Berita tersebar begitu cepat malam ini mengenai penangkapan para mafia. Apalagi kepulan asap akibat ledakkan pabrik roti tak terpakai itu terlihat hingga ke pusat kota. Rara yang berada di kantor untuk memeriksa berkas laporan tak bisa fokus dengan pekerjaan nya.
Bagaimana dengan suaminya? Apakah dia selamat?
" Ra..."
" Rara..."
" Ya? " Rara menoleh kebelakang, melihat sosok Tara yang tengah menatapnya dengan raut wajah khawatir.
Tara duduk dihadapan Rara, " Kamu kenapa, Ra? Tidak biasanya melamun saat bekerja." kata Tara.
Menggelengkan kepalanya. " Aku cuma kelelahan saja, Tar. " bohongnya. " Ngomong-ngomong, kamu sudah dapat identitas polisi itu?."
Tara tersenyum. Ia segera memperlihatkan flashdish yang ada ditangannya. Alisnya naik-turun menandakan jika ia berhasil mendapatkan informasi yang diinginkan oleh Rara. " Mau melihat apa yang ku dapatkan? " kata Tara.
Rara segera merebut flasdishk itu dari tangan Tara. Segera menyambungkannya ke laptop.
" Apartemen Goo? " heran Rara saat ternyata isi file tersebut berisi profil penghuni apartemen.
" Nah, pria ini. Namanya Devan. Wajahnya sama persis seperti orang yang mengenakan seragam polisi. Ya, walaupun orang berseragam polisi itu menutup setengah wajahnya, tapi aku yakin... " Tara memandang Rara. "...dia pelakunya. "
Tara segera berdiri di samping Rara. Mengikuti arah pandangan Rara yang tertuju kedepan layar. Bola mata mereka melirik kanan-kiri berulang kali, membaca isi file dokumen itu teliti. Tak ada yang terlewatkan.
" Tapi, yang membuatku bertanya-tanya adalah kenapa apartemen goo tidak terdaftar? Bahkan tidak ada dalam aplikasi. " kata Tara saat mencari Apartemen itu melalui internet.
Tidak ada informasi mengenai apartemen goo dan itu membuat mereka semakin penasaran. Bahkan mereka baru pertama kali mendengar nama apartemen itu.
***
Rara kembali lagi ke desa melati. Tempat dimana 10 korban mutilasi ditemukan. Menutup dengan keras mobil patroli saat ia sudah diluar.
Semua mata tertuju padanya. Apalagi saat Rara memasuki pemukiman warga. Menghampiri nenek yang tengah menjemur beras. " Maaf nek, saya mau tanya. Apa nenek kenal dengan kakek pemilik kebun singkong dekat CCTV itu? " tunjuk kearah perkebunan. Nenek itu nampak kebingungan, mengernyit.
" Ah! Saya cucu beliau. " lanjut Rara meyakinkan nenek itu.
" Dia sudah 2 hari tidak terlihat. " menatap kearah samping, dimana terdapat rumah dari bahan kayu ulin. Tidak besar dan tidak terlalu kecil. Cukup untuk dihuni satu keluarga. "...kami sudah mencarinya, tapi tak ketemu."
Rara curiga.
Mungkinkah kakek yang ia temui saat mengevakuasi korban telah diculik?, tapi akan sangat sulit untuk menyelidiki kasus hilangnya kakek tersebut. Apalagi tidak ada bukti sama sekali. Saksi mata pun tidak ada.
***
Tara bertanya kepada para pejalan kaki. Menanyakan alamat apartemen goo. Banyak sekali perjalan kaki yang ia temui tidak mengetahui apartemen tersebut, bahkan mereka mengaku jika baru pertama kali mendengar nama apartemen tersebut.
Tara lagi-lagi menghela napas. Lelah menyerangnya. Terik matahari membuat nya berkeringat. Apalagi sudah hampir 3 jam ia berada dibawah terik sinar matahari yang menyengat. Siang ini begitu panas.
Menyerah. Ia memasuki mobil patroli dengan rasa kecewa. Tak menemukan alamat apartemen goo.
Kepalanya menyentuh setir mobil. Matanya tertutup berusaha menghilangkan rasa lelah.
Kring!
Kring!
