webnovel

24

CEK TYPO YEE

Empat bulan sudah mereka menikah, hari-hari  yang mereka lalui terasa begitu indah. Rasa diantar keduanya juga semakin bertambah. Namun, pertengkaran kecil memang tak bisa dihindari, selisih paham dan beda pendapat juga menjadi bumbu dalam rumah tangga mereka.

Arka yang jarang dirumah, tak membuat Arsha kesepian, sebab pria itu sudah mempekerjakan art untuk menemani Arsha saat pria itu sedang menjalani tugasnya.

Jangan lupakan Arka dengan sifat posesif nya. Pria itu bahkan menelpon Arsha setiap tiga jam sekali. Memang tak sering, tapi Arka akan berusaha agar dapat mengabari Arka.

Seperti saat ini, Arka kembali menelpon Arsha saat wanita tengah menyantap makan malamnya.

"Assalamualaikum sayang, kamu lagi makan ya?"

"Waalaikumsalam mas, iya tapi udah mau siap kok. Kamu lagi apa?"

"Makan yang banyak biar gemuk, aku baru landing di Palembang. Langsung nelpon kamu."

"Udah makan?"

"Hm."

"Hm hm apa? Jawab yang jelas dong."

"Nanti aku makan, aku lagi kangen sama kamu."

"Kamu suka gitu ih, makan sekarang biar aku liat dari sini."

"Malas, belum laper yang."

"Yaudah terserah."

"Jangan ngambek, sebentar lagi aku juga makan sama temen-temen kok. Insya allah lusa aku udah pulang, nggak sabar banget mau peluk kamu."

"Alhamdulillah, iya aku tunggu."

Sudah tiga  hari semenjak Arka mengatakan ia akan pulang, namun  sampai kini pria itu belum juga sampai kerumah. Hati Arsha resah, bingung cemas dan khawatir menjadi satu di hati dan pikirannya.

Pikiran-pikiran negatif mulai merasuki otaknya. Namun, Arsha berusaha untuk tetap bersabar. Bahkan telponnya dari dua hari lalu juga tak ada yang diangkat oleh Arka.

Bingung rasanya Arsha untuk bertanya kepada siapa. Sebab tak satupun nomor rekan kerja Arka berada di ponselnya. Rasanya ingin menangis, mengeluarkan seluruh rasa yang ada di hatinya. Ingin mengadu, tapi entah kepada siapa, pun ia binging.

"Pak Yudi, mas Arka sudah memberi kabar ke bapak belum? Soalnya telpon Arsha  nggak di angkat sama mas Arka."

"Belum buk, saya juga bingung biasanya Tuan Arka akan mengabari saya minimal tiga jam sekali. Tapi dari semalam saya belum dapat kabar dari tian buk."

"Pak, Arsha kan udah bilang jangan panggil ibu. Panggil kaya biasa aja udah."

"Arsha khawatir pak. Takut mas Arka kenapa-napa," lanjutnya.

"Sang aja neng, banyak-banyak berdoa. Semoga tuan Arka bisa kembali dengan selamat," balas pak Yudi dengan mengganti panggilan 'ibu menjadi 'neng untuk Arsha.

"Aamiin. Arsha kedalam dulu ya pak, mau masak makan siang sama mbok Ros."

"Iya neng."

Malam  ini, Arsha sudah tidakk dapat menahan air matanya. Rasa khawatirnya kian bertambah membuatnya kalut. Ponsel Arka juga tidak aktif sama sekali sejak terakhir mereka saling memberi kabar malam itu.

Dimana ia harus mencari suaminya. Siapa yang harus ia mintai tolong sedangkan Arka sendiri tidak memiliki keluarga.

Air mata Arsha akhirnya luruh juga, sesak Di dadanya membuat ia kesulitan untuk bernafas, pikirkan nya pun sudah sangat kacau. Hingga akhirnya wanita itu terlelap dengan sisa tangisannya yang masih menempel di pipi mulusnya.

Hingga pagi menjelang Arka belum juga memberi kabar. Seolah ia sengaja menghilang. Bukan resah lagi yang Arsha rasakan, namun takut.

Ketakutan yang membuat hatinya kian resah. Pemikiran-pemikiran negatif terus menghampiri otaknya.

Hingga satu telpon yang berasal dari seseorang yang sedari tiga hari lalu ia tunggu kabarnya tertera dilayar ponselnya. Arsha langsung menggeser tombol hijau ke atas.

"Assalamualaikum. Maaf sebelumnya apa ini istri dari pak Arka?"

"Waalaikumsalam, iya mas. Mas siapa ya? Suami saya mana mas?" Arsha mengernyitkan dahinya bingung. Kenapa bukan suara suaminya malah suara pria lain. Dimana Arka sekarang. Perasaan Arsha bertambah tidak enak menunggu jawaban orang itu.

"Pak Arka nya belum sadar mbak. Beliau mengalami kecelakaan tunggal tiga hari lalu. Saat ini, beliau sedang dirawat di rumah sakit Casa medika mbak. Mbak menyusul kemari."

