webnovel

Rencana Untuk ke Depannya

***

"Joan... Joan bilang padaku kalau dia melihat kamu di daerah Senayan...!"

Aletta termangu sejenak saat mendengarnya. Dia menghela napas panjang, terdengar agak frustrasi dan membuat Gea menatapnya khawatir.

"Di mana dia melihatku?" tanya Aletta berbalik dan kembali menyalakan keran untuk melanjutkan mencuci piring.

"Dia bilang padaku kalau dia melihatmu ke luar dari salah satu kafe yang ada di sana. Dia mau memanggilmu, tapi dia sedikit meragukannya. Jadi, dia bertanya langsung padaku hari ini," jelas Gea lengkap dengan gesture tangannya.

"Lalu, kamu jawab apa?"

"Itu... aku bilang, mungkin dia salah lihat? Ah, Ale... sungguh. Aku tidak tahu mau jawab apa. Aku tidak pernah memikirkan tentang hal ini. Yang aku tahu, kamu tidak ingin seseorang tahu tentang kepulangan mu. Aku... aku jadi ikut merahasiakannya." Gea memegang kepala, sesekali menjambak rambutnya, ikut-ikutan frustrasi.

"Hei, kenapa kamu jadi pusing begitu?" tanya Aletta mencuci tangan, kemudian mematikan keran. Dia menghampiri Gea dan berdiri dihadapannya, kemudian memegang kedua tangan sahabatnya yang hampir menangis itu.

"Maaf, Ale... mungkin Joan akan curiga. Mungkin... mungkin dia akan mencarimu juga. Ale, maafkan aku...." Gea menangis,  tatapannya terlihat tidak fokus dan tangannya yang digenggam Aletta juga gemetar.

"Gea, dengar... tarik napas dalam-dalam," ujar Aletta mengarahkan sembari mencontohkannya. Beruntung Gea mengikutinya. "Ya, bagus, seperti itu. Lalu, hembuskan perlahan, fuhh... lagi, Gea." Sembari menuntun Gea, Aletta juga mengelus punggung tangan Gea.

Setelah melakukannya beberapa kali, tangis itu terhenti, hanya tinggal isak kecil yang masih terdengar. Tatapan Gea pun sudah kembali, tidak menerawang seperti sebelumnya.

"Sudah tenang, hmm?" tanya Aletta sembari tersenyum tipis.

Gea mengangguk kecil. "S--sudah," jawabnya agak tersendat.

Aletta membelai perlahan rambut Gea. Sahabatnya yang telah dikenalnya sejak lama itu memang akan bereaksi seperti tadi kalau sudah kelewat panik dan gugup.

"Hu... Ale, bagaimana ini...?" tanya Gea mencengkram baju Aletta dengan tangan kanannya.

"Sshh... jangan panik, Gea. Pertama-tama, terima kasih karena kamu ikut merahasiakannya. Sejujurnya aku baik-baik saja, dan aku memang sudah memperkirakannya. Tidak mungkin untuk bersembunyi tanpa ditemukan. Seseorang pasti menyadarinya dan aku memang tidak berniat untuk menyembunyikan kehadiranku terlalu lama," ujar Aletta menjelaskan. Selain untuk menenangkan Gea, dia juga memang telah memikirkan hal itu sejak rencananya untuk kembali ke Indonesia.

"Sungguh?" Gea membalas genggaman Aletta.

Gadis yang rambutnya diikat itupun mengangguk sembari tersenyum simpul. "Kenapa kamu yang jadi panik begini, hm?"

"Aku... aku juga tidak tahu." Gea menunduk sembari menggeleng kecil, kemudian mendongak dan menatap Aletta dengan ekspresi memelas. "Padahal aku yang mengajakmu untuk datang ke reuni, tapi kenapa aku yang seperti ini?"

"Nah, kamu punya banyak pikiran akhir-akhir ini, Gea. Mau ku buatkan susu cokelat hangat?" 

"Ale, Gea... kalian kenapa?" tanya Stefani yang menarik atensi keduanya. Wanita itu baru saja sampai di dapur untuk mengisi toples kue kering dan secara kebetulan melihat mereka yang saling menggenggam.

"Ah, Mama... tidak, bukan apa-apa," jawab Aletta tersenyum tipis. "Mama mau mengisi toples, kan? Mau aku yang isikan?" tanya Aletta yang kemudian melepas genggaman tangannya dengan Gea.

