webnovel

Kami Hanya Menginginkan Kebahagiaan Kamu

Betapa terkejutnya Edwin ketika ia keluar dari mobil ternyata ia berdiri di halaman rumah Bila, apa lagi saat itu ayah Bila dengan senyum sumringah menyapa mereka.

Edwin berdiri mematung tak percaya dengan apa yang ia lihat, ia merasa mungkinkah ini hanya halusinasinya karena ia telah dipermainkan.

Sampai papa mengagetkannya "Win kamu mau berdiri terus disini, ga mau lihat calon istrimu?".

"Pa..."wajah pucat Edwin terlihat sangat jelas "apa aku sedang bermimpi ya pa?" Edwin bertanya dengan suara yang bergetar.

"Bukan nak Edwin, apa yang sedang kamu alamai adalah kenyataan" ayah menjawab pertanyaan Edwin sambil memeluknya dengan hangat.

"Bapak....." Edwin memeluk ayah dan tanpa terasa air matanya menetes karena rasa kaget dan bahagia yang tengah bergejolak dalam hatinya.

Kedua kakak Edwin terlihat bingung dengan pemandangan didepan matanya, sampai pak Baroto menjelaskannya.

"Wes...Win masa cah lanang nangis" pak Baroto mengingatkan.

"Wih...papa, papa kita ternyata gokil abis ya" Erwin berkata dengan ringan tak menyangka kalau papanya bisa melakukan semua ini.

"Papa The best" Edo menimpali.

"Pak Baroto" papa menepuk pundaknya.

Edwin melepaskan pelukan ayah Bila, kemudian berbalik pada papanya kemudian segera memeluk erat orang yang sudah mengerjainya habis-habisan.

"Papa jail banget" suara Edwin terdengar disela isakan yang tertahan.

"Hahahahaha..." pak Baroto menepuk punggung Edwin "papa sengaja".

Mereka berpelukan disusul ke dua kakaknya, membentuk sebuah pemandangan yang mengharukan.

"Coba kalau mama kalian masih hidup, pasti papa dijewer habis-habisan" canda pak baroto menahan tangis.

Pak Suyadipun ikut terharu, tak jauh beda dengan ibu dan Fani yang melihat dari dalam rumah.

"Ya....Allah bu, ini momen terindah dalam hidup Bila pastinya" Fani berkata sambil menyeka air matanya.

"Ya nak, sekarang kamu temani Bila jangan biarkan keluar dulu".

"Ya bu" dengan cepat Fani menuju kamar Bila.

Setibanya dipintu ia berpapasan dengan Bila, agar Bila tidak mengetahui yang sebenarnya Fani segera memaksanya masuk.

"Calon suami kamu sudah datang masuk dulu" dengan tersenyum ia berkata "apa sudah ga sabar?" ledeknya lagi.

"Ga lah" Bila cemberut mendengar ledekan Fani.

Dari luar terlihat ayah mengajak lima tamunya masuk.

"Ayo-ayo ngobrolnya kita lanjutkan didalam" ajak ayah.

Empat pria dewasa yang masih larut dalam suasana haru itu seketika melepaskan pelukan mereka.

Kemudian dengan langkah mantap dan senyum mengembang Edwin bersiap menemui calon istrinya.

Mereka disambut oleh ibu dengan senyum dan keramahan ala ibu-ibu desa yang hangat, Edwinpun segera mencium tangan wanita yang telah melahirkan calon ibu dari anak-anaknya kemudian memeluknya.

"Terimakasih bu atas kejutan indah ini".

"Sama-sama nak".

Edwin melepaskan pelukan itu dan kembali mencium tangan ibu.

Mereka masuk keruang tamu rumah Bila, dan segera menyatu dengan keakraban, karena terdengar suara candaan.

"Buk Bila juga belum tahu kalau" Edwin tiba-tiba teringat Bila.

"Bila ndak tahu nak, dia pasti juga masih merasa sedih". Jawab ibu lugas.

"Kasihan kamu" Edwin berkata dengan lirih.

" Buat apa kasihan, wong mau dijodohke sama laki-laki pujaan hati kok kasihan" candaan khas pak Baroto terdengar diikuti gelak tawa yang lain.

Edwin hanya tersenyum simpul membayangkan perasaan Salsabila, saat ini pastinya ia sedang merasa terluka dengan perjodohan ini.

"Sudah-sudah ini lho minuman dan jajannannya sambil di nikmati" ibu menawarkan.

Dari dalam kamar Bila suasana keakraban antara dua keluarga kecil itu begitu jelas terdengar membuat hatinya semakin merasakan sakit yang luar biasa.

Bila memegang dadanya untuk menahan rasa sakit ia hampir saja menangis jika Fani tak menghiburnya.

"Sabar...sabar...sabar Bila, ini suatu pertanda baik kalu keluarga kamu dan calon suamimu bisa seakrap itu" Fani muli mempengaruhi Bila.

"Ya Fan, tapi aku ngrasa sakit.....banget, kok ayah dan ibu bisa ya tertawa bahagia seperti itu padahal mereka tahu aku sedang sedih".

"Itu karena mereka yakin kalau calon suami kamu pasti bisa membahagiakanmu" dengan senyum Fani meyakinkan Bila.

Setengah jam sudah berlalu, entah apa orang diluar sana bicarakan, tapi beberapa saat kemudian ibu membuka pintu untuk memanggil Bila.

"Bila kamu sudah siap, calon suamimu mau segera bertemu kamu" ibu mendekati Bila lau membantunya berdiri

Dengan tatapan bahagia ibu memandang setiap inci tubuh Bila yang terlihat cantik "Bila...yakinlah kami hanya menginginkan kebahagiaan kamu" ibu memeluk Bila kemudian mencium kedua pipinya.

"Ya bu, Bila sudah siap" sela Fani "ayo Bil"

Bila berjalan dengan menggandeng tangan Fani "Fan bantu aku".

"Ya, kamu harus yakin".

Bila keluar dari kamarnya menuju ruang tamu dengan langkah malas dan hati yang dipenuhi rasa kecewa.

Fani yang menyadari itu segera menghibur.

"Bila....senyum kalau bukan untuk dia, anggap kamu tersenyum karena rasa hormatmu pada calon mertua kamu".

"Ya Fan" Bila segera menutup muka kusutnya dengan berusaha memberikan senyum terbaiknya.

Sampailah Bila di ruang tamu, rasanya ia tak kuat melihat orang-orang di dalam ruangan itu.

"Bila" Fani menegakan pandangan Bila "lihat calon suami kamu".

Bila memandang ke dalam ruangan itu, dilahatnya ayah, pak Baroto, Pak Sopir, Edo, dan Erwin yang sedang tersenyum menyambutnya.

Ia kaget melihat Edo, ia masih jelas mengingat siapa pria itu, sementara Erwin terlihay asing baginya "Mungkinkah pria itu yang akan jadi suamiku?"

Senyum Bila memudar walau ia didepannya berdiri seorang laki-laki gahah dengan senyum manis, kalau diperhatikan senyum dan wajah pria itu sangat mirip Edwin.

Erwin memang memiliki postur tubuh dan wajah yang mirip, wajah mereka mirip dengan mendiang ibunya sementara Edo mewarisi ketampanan pak Baroto.

Maaf sengaja jahil dikit biar greget.

Bubu_Zaza11creators' thoughts
Next chapter