webnovel

KENANGAN YANG BURUK

September, 2006

"Ibu kamu kemana? Kenapa gak ada di rumah? Kelayapan kemana wanita brengsek itu?!" kata Rian.

Malam itu, saat jarum panjang hampir menyentuh angka 10 yang ada pada jam dinding. Rian baru saja pulang ke rumah setelah dua hari tak menampakkan kaki di rumahnya sendiri setelah bertengkar hebat dengan istrinya.

Greysia kala itu masih berumur 7 tahun, dua bulan yang lalu dia baru saja memasuki sekolah dasar. Dia hanya menggeleng tak tahu, gadis kecil itu sebenarnya takut dengan ayahnya namun berusaha untuk tidak terlihat goyah.

"Geleng-geleng aja! Ibu kamu kemana?! Anak gak becus tahunya nyusahin aja!" bentak Rian membuat Greysia menciut.

Dengan nada yang bergetar, hal sama dengan yang terjadi pada tangannya. Dia berjalan mundur sembari menggeleng. "Aku gak tahu, ayah, mama belum pulang kerja" cicitnya.

Rian mengelak, "Halah bohong! Bilang aja kalau dia main sama laki-laki lain, perempuan jalang kaya ibumu itu gak puas jual diri ke satu orang!"

"Enggak, yah, mama lagi kerja pasti sebentar lagi pulang" bela Greysia.

Pria itu menggeleng kemudian duduk di kursi panjang yang ada di ruang tamu. Menyelonjorkan kakinya ke atas meja sembari merenggangkan ikatan dasi biru bermotif polkadot tersebut.

"Cepat bikinin kopi!" perintahnya.

Greysia mengangguk kemudian berlari menuju dapur yang tak jauh dari ruang tamu. Mulai membuatkan kopi untuk ayahnya meski ia tak tahu persis bagaimana cara meracik minuman tersebut. Dengan akalnya, ia membaca perlahan perintah yang di sajikan dalam bungkus kopi sachet.

Mulai mendidihkan air dan memasukkan bubuk kopi lalu membiarkannya mendidih. Menunggu itu, dia beralih mengambil gelas juga piring kecil dengan hati-hati. Menggeser sebuah kursi meja makan untuk membantunya mengambil gelas tersebut yang terletak pada lemari dinding.

Saat kopi mendidih hendak ia tuang, Grey lupa jika pegangan gagang panci itu panas. Dia memegang besi itu dengan tangan kosong membuat rasa terbakar menjalar pada telapak tangannya yang mulus. Dia memekik kecil sembari meniup-niup telapak tangannya, menyalakan kran air dan membiarkan tangannya basah karena air itu.

Ingin rasanya menangis, namun tak ada waktu untuk hal sia-sia seperti itu. Dia harus membuat kopi untuk ayahnya sebelum pria itu mengamuk karena terlalu lama menunggu. Dengan susah payah menahan perih, Grey berhasil menuangkan kopi pada gelas di bantu kain lap kali ini.

Menyendokkan dua sendok gula lalu mengaduk tanpa mencicipi karena ia tak suka dengan minuman hitam pekat dengan serbuk-serbuk kasar yang mengganggu seperti itu. Berjalan dengan hati-hati agar kopi itu tak tumpah, saat sampai di ruang tamu ia menyajikan minuman tersebut kehadapan sang ayah.

Rian meminum kopinya yang sebelumnya ia tiup terlebih dahulu. Belum juga masuk ke kerongkongan, Rian terlebih dahulu menyemburkan cairan itu keluar. Kemudian melemparkan gelas putih kecil tersebut ke arah Greysia namun berhasil gadis itu hindari.

Gelas beserta kopi yang ia buat sekarang berceceran di mana-mana. Noda coklat pun membekas di dinding yang berwarna putih di belakangnya kini. Bola matanya membelak napasnya tertahan di tenggorokan. Air matanya bahkan berhasil lolos saat amukan ayahnya keluar mengoloki dirinya.

