webnovel

IRI HATI DENGKI LIHAT BARANG MEWAH

"Megan, aku tadi pagi ketemu suamimu deh." Lena, teman sekantor Megan yang masih kerabat jauhnya melongokkan kepalanya ke dalam kubikel Megan.

"Oh iya. Di mana?"

"Plaza Central. Kerja apa sih dia sekarang? Kok pagi-pagi udah kelayapan ke mall?" Saat berbicara tentang Ethan, Lena sama sekali tidak bersusah payah untuk menyembunyikan ketidaksukaannya pada suami Megan itu.

"Belum kerja, Len. Bulan kemarin dia kena PHK dari kerjaan lamanya. Doain saja semoga suamiku lekas dapat kerjaan baru yang mendingan," kata Megan sambil membenahi berkas-berkas di hadapannya karena sebentar lagi waktunya istirahat makan siang.

"Eh buset, nganggur rupanya. Sabar banget sih kamu jadi istri. Kalau aku punya suami yang bisanya cuma luntang-lantung tidak jelas ke mall pagi-pagi buta kayak gitu mah udah lama kubuang ke tong sampah," sambil berkata begitu Lena mengibaskan telapak tangannya seolah sedang mengusir nyamuk.

"Hehe. Untung saja Ethan bukan suamimu," Megan nyengir geli melihat tampang Lena yang terlihat sangat masam. Dahinya mengerut dan wajahnya mengernyit seperti sedang mencium bau busuk. Megan berpikir bahwa tampang sepupunya itu sekilas mirip kucing liar yang suka mampir ke rumah minta makan.

"Aku jadi penasaran. Kau udah dikasih apa sih sama Ethan, sampai bisa kayak kerbau dicocok hidungnya gitu?"

"Dikasih anu. Ha ha. Nggak, bercanda. Gimana ya jelasinnya, aku juga tidak ngerti. Pokoknya enak aja gitu. Damai. Hmmm... selain itu, kenyamanan kali ya," Megan meraih sisir dari laci, melepas sanggul dan menyisir rambutnya.

Hari ini Megan mengenakan blus berwarna kuning pucat, dipadu dengan setelan berwarna cokelat gelap. Ia menyanggul tinggi rambutnya, menampakkan lehernya yang jenjang, putih, dan sehalus porselin.

Hidungnya yang bangir, alis melengkung, dan bibirnya yang tak pernah lepas dari senyuman terlihat sangat cerah dan natural karena Megan memang jarang menggunakan bedak dan make up wajah lainnya.

"Lah, hidupmu kan udah mapan. Karir jadi editor di sini juga maju pesat. Buktinya kemarin kau dapat promosi jadi senior editor." Lena meletakkan dagunya di dinding kubikel Megan.

"Nggak gitu juga maksud gue, Lena. Ethan itu penyeimbang gue" pandangan Megan menerawang jauh. Pandangannya tertambat pada gumpalan-gumpalan awan putih yang berarak di langit biru di luar jendela sana.

"Penyeimbang? Penyeimbang apaan. Ga ngerti deh sama jalan pikiranmu. Karir mapan, tampang di atas rata-rata. Kalau aku jadi kamu mah, aku pasti sudah cari suami minimal yang eksekutif muda." Lena mendecakkan lidahnya tanda tak sabar.

"Ha ha. Itu kan kamu. Jangan samain aku sama kamu dong. Coba pikir lagi deh. Karirku sudah mapan, masa depan boleh dibilang aman lah ya. Terus terang saja sih, kalau tidak ada Ethan tentu aku tidak akan setenang ini menghadapi hidup. Justru aku yang sebenarnya butuh Ethan. Dia itu seperti jangkar kehidupanku. Sebentar lagi juga kau bakal merasakan kalau sudah punya suami. Kerja seharian di kantor sampai butek, pulang kantor sampai rumah capek aku langsung hilang kalau sudah ketemu dia. Hmmm... Sudah ah. Makan yuk," pungkas Megan ringan.

Tak disangka Ethan datang memasuki ruangan dengan membawa kotak bingkisan dengan logo Tiffany di tangannya.

Mata Lena langsung membulat demi melihat apa yang ada di tangan Ethan. Pandangannya tidak lepas sama sekali dari kotak yang dibawa Ethan.

