1 TANPA TANDA

1 Mei 2018

Suara lantunan surah Yasin terdengar di setiap sudut ruangan. Tangis pilu panjang yang terdengar menyayat hati bagi siapapun yang tak sengaja mendengarnya.

Di salah satu kamar yang ada di rumah itu, tepatnya kamar belakang. Kamar yang dulunya ditempati seorang gadis remaja sekarang telah sepi di tinggal oleh sang pemilik. Wanita tua berusia lebih dari 40 tahun sedang meringkuk di kasur putrinya.

Memeluk erat bingkai foto seorang gadis cantik yang diambil 3 tahun yang lalu. Dia tahu, foto itu tak murni keinginan dari putrinya. Harus ada sedikit paksaan agar gadis itu tak canggung berhadapan di depan kamera. Foto pertama di kamera barunya yang ia terima sebagai hadiah ulang tahun ke 15.

Ia tak kuasa menetapkan hati di ruang tamu, disana ada putrinya yang telah terbujur kaku tertutup sebuah kain jarik. Tak lagi bernapas seperti kemarin sore. Dia sedikit menyesali atas dirinya yang tak sering pulang ke rumah menemani pertumbuhan gadis itu.

Ia terlalu di sibukkan dengan dunia kerjanya merantau di kota seberang. Umurnya masih belia saat merenggang nyawa. Bahkan dirinya yang telah tua bangka ini selalu mencari bekal untuk mati tak kunjung menjemput ajalnya. Putrinya mendahului dirinya yang tua ini.

Melantha Greysia Punjabi, gadis muda yang akan menerima surat kelulusan siang nanti terpaksa tak pernah melihat hasil kerja kerasnya selama ini untuk selama-lamanya. Impian untuk menjadi seorang penulis terkenal tak lagi menemaninya. Tak ada lagi kesakitan yang selalu ia rasakan, semua telah hancur lebur menyisakan kebebasan untuk dirinya.

"Erin keluar, jenazah putrimu akan di berangkatkan ke makam. Kamu ikut menemani atau tidak? Kalau tidak kuat melihatnya menetaplah di rumah" kata seseorang sembari mengetuk pintu kamar tersebut.

Erin menghapus air matanya, kemudian meletakkan kembali pigura foto ke tempatnya semula. Wanita itu berdiri merapihkan pakaiannya. Dia berjalan mendekat ke cermin, memperhatikan penampilannya yang tak lagi terbilang rapi.

Mengenakan kerudung pashmina berwarna hitam senada dengan bajunya. Menghirup napas dalam dan menghembuskan pelan menyakinkan hati agar kuat mengantar sang putri ke peristirahatan terakhir. Tak lama kemudian, dia membuka pintu kamar, kakak perempuannya masih ada di sana menunggunya.

Keranda tertutup dengan kain hijau itu digotong oleh empat pria dewasa. Salah satunya ialah ayah kandung Greysia. Pria itu sama terpukulnya atas kepergian putrinya yang tiba-tiba. Air matanya menetes mengingat kejahatan yang ia lakukan terhadap Greysia, ayah yang buruk untuk gadis kecil yang malang itu.

Seruan tahlil terdengar setiap langkah para pembawa keranda. Di depannya ada dua ibu-ibu yang menyebar beberapa macam bunga ke jalanan. Erin di rangkul oleh Vira. Tubuhnya tak bertenaga setiap kali air matanya menetes kembali mengingat sosok Greysia yang telah tiada.

Malam tadi, sekitar pukul 1 dini hari. Greysia di temukan tak bernyawa di rumah kediaman neneknya. Salah satu teman dekatnya berkata menemui gadis itu saat Greysia mengirimnya sebuah pesan berisi perpisahan. Greysia meregang nyawa di dalam kamarnya dengan mengiris urat nadi pada tangannya.

Beberapa saat kemudian rumah langsung ramai di datangi tetangga yang hendak melihat. Para polisi dan ambulans juga ikut memenuhi halaman rumah tersebut. Orang yang tadinya sibuk dengan mimpi-mimpi mereka juga terpaksa terbangun dan mendatangi rumah kejadian.

Erin yang berada di Malang, subuh tadi segera bergegas pulang tanpa membawa persiapan apapun, hanya nyawa dan perasaan tegar. Hatinya seakan mencelos begitu saja saat menerima kabar dari kakaknya.

Jayco —orang yang menemukan Greysia— ikut dalam rombongan orang melayat. Dia bersama kedua orang tuanya berjalan sejajar di belakang Tante Erin. Kaca mata hitam bertengger manis di batang hidungnya, dibalik sana ia berusaha menyembunyikan mata merah yang sedikit bengkak karena menangis.

Kata orang tuanya ia harus mengikhlaskan kepergian Greysia agar gadis itu tidak kesusahan di alam sana. Namun, bagaimana bisa ia mengikhlaskan dalam waktu sesingkat itu. Dia yang sekedar diam sejenak langsung terpikirkan Greysia membuatnya ingin menangis lagi.

Sesampainya di tanah makam, disana telah ada Glend, Erik, Sarang dan kerabat lainnya sudah menunggu rombongan. Keranda di letakkan di pinggir lubang yang kemudian penutup di buka. Di bawah sana ayah Greysia sudah siap untuk menerima jenazah putrinya bersama kerabat lainnya.

Secara perlahan tapi pasti mereka menurunkan jenazah Greysia sembari melafalkan doa. Mereka semua keluar, membersihkan diri dari tanah-tanah yang tak sengaja menempel pada pakaian mereka. Kemudian lubang kubur diurug kembali oleh tanah. Nama Melantha Greysia Punjabi tertera di atas papan putih yang menancap diatas gundukan tanah.

