengen quality time sama kamu."

"Astaga mas Banyu. Tadi habis subuh bilang minta quality time. Sekarang minta lagi. Memangnya kamu nggak capek?" omel Gladys sambil berusaha melepaskan pelukan Banyu. "Kalau aku hamil lagi gara-gara keseringan quality time gimana?"

"Ya nggak papa. Kan ada aku, suamimu." jawab Banyu seraya menciumi wajah Gladys. Sementara tangannya mulai membelai tubuh istrinya.

"Buuuuuun!" Tiba-tiba terdengar suara Quinsha yang biasa dipanggil Quinny dari luar.

"Tuh mas, anakmu sudah mulai ngomel karena kamu masih belum siap-siap juga. Kamu tahu kan kalau dia paling nggak suka terlambat."

Banyu menghela nafas perlahan, mencoba menurunkan gairahnya. Bukan hal mudah untuk dilakukan saat melihat wajah polos istrinya yang selalu terlihat cantik.

"Ayaaaah!!" Terdengar lagi teriakan Quinny. "Kalau dalam waktu 15 menit ayah nggak keluar kamar, Quin nggak mau ngomong sama ayah."

Mendengar ancaman Quinny, Banyu langsung bangkit dan terburu-buru ke kamar mandi. Gladys tertawa melihatnya. Banyu paling tidak tahan diancam seperti itu oleh putri bungsunya yang kini berusia 10 tahun.

"Bunda sayang, mandi yuk." Masih sempat-sempatnya Banyu mengajak Gladys mandi bareng.

"Nggak ah. Kalau aku ikut mandi, bisa-bisa Quinny nggak latihan piano. Lagipula memangnya kamu mau diomelin sama mami? Tahu sendiri kan, anakmu yang satu itu pasti mengadu pada omanya," sahut Gladys sambil menyiapkan baju Banyu.

⭐⭐⭐⭐

"Princess, apakah kamu bahagia?" tanya Banyu saat mereka menikmati senja bersama di resort.

Sementara itu Bagas sedang bermain basket dengan Daffa dan Aidan. Fahira, anak sulung Aidan sedang asyik berbincang dengan Aminah. Sebagai cucu tertua, Fahira sudah terbiasa membantu Aminah menyiapkan hidangan. Sementara itu Quinny bermain bersama Falisha, anak kedua Aidan dan Zara, anak pertama Nabila. Hari itu mereka berkumpul untuk merayakan ulang tahun Aminah ke 63..

"Insyaa Allah aku bahagia mas. Kenapa nanyanya begitu sih?"

"Aku takut kamu nggak bahagia hidup bersamaku. Entahlah akhir-akhir ini aku merasa insecure saat melihatmu bicara dengan Lukas."

"Kamu cemburu pada Lukas?"

"Aku tahu Lukas hingga saat ini masih menyimpan rasa untukmu. Aku bisa melihatnya melalui tatapan matanya saat berbicara denganmu." Banyu mempererat pelukannya. "Bila dibandingkan dengan Lukas, aku tak ada apa-apanya. Dia dokter terkenal dan pemilik Bram's Corp serta rumah sakit elit di kota ini. Kemana-mana dia selalu mengendarai mobil keluaran terbaru. Rumahnya 3 kali lebih luas dari rumah kita."

"Hmm.. di usianya sekarang dia juga masih terlihat tampan ya mas. Banyak lho suster dan pasien yang jatuh cinta sama dia. Bahkan tubuhnya sangat bugar. Kalau dia sudah senyum... bisa membuat cewek-cewek pingsan. Apalagi kalau dia memakai kemeja dengan lengan tergulung hingga siku. Astagaaaa..." Gladys sengaja memanas-manasi suaminya.

"Kamu kok jadi memuji dia?" tanya Banyu kesal. Wajahnya langsung cemberut. Gladys menahan tawanya.

"Tapi bukan itu yang kucari. Aku lebih memilih mengejar cinta mas-mas tukang sayur ganteng yang menjadi idola ibu-ibu komplek. Aku lebih bahagia hidup nyaman tanpa ketakutan suamiku direbut wanita lain. Aku lebih nyaman bergandengan dan bersandar pada dada suamiku tanpa khawatir wanita lain menatapnya dengan pandangan memuja." Gladys mengecup ringan bibir Banyu. "Mungkin dia lebih segalanya darimu, tapi Allah telah menentukan kebahagiaanku bersama tukang sayur yang telah memberi 3 anak kepadaku. Jadi jangan pernah merasa insecure lagi. Sejak dulu yang menarik perhatianku adalah cowok jahil yang mengajakku ribut karena rebutan jagung bakar."

"Terima kasih dulu kamu melamarku, walau butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk menyadari perasaanku. Terima kasih telah melahirkan anak-anak yang cerdas, tampan serta cantik. Dan yang lebih utama karena kamu telah mendidik mereka menjadi anak yang memiliki empati."

"Kita ditakdirkan untuk saling melengkapi dalam hidup ini, mas. Dan aku sangat bersyukur pada Allah untuk semua yang kumiliki saat ini.

Senja semakin temaram dan udara semakin dingin. Di kejauhan terdengar suara adzan maghrib. Mereka semua bergegas mempersiapkan diri memenuhi panggilan shalat.

Bersyukur adalah salah satu kunci kebahagiaan.

⭐⭐⭐⭐

Akhirnya selesai juga cerita Banyu dan Gladys. Semoga bisa menjadi teman dalam melalui masa pandemi ini.

Terima kasih kepada para pembaca yang rajin komentar dan memberikan power stones.

Semoga kita bisa bertemu lagi dalam cerita berbeda.