webnovel

Merindukan Kehangatan

"Disana!" Jawab Fiona seraya menunjuk dengan jari telunjuknya.

"Kenapa nggak berhenti di depan rumahnya aja?"

"Mamaku maunya ketemuan disini, karena di dalam rumah kontrakannya sedang ada suaminya." Tutur Fiona, lalu ia mengambil ponselnya dan menelepon sang mama.

[Hallo Ma, aku udah di depan warung ya.]

[Oke Fio. Mama kesana ya.]

[Iya.]

Fiona duduk di dekat warung, lalu Nathan membelikan minuman dingin untuk sang kekasih. Tak lama kemudian, Mama Iren pun datang.

"Eh Nathan, gimana kabarnya?" Tanya Mama Iren.

"Baik, Tante."

Nathan dan Fiona mencium punggung tangan Mama Iren. Setelah itu Fiona memberikan koper besar yang sang mama minta.

"Mama mau pergi kemana sih?" Fiona bertanya lagi.

"Mau ke Bali."

Fiona terdiam, impian Mama Iren bisa berwisata ke Pulau Dewata itu sebentar lagi akan menjadi kenyataan, karena akan diwujudkan oleh laki-laki yang bernama Rizal, yang sekarang menjadi suaminya tersebut.

"Titip Fiona ya, Nathan." Ucap sang mama.

"Nathan itu cuma pacar aku, belum menjadi suami aku, nggak sepantasnya Mama menitipkan aku pada seorang laki-laki yang belum tentu menjadi suami aku." Ujar Fiona.

"Karena kan hanya Nathan yang saat ini bisa menyemangati dan membahagiakan kamu." Lanjut sang mama.

Fiona lebih menginginkan semangat dan kebahagiaan dari kedua orang tuanya, Fiona merindukan kehangatan dan kelembutan hati seorang ibu yang kini sudah tiada di dekatnya, karena walau sudah berpisah, Fiona tetap anak Mama Iren dan Papa Febri. Tiba-tiba saja air matanya hampir menetes. Fiona mengedip-ngedipkan kedua matanya, agar ia tak terlihat seperti menangis.

"Kamu mau oleh-oleh apa? Nanti Mama belikan."

Fiona menggelengkan kepalanya. Tidak ada yang lebih ia inginkan selain keberadaan kedua orang tuanya di rumah, tapi semua itu sudah tidak mungkin terjadi.

"Ya sudah kalau begitu, Mama mau masuk ke dalam lagi ya."

"Iya."

Mama Irene merangkul putri sulungnya tersebut, lalu ia kembali masuk ke dalam rumah kontrakannya.

"Aku tau, kamu masih sedih. Sulit rasanya mengikhlaskan orang yang kita sayang pergi begitu aja." Tutur Nathan.

"Iya, nggak semudah itu menerima takdir seperti ini, apalagi aku masih butuh Mama." Balas Fiona sambil menundukkan kepalanya.

"Aku mengerti apa yang kamu rasakan, tapi aku ingin kamu kembali semangat meraih masa depan. Aku yakin akan ada kebahagiaan untuk kamu nanti."

"Aku nggak tau, harus mencari kemana kebahagiaan itu! Seolah stok bahagia untuk aku udah habis."

"Hidup itu kan nggak selalu sedih, jadi akan ada saatnya kebahagiaan itu datang."

Bahagia menurut Fiona adalah ketika ia bisa berkumpul selalu dengan orang yang ia sayangi. Jika memang kebahagiaan lain datang menghampirinya, rasanya akan tetap hampa jika sudah kehilangan salah satu orang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Disaat orang lain masih bisa merasakan kehangatan suasana di rumah, Fiona sudah tidak bisa. Disaat orang lain masih bisa merasakan indahnya berkumpul bersama keluarga, Fiona sudah tidak bisa. Sulit sekali untuknya bisa melewati masa-masa seperti ini.

"Kalau aku boleh tau, kenapa Mama Iren nggak memperkenalkan kamu pada suaminya?" Tanya Nathan.

"Mungkin, Mama takut aku masih kesal dan aku akan berbuat yang macam-macam pada suaminya itu."

"Oh gitu, tapi kan seharusnya Mama kamu tetap memperkenalkan suaminya pada kamu."

Fiona pun berdiri dari tempat duduknya. "Nggak, aku nggak mau kenal!"

"Ya udah, sekarang pulang yuk!"