Ethan datang ke kantor dengan hanya mengenakan kaus oblong tipis yang membuat dada bidang Ethan terpampang nyata. Bagian leher kaus yang sudah melar dan longgar menampakkan bulu-bulu lebat yang tumbuh di dadanya.

"Hei. Tumben siang-siang kau ke kantor." Megan langsung menghampiri Ethan dan menyerahkan dahinya untuk dikecup.

"He he. Sesekali. Sekalian aku mau ngajak kamu makan di luar," ucap Ethan malu-malu setelah mengecup dahi dan ubun-ubun istrinya. Karena sadar selama ini ia tidak pernah punya uang untuk mengajak istrinya makan di luar.

"Halah gaya mau ngajak makan di luar segala, kayak yang punya duit aja, Ethan," sambar Lena dengan mulut mencibir ke arah Ethan.

"Eh, ada Lena. Sorry ya, Len. Aku pinjem Megan sebentar," Ethan mengangkat bungkusan di tangannya dan menyerahkannya ke Megan, "Nih, aku juga bawa ini buat kamu."

"Apa ini," refleks Megan memeriksa kotak berlogo Tiffany pemberian suaminya. Pandangan Megan berpindah-pindah dari kotak bingkisan di tangannya dan wajah suaminya yang bersemu merah.

"Langsung dibuka boleh." Ethan memecah keheningan.

Megan perlahan membuka kotak bingkisan dan terkejut. Diperiksanya satu persatu kotak perhiasan yang dibawa suaminya.

Satu persatu dikeluarkan kotak perhiasan yang masing-masing berisi cincin, anting, juga sepasang kalung platinum dan liontin berbentuk hati.

Lena yang sudah sedari tadi penasaran langsung mendekat dan nimbrung meski tanpa diundang.

"Wah, gila. Barang eksklusif dari Tiffany..." mulut Lena ternganga tanpa ia sadari. Tangannya secepat kilat meraih kotak berisi cincin emas bertahtakan berlian yang terlihat berkilau-kilauan akibat cahaya lampu.

"Cantik ya," kata Megan mengomentari cincin dalam genggaman Lena. Ia berpaling pada suaminya dan berkata, "Aku suka. Makasih ya."

Tangan Ethan terentang siap merengkuh Megan ke dalam pelukannya.

"Kotaknya doang kali Tiffany. Tapi ini barang tiruan kan? Imitasi kan?" Lena maju dan menyodorkan kotak berisi cincin berlian di tangannya ke dada Ethan.

"Itu asli kok, Len. Serius. Aku sendiri tadi yang beli ke gerai Tiffany di Plaza Central," jawab Ethan santai sambil mengambil kotak berisi cincin di tangan Lena dan menyerahkannya pada Megan.

"Halah, tampang kayak kamu mana sanggup sih beli barang branded kayak gini. Cincin ini aja kalau asli buatan Tiffany pasti harganya bisa ratusan juta," mata Lena membelalak lebar menantang Ethan untuk membantah perkataannya.

"Ya memang ratusan juta sih tadi belinya. Jadi tidak mungkin kalau itu barang imitasi, kan."

Meski Ethan menjawab semua cecaran Lena dengan santai dan terlihat tidak terpengaruh, tapi jauh di dalam hatinya ia sebenarnya kasihan. Karena Ethan tahu bahwa semua barang yang ia belikan untuk Megan itu adalah barang yang selama ini Lena impi-impikan.

"Tidak, tidak. Tidak mungkin," Lena menggelang-gelengkan kepalanya jelas-jelas tak percaya sama sekali dengan ucapan Ethan. Berdiri Lena sedikit agak goyah, dadanya naik turun, dan napasnya sedikit tersengal.

Ethan terlihat gagah dan jangkung sekali saat berdiri di antara dua wanita itu karena tinggi mereka berdua hanya sampai sepundaknya saja.

Kebetulan ada tiga orang wanita dari departemen HRD yang merupakan anggota klub gosipnya Lena baru turun dan sepertinya ingin pergi makan siang juga.

"Guys!" Teriak Lena pada mereka bertiga. "Sini." Ketiga orang itu pun datang menghampiri Lena. "Kalian percaya tidak kalau ini asli barang Tiffany?" Kata Lena sambil menunjuk kotak perhiasan yang tadi dibawa Ethan.