97 MCMM 96

Happy Reading Guys

"Dys, nanti malam diner yuk," ajak Banyu melalui video call. Saat itu Gladys baru saja akan melaksanakan shalat malam. "Wajahmu cantik kalau baru bangun tidur."

"Sudah tua kok ngegombal melulu," jawab Gladys ketus, namun di hatinya ada rasa senang mendengar pujian Banyu. Lama-lama Gladys terbiasa dengan pesan-pesan yang dikirim Banyu ataupun panggilan video sebelum atau setelah tidur. Hal ini menjadi rutinitas baru baginya setelah bertemu kembali dengan Banyu.

Banyu memiliki kebiasaan menelpon di saat-saat ia hendak melaksanakan shalat malam atau menjelang tidur. Saat-saat tampilannya polos tanpa make up.

"Nggak ngegombal, ini beneran. Wajah kamu terlihat polos tanpa make up, tapi tetap cantik. Aku suka melihatnya."

"Nggak usah ngegombal deh. Aku mau shalat dulu. Kamu sudah shalat... mas?" Agak ragu Gladys menggunakan panggilan itu kepada Banyu. Padahal dulu ia biasa memanggil Banyu seperti itu. Tapi dengan situasi saat ini terasa aneh bila ia memanggil Banyu dengan embel-embel mas. Buatnya panggilan itu terdengar intim, walau ia juga biasa memanggil Haidar seperti itu.

"Belum. Aku baru selesai membalas email. Ada urusan pekerjaan yang harus segera kujawab. Lagipula aku mau kita shalat malam bersama. Untuk sekarang kita shalat malam bersamanya seperti ini. Aku tak sabar bisa menjadi imam shalatmu dan imam dalam hidupmu."

"Hadeh... ngegombal lagi. Hidupku sudah terasa sesak dengan kehadiranmu. Jangan ditambah sesak dengan berbagai rayuan dan gombalanmu. Kita bukan anak kecil lagi."

"Kita memang bukan bocah atau remaja yang saling melemparkan pujian dan bersikap bucin hanya untuk memikat pasangannya. Kita adalah orang dewasa yang bisa melakukan lebih dari itu. Makanya ayo nikah sama aku."

"Apa hubungannya? Absurd banget. Ayam belum berkokok kamu sudah mulai kumat. Semalam lupa minum obat?"

"Aku begini karena kamu, princess." Banyu terkekeh melihat pipi Gladys merona. Walaupun gadis itu selalu membantah tentang perasaannya, namun ekspresi wajahnya tak bisa disembunyikan.

"Aku nggak ada hubungannya dengan kegilaanmu, mas." Gladys setengah mati menahan perasaannya. Wahai jantung, kerja samalah yang baik. Jangan berulah, batinnya saat jantung tak bisa diajak kompromi.

"Daripada malam-malam kita debat, nanti saja saat dinner kita lanjut ya. Sekarang kita shalat dulu. Jangan lupa selipkan namaku di dalam doamu. Karena disini aku selalu menyelipkan namamu di dalam doaku. Aku akan meminta padaNya supaya kamu bisa mencintaiku kembali." Aku masih mencintaimu, tapi aku takut cinta ini akan menyakitiku lagi, batin Gladys.

"Oh ya, nanti malam aku akan menjemputmu jam tujuh ya. Jangan berdandan terlalu cantik."

"Kenapa?"

"Aku khawatir tak bisa menahan diri dan ingin segera mengajakmu mencari penghulu. Eh, tapi disini kemana ya mencari penghulu?" Gladys tertawa mendengar jawaban Banyu.

"Nah gitu dong. Ini tawamu yang pertama untukku sejak kita kembali bertemu. Biasanya kamu hanya tertawa kepada ibu, Aidan, Sita, Salma, Intan dan Haidar. Bahkan security kantor pun mendapatkan tawamu. Sementara aku hanya bisa melihatnya sambil menahan cemburu pada mereka yang mendapat tawamu."

"Untuk apa cemburu? Tak ada yang perlu dicemburui karena diantara kita tak ada apa-apa. Lagipula ucapanmu tadi itu garing banget. Sumpah, nggak lucu banget tau." Aku tertawa karena aku tak ingin kamu melihat impact akibat ucapanmu, bisik Gladys dalam hati.

"Terserah kamu. Tapi yang pasti aku serius akan menjadikanmu istriku. Seharusnya dari dulu aku bisa meniru Lukas yang tak segan menunjukkan perasaannya padamu. Satu hal lagi, nanti saat makan malam jangan terlalu sering mengumbar senyum."

