webnovel

PERHIASAN 500 JUTA

"Kami sudah sepakat. Kau secepatnya harus cerai sama Ethan. Apa sih yang kau lihat dari suamimu si Ethan itu?" Tante Yona melipat lengannya di depan dada.

Megan menghirup teh melati dari dalam cangkir di tangannya. Merasakan aroma wanginya yang menenangkan, meneguknya, dan meletakkan cangkir kembali ke meja.

Ia menarik napas sejenak dan memandang Tante Yona tepat di matanya, "Karena saya mencintainya, Tante."

"Cinta? Apa itu cinta. Kau sadar tidak sih kalah kau itu sudah dibudakkin sama si Ethan itu?"

"Hanya karena Tante bisa bahagia dengan semua uang yang Tante miliki, tidak berarti semua orang harus punya banyak uang jika harus bahagia."

"Persetan. Memang uang bukan segalanya, Megan. Tapi segalanya butuh uang. Kau harus realistis. Kau pernah mikir tidak nanti kalau kau hamil dan harus cuti kerja? Siapa yang akan biayai rumah tangga kalian? Kau mau ngandalin suami kau yang tidak guna itu? Kau mau makan cinta kau itu? Susu buat anak kau mau beli pakai cinta juga? Coba buka matamu lebar-lebar, si Ethan itu cari uang buat biaya hidup dia sendiri saja dia tidak cukup. Boro-boro buat ngasih makan istri dan anak."

Mereka berdua tengah duduk di dapur Megan. Sehabis menghadiri pesta Caroline, Tante Yona tidak langsung pulang ke rumahnya.

Pagi-pagi sekali dia sempatkan menemui Megan di rumahnya, memanfaatkan kesempatan saat Ethan sedang tidak ada di rumah.

Megan terdiam mendengar celotehan Tante Yona yang mulai terdengar frustrasi. Ia tergelak sebentar, kemudian berkata dengan santai.

"Tante, Tante... Megan bingung deh. Sebenarnya yang sedang tidak bahagia itu siapa? Megan apa Tante?"

"Maksudmu?"

"Tolong kasih kami kesempatan, Tante. Saya dan Ethan kan juga tidak hanya diam dan berpangku tangan. Kami juga aktif bergerak. Saya yakin, semuanya hanya tinggal masalah waktu. Karena hasil tidak akan menghianati usaha."

"Huh. Susah emang ngomong sama anak muda zaman sekarang. Pada pinter ngejawab. Ya sudahlah, Tante sekarang menyerah. Tapi, ingat. Selama kau masih sama Ethan, jangan pernah minta bantuan Tante kalau ada apa-apa. Apalagi masalah uang. Tante pamit sekarang."

Tante Yona langsung berdiri dan pergi begitu saja tanpa bersalaman atau berpelukan dengan Megan.

Megan memandang punggung Tante Yona yang melangkah semakin jauh.

Oh, jadi itu. Tante Yona takut kalau dimintai bantuan. Hehe. Megan tertawa dalam hati.

Megan bukannya tidak tahu, kalau sebenarnya Tante Yona punya rekan bisnis seorang duda kaya raya. Kalau dilihat dari gelagatnya, Tante Yona ingin Megan menikah dengan rekan bisnisnya itu.

Saat itu Ethan sedang pergi ke Plaza Central. Seperti biasa, ia hanya mengenakan celana jeans dan kaus oblong yang warnanya sudah mulai pudar karena terlalu sering dipakai.

Saat ia masuk ke toko perhiasan, dengan ekor matanya ia dapat melihat bahwa petugas keamanan memperhatikan setiap gerak-geriknya seolah curiga kalau Ethan bisa mendadak mengeluarkan pistol dan menodongkannya ke pramuniaga.

"Silakan, ada yang bisa dibantu?" sapa seorang pramuniaga yang sedang bertugas.

'Virny', Ethan membaca sekilas nama yang tertera pada tanda pengenal.

"Lihat-lihat dulu boleh, ya," Ethan memperhatikan isi etalase dengan penuh minat. Ia teringat Megan dan membayangkan bahwa istrinya akan senang sekali bila dengan hadiah yang akan ia berikan.

Ethan beranjak dari satu etalase satu ke etalase yang lain diikuti Virny yang sekarang sudah berdiri sangat dekat dengannya seolah ia ingin menyamar jadi bayangan Ethan.

"Boleh coba lihat yang ini?" Ethan menunjuk kalung emas berdesain minimalis dengan satu liontin berbentuk hati mungil.

"Itu kalung eksklusif dengan desain liontin spesial yang diproduksi dengan jumlah terbatas untuk Tiffany and Co. Harganya sangat mahal," jawab Virny dengan suara yang dibuat sebombastis mungkin.