Arsha langsung lemas ketika pria yang bernama Zakru itu memberitahu keadaan suaminya. Ia tak lagi menjawab telpon tersebut hingga layarnya redup. Rasa khawatirnya terjawab sudah.

Dengan sisa tenaga yang Arsha miliki. Ia bangkit berpegangan dengan dinding yang ada disampingnya. Telapak tangan mungilnya memegang dada, seolah mengendalikan detak jantungnya yang menggila.

Seketika rasa mual menggoncang perut Arsha. Mengaduk-aduk hingga pusing pun mendera kepalanya. Dengan lemas Arsha berjalan ke kamar. Didalam kamar ia segera menuju kamar mandi karena rasa mualnya kian menjadi.

Tidak ada yang keluar selain cairan putih dari mulut Arsha. Lemas sekali rasanya, kekhawatirannya yang belum mereda menambah rasa itu.

Setelah mengkumur mulutnya, Arsha segera bersiap menuju rumah sakit tempat dimana rindunya bernaung.

Saat di teras rumah, pak Hadi yang tengah membersihkan mobil langsung berdiri dari jongkoknya saat melihat majikannya sudah rapi dan nampak tergesa.

"Pak Hadi, bisa tolong anterin Arsha kerumah sakit nggak?"

"Iya mbak, bapak ambil kunci sebentar ya," Arsha mengangguk.

Tak lama menunggu pak Hadi muncul. Arsha langsung masuk setelah pak  Hadi membuka pintu penumpang bagian belakang untuk Arsha.

Selama perjalanan menuju rumah sakit, Arsha menahan rasa mual bercampur pusing yang belum juga mereda.

"Pak, ada kantong kresek nggak?"

"Buat apa mbak?"

"Saya mau muntah."

"Ini ada mbak," pak Hadi meraih plastik hitam yang ada di dasbor, lalu memberikan kepada Arsha.

Arsha langsung meraihnya, dan memuntahkan. Segala isi perut yang dari tadi membuatnya mual. Memang sudah dari semalam ia mual-mual. Arsha merasa ia begitu, karena belum makan sejak siang kemarin dan membuatnya masuk angin.

Setelah sampai di rumah sakit, pak Hadi menurunkan Arsha di lobby. Lalu mencari tempat parkir.

Arsha langsung berjalan dengan tergesa menuju lift. Zakru tadi sudah mengirimi nya pesan bahwa kamar Arka terletak di lantai tiga rumah sakit. Setelah menemukan nomor yang menjadi tempat Arka dirawat, Arsha langsung masuk kedalam dan mendapati seorang laki-laki berperawakan tinggi yang Arsha yakini pasti adalah Zakru.

"Mbak Arsha?"

"Iya, maaf sudah merepotkan mas. Kenapa suami saya bisa begini mas? Dan kenapa setelah tiga hari baru saya dihubungi?" Arsha akhirnya menanyakan perihal, mengapa ia dihubungi setelah tiga hari? Mengapa tidak di hari pertama Arka dirawat?

"Saya minta maaf mbak," Ucap Zakru sambil mempersilahkan Arsha duduk di sofa yang ada di ruangan itu. "Saya pertamanya juga bingung mbak, kemana saya harus menghubungi keluarganya. Karena ponsel pak Arka hilang saat kecelakaan. Dan setelah saya datang ke lokasi, untuk menyelidiki penyebab bapak Arka kecelakaan barulah saya menemukan ponsel beliau yang terjatuh di semak-semak yang hampir jatuh ke jurang."

"Astagfirullahhal azim."

Arsha berjalan kerah ranjang Arka. Namun, saat langkahnya bekim sampai  Arsha langsung berlari menuju toilet yang ada di sudut ruangan.

Arsha langsung memuntahkan isi perutnya. Lagi-lagi hanya cairan putih yang keluar dari mulutnya.

Setelah dirasa tidak ada lagi yang ingin keluar dari mulutnya. Arsha membersihkan mulut Dan berjalan degan lemas menuju kursi di samping ranjang pesakitan.

Arsha mengusap tangan Arka, air matanya keluar kala netranya menangkap banyak luka di sekitar wajah dan lengan suaminya.

"Bangun mas, aku nungguin kamu dari kemaren. Aku sakit kalau lihat kamu kayak gini," Arsha menunduk. Bahunya terguncang akibat tangisannya yang sulit ia kendalikan.

"Aku mau kamu bangun mas, aku rindu," ucapnya pelan.

********

Mungkin bagi yang udah baca part 24 kemaren bakal merasa beda sama part 24 yang aku post ulang ini. Karena aku bingung sama part kemaren gimana cara menyelesaikan masalahnya. Juga gimana mau ngasih tau ke Arsha nya tentang Arka.

Jadi aku mutusin buat di rombak dikit biar aku gampang menyelesaikan masalah mereka.

Ini cerita ringan kok. Biarkan hidup yang berat karena corona, cerita aku jangan;v

Oke deh gitu aja.

Batam, 14 Maret- 18 April 20 

Next chapter