"ANAK GAK GUNA! Cuma bikin kopi aja gak bisa! Berani-beraninya kamu berikan minuman beracun seperti itu tanpa tahu malu?! Mati aja kamu! Mati!" teriak Rian sembari memukuli tubuh mungil anaknya menggunakan sabuk.

Greysia tak berkutik. Tenaganya tak ada apa-apa daripada pria dewasa ini, yang ia lakukan hanyalah menangis sembari melindungi wajahnya dari serangan ayahnya. Tangisannya sangat kuat bahkan membuat wajahnya memerah, rasa sakit yang terus menambah saat benda panjang tersebut menghantam kulitnya menjadi panas.

"Ayah ampun—sakit—ampun-ampun... Maaf ayah..." teriak pilunya.

Seakan ia seorang tuna rungu, Rian tak menggubris teriakan anaknya itu. Bahkan seorang tuna rungu pun tak menggunakan kekerasan pada seorang anak kecil yang terlebih itu adalah putrinya sendiri. Berkali-kali Rian melancarkan aksi keji pada Greysia. Tanpa ampun dan iba sedikitpun.

"BRENGSEK! Gila! Kamu apakan anakku? Pergi jangan sakiti Grey, hentikan! Jangan Pukul Grey!" teriak Erin menerjang suaminya.

Wanita itu bersikeras menghentikan aksi suaminya tersebut. Mendorong kuat tubuh pria itu hingga menjauh dari putrinya. Dia memeluk erat Greysia yang menangis di dekapannya. Orang seperti iblis itu tak puas melakukan hal menyakitkan kepada Greysia.

Dia marah, urat-uratnya nampak pada kulit putihnya. Matanya memerah saking marahnya, dia seorang ibu. Dia tak terima anaknya di perlakukan seperti itu oleh orang lain.

Orang lain? Rian memang pantas mengantongi kata itu.

"GILA!! Tega-teganya kamu melakukan hal itu kepada putrimu sendiri! Setan kamu!" bentak Erin.

"Putriku? Dia bukan anakku! Anak haram seperti dia tidak pantas menjadi anakku! Anak sial seharusnya dia tidak pernah ada di dunia ini! Gara-gara dia aku jadi hidup susah! Gara-gara dia, hidupku hancur! Aku harus menikahi kamu gara-gara kesalahan kamu sendiri!"

"DIA ANAK KAMU! Berhenti bilang dia anak haram!"

"Omong kosong! Wanita murahan seperti kamu bisa saja bermain dengan pria lain, kamu menyeret aku buat nikahin kamu hanya untuk menutupi dosamu sendiri!"

"Apa perlu kita tes DNA agar kamu percaya? Greysia tidak salah apa-apa, kamu yang bodoh tidak mau menerima kenyataan jika dia anak kamu. Suatu saat nanti, kamu akan menyesali apa yang kamu lakukan sekarang!"

Pria itu mengumpat lalu pergi meninggalkan rumah kecil itu dengan emosi yang meluap. Sedangkan, Erin menggendong putrinya masuk ke kamar. Gadis kecil itu meringis sesekali sesegukan karena efek menangis.

"Tidak apa-apa, ada mama di sini tidak usah takut. Ayah tidak akan kesini lagi, tenangkan dirimu. Maaf mama terlambat pulang, andai saja mama cepat-cepat datang kamu tidak akan mengalami hal seperti ini" sesal Erin sembari menitihkan air mata.

Erin menghapus air matanya kemudian beranjak dari kamar putrinya. Beberapa saat setelahnya, wanita tersebut membawa sebuah kotak putih di tangannya. Diletakkannya kotak itu ke sebelah Greysia duduk. Gadis itu hanya menatap apa yang mamanya perbuat saat wanita itu mulai mengeluarkan isi-isi yang terdapat di dalam sana.