Melirik kearah layar ponsel yang berada disamping tempat duduk. Nama Rara tertera dilayar ponselnya yang berbunyi keras. Menepuk-nepuk kedua pipinya berusaha menjaga kesadarannya, secepat mungkin ia meraih ponselnya dan menerima panggilan Rara.
" Halo! " nadanya terlalu pelan.
" Tara, ini benar-benar membuatku gila. " suara Rara terdengar panik. " Kakek yang kutemui saat kita mengevakuasi jasad di desa melati, ternyata sudah 2 hari tidak terlihat di desa."
Seketika Tara tersadar. " Bagaimana bisa? Apa dia diculik?."
" Aku juga bingung, Tar..." terdengar suara keributan saat Rara menjawab pertanyaannya. Sepertinya warga desa melati bersama dengan Rara. "...Padahal dia saksi matanya. Dia petunjuk kita mengenai si pelaku. "
Demi apa, Tara benar-benar membenci kasus yang ia tangani saat ini. Kalau boleh memilih, ia lebih baik menangkap para preman jalanan dibandingkan memecahkan kasus pembunuhan yang memaksa otaknya untuk bekerja lebih keras.
Mengusap wajahnya yang berkeringat, efek cuaca panas. "...Aku—"
Tok!
Tok!
Perkataan Tara terhenti saat seorang pria berpakaian rapi mengetuk pintu kaca mobilnya. Tara tidak membukanya. Ia memilih diam di dalam mobil sambil memperhatikan pria itu yang tengah memeriksa mobil yang ia tumpangi.
Pria itu memanggil temannya. Membantunya memeriksa kedalam mobil melalui jendela mobil yang tertutup rapat. Tara merosot, bersembunyi dibawah sambil memperhatikan gerak-gerik kedua pria mencurigakan itu.
" Tara..."
Tara segera mendekatkan ponsel. "...Ra, sepertinya aku diincar oleh seseorang." kata Tara yang masih memperhatikan dua pria yang berdiri disamping mobilnya.
"...Apa? Bagaimana bisa? Siapa? Sekarang kau ada dimana? Aku akan menemuimu sekarang juga! "
Rara begitu panik.
Tara melotot horor saat pria itu menatap tepat kearahnya. Tatapan tajam yang membuat Tara bergedik ngeri. "...aku akan mengirim alamat keberadaan ku. " bisik Tara. Segera mematikan panggilan nya.
Tatapannya masih tertuju pada pria itu yang juga tertuju kepadanya. Mengirim alamat keberadaannya melalui aplikasi chat kepada Rara.
Deg!
Jantungnya berdetak tak karuan. Keringat semakin membanjiri wajahnya. Cuaca yang begitu panas kini semakin terasa.
Tara mulai memposisikan tubuhnya dengan nyaman. Pria itu masih mengawasi gerak-gerik nya. Matanya tak berkedip seakan jika berkedip maka akan kehilangan mangsanya. Tangan nya meraih kunci mobil, berusaha menyalakan mesin mobil untuk melarikan diri dari dua pria tersebut.
Duagh!
Duagh!
Terlonjak kaget saat pria itu menggedor-gedor kaca jendela mobil begitu kuat. Bibir nya bergerak, seakan berbicara kepada Tara.
Mati!
Tara menyimpulkan jika kedua pria itu ingin membunuhnya.
Orang-orang disekitarnya tidak memperhatikan dua pria itu. Seakan hal itu sangat wajar terjadi di lingkungan ini.
Ini benar-benar membuatnya gila!
Seiren mobil dinyalakan, segera ia melajukan mobilnya menjauh dari dua pria itu. Ya, awalnya memang seperti itu. Tapi, mereka mengejarnya. Menggunakan motor traile.
Tara mengumpat kesal. Segera ia berbelok, mencari jalan pintas. Berusaha menghindar dari kejaran dua pria itu. Tangan kirinya menekan layar yang ada dihadapannya, sedangkan tangan kanannya sibuk menyetir.
Suara wanita terdengar saat Tara mengaktifkan layar itu. Meminta Tara untuk mengatakan apa saja yang ingin ditanyakan.
" Pria yang mengejarku, siapa dia? " tanya Tara panik.
Layar itu berkedip-kedip. Berpindah kerekaman CCTV jalan. Scan hijau bergerak, memperjelas wajah dua pria itu. ' Mike dan Panji, mereka pernah dua kali masuk penjara karena kasus pelecehan, pembunuhan dan perampokan.' layar itu membaca informasi yang ia dapatkan.