"Iya, saya mau lihat," pinta Ethan dengan suara tetap tenang.

Virny bergegas melangkah ke belakang etalase tanpa berusaha menyembunyikan sikapnya yang ogah-ogahan. Dia mengambil kalung yang dimaksud Ethan dan meletakkannya di atas etalase.

"Maaf, Pak. Jangan dibuka," cegah Virny saat melihat Ethan meraih pembuka tutup kotak kalung.

"Oke. Saya mau ini. Sama coba lihat cincin yang ini, sama giwang mutiara yang itu."

Virny memasang senyum hampa demi melihat keteguhan di wajah Ethan dan menuruti kemauannya meski nampak sekali bahwa Virny berharap Ethan segera pergi dan tidak membuang-buang waktunya yang berharga.

Virny mengeluarkan kotak giwang dan meletakkannya di atas etalase lalu dia memandang penuh arti pada petugas keamanan sebelum mengeluarkan cincin bertahtakan berlian yang dimaksud Ethan.

Petugas keamanan mengangguk tanda mengerti kode yang dimaksud Virny.

Seorang petugas toko dengan baju setelan terlihat seperti atasan Virny datang mendekat dan berdiri di samping Virny.

Ethan dengan santai meneliti tiga perhiasan dalam kotaknya masing-masing. Setiap gerak jarinya tak pernah lepas dari perhatian Virny dan atasannya.

Ethan membuka kotak cincin, melepaskannya dari kaitannya dan mengangkatnya sejajar dengan matanya.

Wajah Virny dan atasannya seketika terlihat tegang dan kaku. Setelah Ethan mengembalikan cincin itu kembali ke kotaknya, dua orang itu bersama-sama menarik napas lega dan saling bertukar pandang 'kapan sih orang ini pergi?'

"Kalau saya ambil tiga ini ada diskon tidak?"

Virny tersedak. Atasannya mendengus dengan sangat keras. Setelah berdeham Virny akhirnya buka suara, "Maaf, untuk ketiga produk eksklusif tersebut total harganya sekitar 500 juta rupiah. Untuk transaksi sebesaar itu, kami hanya melayani pembayaran dengan uang tunai."

Virny yang terlihat sudah berpengalaman dengan orang yang hanya melihat-lihat tapi tidak membeli langsung menjawab dengan nada sopan yang terasa sangat artifisial. Ethan melihat bahwa senyum Virny tidak sampai ke matanya.

"Waduh, repot juga ya kalau harus bawa uang tunai sebanyak itu untuk bisa belanja." Ethan menggaruk pelipis kirinya.

Sebenarnya alasan pembayaran dengan uang tunai itu hanyalah alasan Virny supaya Ethan cepat pergi karena sedikit sekali kemungkinan ada orang yang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan dengan membawa uang tunai sebanyak itu.

Ethan merogoh saku belakang celananya dan mengeluarkan dompet. Dari dalam dompet ia mengeluarkan Black Card dan mengacungkannya ke arah Virny.

"Kalau bayar pakai ini bisa tidak?"

Virny dan atasannya seketika membelalakkan matanya. Black Card. Free pass. Kartu hitam ajaib dengan limit tagihan yang tidak terbatas dan bisa digunakan sebagai alat pembayaran di semua outlet di Central Plaza.

Seketika atasan Virny mengangguk dan pergi meninggalkan mereka dengan wajah memerah menahan malu.

Kalau atasan Virny bisa pergi dengan bebas, tidak demikian dengan dia yang harus menampilkan jurus muka badak. Menebalkan muka menahan rasa malu dan tetap melayani Ethan.

Dengan cekatan ia langsung membungkus perhiasan yang dipesan Ethan.

"Maaf, Pak. Apa bisa saya meminta nomor telepon bapak?"

"Buat apa? Tidak usah ya."

"Maaf, ini hanya untuk mempermudah pelayanan purna jual." Virny tersenyum lebar sekali lagi Ethan melihat bahwa senyum Virny tidak sampai ke matanya.

Jauh di lubuk hatinya, Virny sedang menyusun rencana gegap gempita untuk masa depannya. Pria muda, tampan, dan pemegang Black Card. Hmmm.... Virny rasanya seperti sedang melayang beberapa centi dari lantai.

Sementara bagi Ethan, bukan hal baru jika ia bertemu dengan orang macam Virny. Tapi boleh juga kasih nomor ponsel sama dia. Haha. Bisa buat mainan. Lagian tadi dia melayaninya ogah-ogahan dan dengan jijik. Seperti sedang melihat kotoran.

Ethan tersenyum dalam hati dan menyebutkan nomor ponselnya supaya Virny bisa mencatatnya.