Fiona kembali naik ke atas kendaraan roda dua milik kekasihnya itu, lalu sang kekasih mengendarai kendaraan tersebut.

Mama Iren sedang memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam koper, tiba-tiba ia teringat Fiona yang tadi terlihat bersedih.

"Kamu kenapa sih?" Tanya Papa Rizal.

"Tadi, aku melihat Fiona yang sepertinya bersedih, aku jadi ikutan sedih."

"Sedih kenapa?"

"Mungkin dia merindukan keluarga yang lengkap seperti dulu."

"Mantan suamimu suruh nikah aja lagi!"

"Nggak semudah itu, belum tentu anak-anakku mau tinggal bersama ibu tiri."

"Dari pada mengharapkan kamu kembali, kan nggak mungkin kamu kembali pada mantan suami kamu itu."

Mama Iren pun tersenyum, ia merasa sudah mendapatkan kebahagiaannya saat ini, jadi ia tidak mungkin kembali pada masa lalunya yang tidak terlalu bahagia.

"Iya, aku sudah bahagia sama kamu saat ini, walau aku masih jadi yang kedua." Ungkap Mama Iren.

"Alhamdulillah."

"Kapan aku bisa jadi istri kamu yang pertama?"

"Sabar ya. Aku masih harus mempertahankan Citra."

Papa Rizal tidak bisa menceraikan sang istri begitu saja, ia tak mau berpisah dengan ketiga anaknya. Namun Mama Iren yang seorang ibu malah lebih memilih untuk berpisah dengan kedua anaknya. Begitulah seorang wanita jika sudah terbuai asmara sang mantan kekasih yang lebih sukses dari pada suaminya.

Fiona masih berada di atas motor bersama Nathan.

"Mau makan malam dimana, Sayang?" Tanya Nathan.

"Terserah kamu."

Fiona masih menyandarkan kepalanya pada punggung sang kekasih, berada di dekat Nathan membuat Fiona nyaman, tak terasa sampai air matanya menetes karena ia tak bisa membayangkan jika tak ada Nathan akan bagaimana dirinya, melewati semuanya sendiri.

Nathan memberhentikan kendaraannya roda duanya di depan warung makan pinggir jalan, Fiona pun turun lalu beranjak ke dalam.

"Mau makan apa?" Tanya Nathan.

"Ayam goreng."

"Minumnya?"

"Es teh manis."

Nathan memesankan makanan dan minuman untuk Fiona dan juga untuk dirinya, lalu ia kembali duduk di samping kekasihnya itu. Nathan melihat Fiona yang matanya berkaca-kaca, ia sedang menahan tangis.

'Rupanya pemandangan itu yang membuat Fiona sedih.' Batin Nathan. Fiona sedang melihat seorang anak perempuan yang sedang ngobrol dengan kedua orang tuanya. Melihat pemandangan seperti itu, terbesit rasa iri dalam hati Fiona, ia juga ingin merasakan kebersamaan seperti itu lagi dengan kedua orang tuanya.

"Fio!"

Fiona pun menoleh ke arah Nathan yang sedang tersenyum padanya.

"Aku tau, kamu sedih melihat pemandangan di depan itu kan?" Tanya sang kekasih

Fiona menganggukkan kepalanya, lalu ia mengusap air yang sudah memenuni kedua pelupuk matanya.

"Kenapa takdir buruk seperti ini berpihak pada keluarga aku?" Ucap Fiona sambil menoleh Nathan.

"Kita kan nggak bisa memilih takdir baik ataupun buruk, kita cuma bisa menerima apapun yang sudah menjadi takdir kita."

"Kenapa aku harus lahir dari rahim ibu yang seperti itu? Aku benci Mama!"

"Udah, udah! Walau gimanapun, Mama Iren tetap Mama kamu."

Jika Fiona terus memikirkan kondisi keluarganya yang saat ini, batinnya akan terus bergejolak tak terima dengan semua ini. Sedangkan, ia tak bisa terus seperti ini, ia harus segera mengembalikan semangatnya.

Di waktu yang sama, Filio sedang berada di kamarnya, ia sedang menulis catatan hariannya di laptop miliknya. Ia sedang menuliskan perasaannya pada Fiona sejak pertama kali bertemu.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Lio!" Panggil Mama Citra. Mendengar suara sang mama, Filio langsung menutup laptopnya, lalu ia membukakan pintu.