Foto kedua pria itu kini terpampang jelas di layar. " F**k, kenapa mereka mengejarku? Bahkan aku tidak pernah berurusan dengan mereka. " kata Tara, sesekali ia melirik kaca spion memastikan jika ia cukup jauh dari dua pria itu.
Layar itu kembali berkedip. Memperlihatkan beberapa file rekaman kasus kejahatan Mike dan Panji yang terekam CCTV.
Kring!
Kring!
Segera Tara menerima panggilan dari Rara. "Siapa pria itu? " tanya Rara.
Tara bisa melihat mobil patroli lain yang berada di belakang Mike dan Panji. Tara sangat yakin jika mobil tersebut milik Rara.
" Mike dan Panji, mereka dua kali berurusan dengan polisi. " jawab Tara.
Rara segera mencari informasi mereka berdua dan hasilnya sama seperti yang ditemukan oleh Tara. " Mengapa mereka mengejarmu, Tar? "
" Aku juga tidak tahu, Ra. Tiba-tiba saja mereka menghampiriku dan mengejarku. " Tara mulai frustasi.
Tiit!
Mobil truk melaju dengan kecepatan tinggi. Tara segera menghindari truk tersebut begitu juga dengan Rara.
Duagh!
Hantaman keras dapat didengar oleh mereka berdua. Segera Tara dan Rara menoleh dan menemukan Mike dan Panji tewas ditempat akibat terlindas mobil truk itu.
Tara keluar dari mobil. Memeriksa kedalam mobil truk yang ternyata tidak ada pengemudi sama sekali. " Alat pengendali jarak jauh." kata Tara saat Rara menghampirinya.
Rara mengambil alat pengendali tersebut dari tangan Tara. Mengamati setiap detail benda tersebut. " Produksi perusahaan moon." kata Rara.
" Bukankah perusahaan moon tidak beroperasi lagi?. " tanya Tara.
Rara mengangguk kepala nya. " Bukankah semua produksi perusahaan moon disita? Bagaimana bisa seseorang memiliki benda ini?. " heran Rara.
***
Zea menatap ambulans dan dua mobil polisi yang melintas disampingnya. " Sepertinya ancaman mulai kembali menghantui kota ini." kata Zee yang tengah fokus mengemudi.
" Mereka yang selamat. Akan membalas kekalahan mereka... " Zea sedikit menurunkan kaca jendela mobil. Membiarkan angin menerpa wajahnya. "...Memang tidak manusiawi, tapi satu-satunya cara adalah menghabisi mereka hingga keakar. "
Zee mengernyit. " Kau sepertinya kebanyakkan nonton film. " kata Zee.
Zea tertawa. " Sepertinya begitu, mungkin karena Zea akhir-akhir ini sering menonton film. "
"...ngomong-ngomong, kak Zee. Bagaimana pendapat Kak Zee jika berkunjung kerumah teman dan menemukan sebuah pisau dengan noda darah? "
" Aneh! " jawab Zee singkat. " Jika kau menemui orang seperti itu lebih baik jangan terlalu dekat dengan nya, atau sebisa mungkin menjauhnya " tambahnya lagi.
"... Bukankah itu terlalu menyeramkan? " lanjutnya.
" Ya! " jawab Zea. "...sangat menyeramkan" menundukkan kepalanya sambil memainkan ujung kemeja coklatnya. " Seakan-akan nyawamu akan melayang jika tidak berhati-hati..." bisiknya lirih.
***
" Akhirnya, tepat waktu! " kata Eri saat melihat kedatangan Zea dan juga Zee.
Segera Zea masuk kedalam sebuah ruangan. Meninggalkan Eri dan juga Zee yang berada diluar ruangan. Sebelum pintu ruang tertutup rapat, Zea sempat menoleh kebelakang. Memastikan jika kakaknya masih berada dibelakang, " Semangat! " kata itu membuat Zea tersenyum. Kata semangat yang diberikan untuknya.
Nomor urut 009 berada di dada sebelah kiri. Setelah penampilan peserta nomor urut 008 maka gilirannya untuk tampil diatas panggung. Memainkan permainan piano dihadapan para juri.