"Kenapa?"

"Aku tak ingin pria lain menikmati senyum indahmu."

"Ya tuhaaan... kamu tuh ada-ada saja mas. Sudah ah, aku mau shalat dulu ya."

"Silahkan bidadariku." Gladys langsung menutup panggilan karena ia tak bisa lagi menahan perasaannya. Ya Allah aku ini kenapa? Hanya karena ucapan-ucapan absurdnya mampu menggetarkan hatiku lagi.

Selama 3 tahun terakhir ini aku berjuang untuk melupakan dia. Aku berhasil dan bisa mengubur dalam-dalam rasa cintaku. Tapi kini Engkau hadirkan kembali dia ke hadapanku. Rencana apa yang Engkau siapkan untukku?

⭐⭐⭐⭐

"Ntan, nanti malam gue nggak makan di rumah."

"Mau dinner sama siapa? Brian atau Banyu? Atau saat ini nama Brian sudah tak ada dalam daftar?"

"Please deh, masih pagi jangan bikin gue emosi. Dari dulu nama Brian memang nggak pernah masuk daftar." Karena hingga saat ini di daftar itu hanya ada satu nama, batin Gladys.

"Gue tahu, karena di daftar lo cuma ada nama BANYU BUMI NUSANTARA. Satu nama itu sudah membuat penuh daftar lo," ledek Intan seolah bisa membaca pikiran Gladys.

"Ntan, kenapa sih hamil kali ini elo gemar banget gangguin gue? Pusing gue punya sahabat kayak elo," omel Gladys.

"Bukan cuma kamu yang sering diganggu Dys. Akupun jadi sasarannya. Apalagi kalau sudah urusan ranjang. Libido dia lebih tinggi dibanding saat nggak hamil." Haidar menambahkan seraya dia menarik kursi untuk duduk di samping Intan. "Kadang aku kewalahan menghadapinya."

"Ya ampuuun... mas Haidar ngapain sih pagi-pagi cerita urusan ranjang. Please mas, aku masih polos dan nggak ngerti urusan kayak begitu. Jangan menodai keindahan pagi ini dengan pembahasan urusan ranjang kalian." Gladys bergegas meninggalkan pasangan suami istri itu yang tergelak melihat reaksinya.

"Dys, elo harus belajar dari sekarang. Biar nanti kalau sudah nikah sama Banyu nggak cupu. Biar elo bisa ganas di ranjang," ledek Intan lagi.

"Intaaaan!" Sebuah serbet melayang ke kepala Intan. Untunglah bel pintu berbunyi sehingga menyelamatkan Intan dari amukan Gladys.

"Assalaamu'alaikum princess." Sosok yang dari tadi jadi bahan pembicaraan mereka kini muncul di depan pintu rumah Gladys. Di tangannya ada wadah makanan.

"Wa'alaykumussalaam." Tak pelak ada rasa senang di hati Gladys saat melihat kedatangan Banyu. Wangi parfum Banyu yang tercium saat mereka berdiri berdekatan seolah menjadi aroma terapi yang mampu menenangkan Gladys. Aroma yang mulai menjadi candu What?! NO!! Apa-apaan sih lo Dys? Sadar woy sadar.

"Hey kamu kenapa geleng-geleng begitu?" tanya Banyu saat melihat Gladys menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kepala kamu sakit?"

"Iya kepalaku sakit setiap melihat kamu muncul. Mendingan kamu pulang aja. Katanya mau pulang ke Indonesia, kenapa masih disini?" tanya Gladys ketus.

"Kamu nggak sabaran ya supaya aku cepat ketemu mami papi dan kakak-kakakmu? Tenang sayang, besok lusa aku akan terbang ke Indonesia. Kalau tahu kamu nggak sabaran begini harusnya aku langsung carter jet pribadi ya."

"Astaghfirullah.. sombong banget sih kamu. Istighfar mas istrighfar." Tawa Banyu meledak mendengar ucapan Gladys.

"Kalau kamu sudah nggak sabar bagaimana kalau kita pulang sama-sama dan langsung menikah saat tiba di Indonesia. Nggak usah ribet, langsung KUA aja."

"Itu mau kamu mas."

"Memang. Jadi? Aku perlu carter jet pribadi atau nggak nih?" tanya Banyu sambil tersenyum menggoda. Pipi Gladys memanas dan merona. Gladys buru-buru masuk ke dalam rumah dan membiarkan Banyu masuk.

"Hai Nyu, tumben pagi-pagi sudah kesini?" sapa Haidar.