"Tahan ya, rasanya sakit tapi kaya di gigit semut" kata Erin.

Ia hendak mengolesi memar pada kulit Greysia namun gadis itu menghindar dan menggeleng. Erin tersenyum tipis kemudian menatap sekeliling entah apa yang dia cari. Tangannya menggapai sebuah boneka kecil yang ada di kasur, menyerahkan ke putrinya.

"Gigit bonekanya biar rasa sakitnya gak terlalu kerasa. Gigit yang kuat oke!" ucapnya dan Greysia menurut.

Saat kapas basah itu menyentuh permukaan luka, rasa perih langsung terasa amat menyakitkan. Seperti yang di perintahkan oleh sang ibu, Greysia menggigit bonekanya kuat menahan sakit sesekali memejamkan kedua matanya.

"Kalau luka yang berdarah gini kamu bisa bersihkan dengan antiseptik. Basahi kapas dengan cairan itu lalu bersihkan pelan-pelan. Saat kamu lagi di luar terus lupa membawanya, kamu bisa pakai air mengalir. Jangan biarkan luka begitu saja, bisa terjadi infeksi apalagi luka terbuka. Jadi harus segera mendapatkan pertolongan pertama" ujar Erin memakaikan hansaplast ke luka putrinya.

Wanita itu mengimbuhi, "Tapi kalau memar cukup kasih salep luka aja biar perihnya ilang" katanya.

Saat dia hendak menggenggam tangan Greysia, gadis itu mengaduh membuat Erin langsung membalik telapak tangan kecil tersebut yang kemudian menampakkan luka melepuh kemerahan. Hal tersebut membuat Erin kaget melihatnya.

"Ini...ini kenapa? Astaga Greysia kenapa kamu tidak bilang ke mama? Ini kapan? Melepuh ini nak" kata Erin penuh ke khawatirkan.

"Sakit?" tanyanya.

Greysia menggeleng, "Lebih sakit yang ini" ucapnya menunjuk luka yang tertutup perban di lengan kirinya.

Sekali lagi, perasaan Erin seakan di hancurkan berkeping-keping. Hal menyulitkan seakan selalu membelenggu anaknya. Di usia belia seperti ini dia harus menerima perlakuan kasar dari orang tuanya. Tidak untuk sekali ini, sudah berkali-kali dan ia tak bisa berbuat apa-apa selama ini.

"Mama jangan nangis" pinta Greysia.

"Maafin papa mu ya nak, maafin mama" ucap Erin.

"Greysia gapapa ma"

Erin mengangguk, "Sebentar ya mama belikan salep dulu di apotek depan. Kamu ke kamar mandi, rendam pakai air selagi mama keluar. Kunci pintunya, jangan biarkan siapapun masuk termasuk ayah. Jangan pernah sekalipun, janji?"

"Janji!"

Erin mengelus puncak kepala putrinya kemudian pergi meninggalkan gadis tersebut di rumah sendiri. Tak apa hanya sebentar pasti tak ada hal buruk akan terjadi lagi. Dia hanya perlu bergegas dan segera pulang ke rumah secepatnya.

Dengan penuh tekat yang telah bulat, ia akan mengajukan perceraian kepada suaminya demi kelangsungan hidup Greysia di masa mendatang. Tak apa jika dia tak memiliki ayah lagi setidaknya itu jaih lebih baik daripada ada namun selalu menyakiti.

Padahal mereka sudah membuat perjanjian untuk tidak menyentuh Greysia apalagi melakukan kekerasan fisik. Ia bahkan rela selama 5 tahun menerima amukan dan pukulan dari suaminya asal tidak menimpa putri kecil kesayangannya. Ternyata usahanya tak berguna, laki-laki bodoh tak punya hati nurani seperti dia tidak akan menepati janjinya.

"Brengsek" umpat Erin malam itu.

Next chapter