Ballade in G minor Op.23-Chopin
Mereka terdiam. Menyaksikan permainan Zea yang begitu memukau. Bahkan, Zee yang awalnya menerima panggilan juga ikut terdiam.
Zea bagaikan dewa musik. Menghipnotis para penonton akan penampilannya saat ini.
***
" Akhirnya, aku menemukan mu. "
Elina juga ikut menyaksikan penampilan Zea dikursi penonton paling belakang. Kacamata hitam serta masker menutupi wajahnya. Beberapa orang curiga melihat penampilan Elina. Apalagi tingkahnya seperti seorang pencuri yang takut ketahuan.
Tepuk tangan mengakhiri penampilan Zea. Zea menunduk memberi hormat kepada para penonton dan para juri yang akan menilai penampilan nya.
Mata nya berhenti bergerak. Terdiam saat melihat seseorang yang mencurigakan disalah satu kursi penonton.
" Ssttt, Zea... " Eri memanggil Zea. Meminta agar segera turun dari atas panggung.
Sadar jika waktunya sudah habis. Ia segera berjalan meninggalkan panggung menuju ruang tunggu.
" Kamu kenapa bengong sih, apa ada sesuatu dikursi penonton? " tanya Eri.
Zea menggelengkan kepalanya. " Aku hanya terkejut, ternyata banyak yang mengisi kursi penonton. "
Eri mengangguk. " Benar juga, biasanya hanya ada beberapa orang. Mungkin karena ini perlombaan besar. Jadi banyak yang tertarik untuk menonton. "
Mereka berhenti. Zee menghampri Zea. Memeluk Zea penuh kehangatan. " Penampilanmu luar biasa, Zea. " puji Zee.
Senyuman terukir diwajahnya. " Terima kasih, Kak Zee. "
Zee mengelus surai panjang Zea. Menatap sendu kearah Zea yang kini menatapnya dengan raut wajah kebingungan. " Sepertinya kakak harus pergi. Kakak tidak bisa menemanimu hingga acara selesai. "
Zea menggenggam tangan Zee. " Kak Zee gak perlu khawatir. Aku bersama pelatihku, kok. "
" Hm... Aku akan menjaga Zea dan mengantarnya pulang dengan selamat. " kata Eri saat ditatap oleh Zee.
Zee mencium kening Zea. " Kakak pergi. " kata Zee.
Zea segera mencium tangan Zee. " Hati-hati dijalan, Kak. "
Zee menganggukan kepalanya. Segera ia pergi menuju tempat parkir. Zea menatap kepergian Zee melalui jendela gedung pertunjukkan. Sepertinya ada suatu hal yang penting sehingga kakaknya itu tergesa-gesa.
***
Maulidin menghampiri Zee yang baru saja keluar dari mobilnya. Raut wajah panik terlihat jelas. Karyawan mengenakan jas putih berlalu-lalang.
" Makhluk uji coba perusahaan moon melarikan diri." lapor Maulidin. Wanita yang mengenakan masker medis menyerahkan beberapa kertas berisikan data makhluk itu kepada Zee.
Zee segera membaca. Kedua kakinya berjalan seirama dengan Maulidin. Menyusuri lorong rumah sakit. " Sempat tidak sadarkan diri? " heran Zee saat membaca isi laporan.
Maulidin menganggukan kepalanya. "...Makhluk bersisik itu, pura-pura mati. Detak jantungnya tak berfungsi selama 1 menit 30 detik. "
"...kemungkinan makhluk itu sudah merencanakan nya jauh hari. " langkah kaki terhenti. "...atau mungkin mereka melatihnya sebelum kita amankan. "
Zee menatap Maulidin dengan raut wajah serius. " Aku tidak tahu makhluk apa itu. Manusia bersisik? Tapi tingkahnya seperti binatang buas. " kata Zee.
" Yang kita tahu, Ardiaz menciptakan makhluk itu sebagai senjata perlindungan diri. " kata Maulidin.
"...Ya. " menghela napas. " Alat pelacak masih terpasang ditubuhnya kan? Kejar dia sebelum seseorang menemukannya. "
" Akan sangat berbahaya jika keberadaannya diketahui oleh orang-orang diluar sana." tambahnya lagi.
Maulidin memperhatikan Zee. Raut wajah kaku yang sering diperlihatkan Zee saat menghadapi situasi seperti saat ini.