"Iya nih mas. Ada titipan dari ibu buat calon mantu. Tiramisu kesukaan calon mantu kesayangan," jawab Banyu yang disambut gelak tawa Intan dan Haidar. Sementara itu Gladys buru-buru masuk kamar karena malu. Astagaaa.. kenapa sih mereka selalu kompak menggodaku.

"Kamu jadi balik ke Indonesia Nyu?"

"Jadi mas. Insyaa Allah kalau nggak ada halangan besok lusa aku pulang. Tapi kalau calon istri mau ikut, aku akan sewa jet pribadi biar bisa mengajak semua pulang. Jadi sampai di Indonesia dari bandara langsung ke KUA." Semua tertawa mendengar jawaban Banyu. Padahal Banyu serius mengatakan itu.

"Siapa juga yang mau nikah sama kamu!" Gladys menyahuti dari dalam kamar. "Ge-er banget sih!"

"Percaya diri, bukan ge-er. Itu sudah setengah dari perjuangan mendapatkanmu, princess," balas Banyu.

"Aku kagum dengan kenekatanmu, Nyu."

"Kali ini kalau aku mau mendapatkan dia, aku harus nekat mas. Dulu aku selalu menahan diri karena merasa diriku tak pantas untuknya. Tapi sekarang aku nggak mau lagi berpikiran seperti itu. Ada tidak ada perusahaan ayah yang kini kujalani, aku akan tetap melamar dan menikahi dia."

"Pesanku cuma satu mas, tolong jangan sakiti dia lagi. Hatinya terlalu rapuh walau dia terlihat tegar," pesan Intan.

"Insyaa Allah. Aku sudah kapok. Selama ini aku sudah dibutakan oleh cintaku pada Senja. Ternyata itu bukanlah cinta namun obsesi semata. Sampai-sampai aku nggak melihat wanita yang paling pantas untukku ada di depan mata."

Ya Tuhan, aku harus bagaimana? tanya Gladys dalam hati. Aku masih terlalu takut untuk menjalani hal tersebut. Aku belum siap.

"Ntan... Mas.., aku berangkat dulu ya. Khawatir kalau nanti Salma bangun dia akan heboh melihat mas Banyu disini." Gladys tampak sudah rapi dan siap ke kantor.

"Jadi kamu mau aku antar ke kantor, princess?"

"Buruan ah. Nanti kalau Salma bangun, bisa-bisa aku nggak jadi ke kantor. Lagipula aku mau menunjukkan desain dan motif seragam yang perusahaan kalian pesan."

"Wah, bisnis yang menguntungkan ya Nyu. Kalau perlu uniform untuk seragam nggak perlu ribet cari perusahaan, tinggal bilang ke istri beres deh."

"Mas Haidar nggak lucu, ah! Siapa sih istri dia?!" Wajah Gladys memberengut. Ya Allah cantik banget sih, menggemaskan, batin Banyu. Tatapannya terpaku pada bibir Gladys. Ia masih ingat bagaimana rasa bibir itu.

"Istighfar Nyu... istighfar. Masih belum halal. Ditahan dulu sampai dia bilang yes," Kembali Haidar meledek. "Begitu amat ngeliatin bibir Gladys."

Muka Gladys langsung memerah hingga kupingnya terasa panas saat mendengar ledekan Haidar. Apalagi saat matanya bertabrakan dengan mata Banyu. Ia dapat melihat sinar matanya seperti sinar mata... Lukas? Apakah itu artinya dia memiliki rasa... Aah nggak mungkin. Dia nggak punya rasa itu. Apa yang dia tunjukkan akhir-akhir ini hanya bentuk penyesalannya saja. Nggak lebih. Batin Gladys sibuk beropini.

"Mas Haidar nyebelin nih," Akhirnya Gladys bisa bicara setelah berhasil menata perasaannya. "Ntan, dimana sih elo nemu suami kayak gini?"

"Bawaan orok, Dys." jawab Intan.

"Ah kalian berdua sama aja. Sudah ah, gue berangkat dulu ya. Ayo mas," ajak Gladys pada Banyu.

⭐⭐⭐⭐

"Princess, ada yang mau aku bicarakan sama kamu." Wajah Banyu terlihat serius saat mereka selesai makan malam.

"Bukannya dari tadi kamu sudah bicara terus?" balas Gladys sambil menyesap air mineral yang ada di hadapanny.

"Ini serius, sayang." Hati Gladys berdesir saat mendengar panggilan sayang itu. Dulu Lukas yang biasa memanggil seperti itu. Kini Banyu melakukan itu. "Kenapa kamu diam saja, sayang?"