Erin merangkul papan itu, menangis kembali mengenang putrinya yang telah tiada. Sedangkan Rian hanya dapat diam melihat tak bisa menenangkan wanita tersebut. Mereka telah lama berpisah dan ia pun juga sudah memiliki istri. Ia hanya bisa menangis dalam diam di samping istrinya.

Bahu Sarang sudah naik turun, suara isak juga ikut terdengar dari gadis itu. Glend memeluknya, membiarkan Sarang menangis di pelukannya. Hanya dia yang terlihat tak menitihkan air mata. Bukan karena ia tak merasa kehilangan atas kepergian Greysia, namun dia harus tegar agar bisa menjadi sandaran para sahabatnya. Jika semuanya rapuh, bagaimana bisa mereka bangkit dari kesedihan? Setidaknya ada Glend yang dapat membantu menarik mereka.

Sedikit demi sedikit para pelayat pamit pulang meninggalkan tempat pemakaman. Begitu pula Erin yang telah digotong oleh orang-orang karena tak sadarkan diri. Menyisakan sahabat-sahabat Greysia yang masih menetap di sebelah gundukan tanah yang masih merah.

"Selamat tinggal Greysia, sekarang lo udah bebas bisa ngelakuin apapun yang lo mau. Terima kasih lo udah bertahan dengan segala senyum kecerian yang lo berikan pada kita. Lo orang terkeren yang gue kenal, lo orang paling baik di dunia ini. Gue...gue—" ucapan Sarang terputus kembali menangis terisak.

Erik hanya bungkam mencengkram tanah di depannya. Meski ia baru dua tahun dekat dengan Greysia yang bisa di bilang kakaknya, namun ia sangat sayang dengan gadis itu. Tak banyak kenangan namun membuatnya benar-benar merasa kehilangan. Ia tahu bagaimana di posisi Greysia yang selalu kesepian karena tak memiliki saudara, ia juga merasakan karena ia anak tunggal. Sama kesepiannya. Dan saat ia mempunyai kesempatan untuk memiliki kakak, ia benar senang. Namun kesenangan yang sangat singkat baginya.

"Kita kirim doa dulu sebelum pulang. Kita ikhlasin Greysia biar tenang di alam sana. Simpan baik-baik kenangan yang udah kita buat bareng dia, buat pelajaran aja kasus ini jangan sampai keulang lagi untuk kedua kalinya. Kalau ada masalah jangan di pendem, beraniin buat cerita meski pelan-pelan tapi itu bisa bantu diri kita buat tenang. Terima kasih udah mau jadi teman Greysia, dia bakal sedih juga kalau liat kita nangis terus kaya gini" kata Glend panjang lebar.

Kemudian menatap Jayco di hadapannya, "Ikhlasin. Dia berterima kasih banget sama lo yang selalu nemenin dia di saat down, jangan menyesali apapun" ucapnya sembari bersusah payah untuk tersenyum.

Jayco menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar. Mereka mulai mengambil posisi, kala itu Glend mempimpin doa. Lantunan ayat suci keluar dari mulut Glend, sangat fasih dan merdu. Setelah beberapa saat, mereka selesai dan pulang meninggalkan area pemakaman. Glend pulang dengan Sarang. Sedangkan Erik pulang bersama Jayco jalan kaki karena rumah Greysia yang tak jauh dari TPU.

"Kak Greysia pasti udah bahagia sekarang" celetuk Erik penuh arti.

Namun Jayco tetap bungkam tak mau berkomentar. Langkah kaki yang semakin berat untuk ia lanjutkan, seakan kedua kakinya enggan meninggalkan Greysia sendirian di bawah sana. Dia ingin menyakinkan diri untuk menerima semua apa yang terjadi namun lagi-lagi dirinya tak mampu melakukan hal tersebut.

Erik berhenti, menoleh ke belakang menatap laki-laki yang setahun lebih tua darinya itu. Pundaknya melemas mengerti dengan apa yang di rasakan Jayco, setidaknya ia paham rasa sakit kehilangan seseorang yang berharga bagi kita.

"Maaf, harusnya gue dateng lebih cepat agar Greysia masih berdiri di sini" sesal Jayco dengan suara parau dan wajah yang tertunduk.

"Bukan salah lo, jangan salahin diri lo sendiri atas apa yang terjadi. Mungkin bagi kita keputusan yang di ambil Kak Grey adalah keputusan yang salah. Tapi balik lagi ke dia, kita gak tahu sesakit apa yang dia rasain, sekuat apa dia mencoba bertahan dari situasinya. Kita gak pernah tahu puncak keputus asaan seseorang, bagi mereka jalan ini adalah pilihan terbaik untuk melepas semua masalah yang mereka alami selama ini"

"Kita doa in semoga Kak Grey tenang di sana. Ikhlas gak harus di tentuin kapan waktunya, pelan-pelan biar rasa sakit itu gak menyiksa diri sendiri" ucap Erik.

Mendengar itu semua, Jayco menangis lagi. Ia tak paham bagaimana air mata yang terus-menerus menetes tanpa henti. Ingin rasanya berteriak sangat kencang agar ia mendapatkan rasa kelegaan yang ia inginkan. Dia telah kehilangan dua orang yang amat ia sayangi. Dia gagal menjaga Greysia, dia mengingkari janjinya pada sang adik untuk menjaga gadis itu.

"Maaf-maaf gue gak becus jaga dia. Jacob sekarang lo bisa bertemu lagi sama Grey, lo bisa bareng-bareng dia lagi kaya dulu. Maafin gue, Jacob, maafin gue" pinta Jayco dalam batin.

avataravatar
Next chapter