"Nggak papa. Aku merasa sedang berhadapan dengan....."

"Dengan Lukas?" Gladys mengangguk ragu. Apakah Banyu akan marah bila aku membawa-bawa Lukas dalam percakapan kami?

"Maaf."

"Kenapa harus minta maaf. Justru aku berterima kasih pada Lukas. Karena dia aku menyadari bahwa sebenarnya aku nggak mau kehilangan kamu. Karena dia, aku mendapat pelajaran penting yaitu jangan pernah malu menunjukkan perasaan cintamu pada orang yang memang tepat untukmu. Seharusnya dulu aku lebih sering mengekspresikan perasaan seperti Lukas."

"Tapi kamu bukan dia. Kalian dua orang yang berbeda. Perbedaan yang paling utama adalah dia mencintaiku sejak dulu. Sementara kamu ..."

"Tolong jangan ingatkan aku pada ketololanku. Aku malu bila mengingat hal tersebut. Betapa tololnya aku tidak bisa membedakan antara cinta dan obsesi."

"Apakah sekarang perasaanmu kepadaku bukan hanya sekedar obsesi? Sama seperti saat kamu menginginkan dia kembali kepadamu?" tanya Gladys pelan. Ada rasa takut menggelayutinya. Takut kenyataan kembali memusuhinya. Banyu menatap dalam-dalam mata Gladys.

"Princess, jawab dengan jujur. Apa yang kamu lihat di mataku?" Gladys membalas tatapan Banyu, hanya sebentar lalu ia menunduk. Dadanya berdegup kencang. Apa maksud semua ini? Apakah ini semua nyata atau hanya ilusi semata karena aku mengharapkan itu?

"Aku tak melihat apapun selain dua bola matamu," jawab Gladys pura-pura tak peduli. Namun Gladys lupa bahwa ekspresi spontannya tadi tak bisa disembunyikan dan Banyu mengetahui hal tersebut.

"Apakah aku harus berteriak agar seluruh dunia mengetahui kalau aku benar-benar mencintaimu? Kalau kamu memintaku melakukan itu, maka akan kulakukan."

"Nggak usah lebay!" sergah Gladys sambil menutup mulut Banyu dengan tangannya. Tanpa menunggu lebih lama Banyu menggenggam tangan Gladys lalu ia mengeluarkan sebuah kotak kecil. Dari dalamnya ia mengeluarkan sebentuk cincin sederhana lalu memakaikannya di jari manis tangan kiri Gladys. Setelah itu ia mencium punggung tangan Gladys.

"Will you marry me?" tanya Banyu mesra.

"Are you crazy?" bisik Gladys sambil berusaha menarik tangannya. Namun Banyu tak melepaskan genggamannya.

"Yes, I'm crazy about you."

"Mas, nggak usah bercanda. Nggak lucu!"

"Apakah aku terlihat bercanda di matamu." Nggak, kamu serius. Sinar matamu mengatakan semuanya. Binar cinta yang tulus terlihat di situ. Binar yang dulu selalu kulihat di mata Lukas. Namun terasa berbeda saat melihatnya di mata Banyu. Gladys seolah menemukan ketenangan di sana.

"Maaf aku nggak bisa memberikan cincin yang lebih indah. Bukan karena aku tak mampu, tapi aku tak ingin keindahanmu tertutup oleh cincin bermata berlian. Cincin ini aku beli dari hasil keringatku sendiri. Bukan dari harta peninggalan ayah. Selama berjualan aku memiliki sedikit tabungan, yang dulunya kusiapkan untuk Nabila masuk pesantren." Banyu menarik nafas dalam-dalam. Gladys tahu sebenarnya Banyu gugup. Tangannya terasa dingin.

"Aku nggak pantas menerima cincin ini."

"Nggak ada orang lain yang lebih pantas daripadamu, Princess." bisik Banyu. "Dan wanita yang paling kuinginkan menjadi pendamping hidupku cuma kamu. Kamulah wanita ketiga yang memiliki arti penting dalam hidupku, setelah ibu dan Nabila."

Hati Gladys terenyuh saat mendengarnya. Ia tahu ini saat yang dari dulu ia inginkan. Saat dimana Banyu pada akhirnya mengakui perasaannya. Saat dimana Banyu mengajaknya mengarungi hidup bersama. Namun trauma masa lalu membuatnya tak ingin terlalu hanyut dalam perasaan. Trauma membuatnya waspada.

⭐⭐⭐⭐

avataravatar
Next chapter