"Ya... biar Mama saja," ujarnya agak menggantung dan tetap memperhatikan gerak-gerik keduanya. Dia berjalan membuka kabinet dan mengambil bungkusan kue kering dari sana, kemudian mengisi toples sampai penuh. Sementara Aletta dan Gea hanya mengamati tanpa berbicara sepatah katapun.

Tap

Kabinet tertutup rapat dan Stefani menoleh ke arah mereka.

"Kalau sudah selesai, cepatlah ke ruang keluarga. Kami menunggu kalian di sana," ujar Stefani yang setelahnya berjalan cepat ke luar dari dapur.

Gea sempat menghela napas setelah melihat Stefani ke luar, sementara Aletta hanya menatap kepergiannya.

"Mau ku buatkan susu hangat?" tanya Aletta lagi padanya.

Gea menggeleng. Dia beranjak dari kursi, kemudian mengangkat dan mengembalikannya ke tempat semula.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Aletta berjalan mendekatinya.

Gea mengangguk singkat. Dia tersenyum simpul pada Aletta. "Ayo!"

Dua gadis itu berjalan beriringan ke luar dari dapur.

"Hei, kalau ada masalah, bilang saja padaku. Aku pasti membantumu. Kalau sedang banyak pikiran, coba istirahat, lupakan sejenak, dan tutup matamu," ujar Aletta menyenggol bahu Gea.

"Sulit, Ale. Saat aku memejamkan mata, pikiran-pikiran itu terus masuk dan menggangguku. Aku jadi susah untuk tidur," balasnya sembari menghela napas pelan.

"Hmm, mau coba ke psikiater?"

"Apa ku coba saja, ya? Tapi, aku tidak ingin ketergantungan dengan obat-obatan yang  mereka berikan," ujarnya sembari mengurut kening.

"Psikiater kan tidak hanya memberi obat. Kamu bisa menceritakan keluh kesah mu ke mereka dan menemukan solusi yang tepat," jawab Aletta serius.

Gea menoleh padanya. "Aku punya kamu untuk berkeluh kesah. Kenapa aku harus pergi ke psikiater?"

"Ya karena aku bukan psikiater dan sudah jelas kalau psikiater lebih profesional daripada aku."

"Akan kupikirkan nanti," ucap Gea sembari mengibaskan tangan, seperti tidak ingin membicarakannya lagi.

"Kalau kamu ingin pergi, hubungi aku. Aku akan menemanimu. Oh, atau kamu ingin ke gereja saja Minggu ini? Siapa tahu kamu akan lebih tenang setelah mendengar lagu rohani?" tawar Aletta dengan ekspresi yang meyakinkan.

"Hah." Gea terperangah sejenak, sebelum akhirnya terkekeh kecil. Dia menoleh lagi pada Aletta dan mengangguk. "Baiklah. Sudah lama juga aku tidak datang ke gereja."

"Heh, sudah berapa lama kamu tidak datang?"

"Hmm, sepertinya terakhir kali saat natal tahun kemarin."

"Astaga...!" Aletta menghitung bulan dengan jari-jarinya. "Hampir lima bulan, Gea Agustin! Kamu ini...! Akhir pekan kita datang ke gereja! Aku yang akan menjemputmu!"

"Menjemput dengan apa? Taxi?"

"Huh, memangnya kamu tidak lihat mobil yang ada di halaman? Papa baru membelinya," ujar Aletta seraya mengibaskan rambut, membuat Gea  tertawa terbahak-bahak karena tingkahnya yang menurut Gea, lucu dan menggemaskan.

***

Aletta meletakkan kepala di atas meja setelah selesai menerjemahkan salah satu artikel berbahasa Jepang dan mengirimnya ke tim editorial.

Matanya terasa sangat berat selepas makan siang tadi, ditambah pukul dua siang adalah waktu-waktu merah untuk orang yang bekerja.

Ting

Ponselnya berbunyi, membuat mata yang hampir terpejam itu kembali terbuka. Dia meraih ponsel yang tak jauh darinya.

Tissa: Ale, mau kopi?

Aletta langsung melebarkan mata dan duduk tegak. Dia segera membalas pesan dari Tissa.

Aletta: Mau. Kamu mau membelinya?

Tissa: Tidak. Ada kopi gratis di ruang istirahat. Kalau kamu mau, aku akan membawakannya untukmu.

Aletta: Aku ikut! Aku sudah selesai.

"Wah!" Aletta mengusap wajahnya gusar, kemudian berdiri dan berjalan cepat ke luar dari ruangan.

"Tis," panggil Aletta yang menuju ke mejanya lebih dahulu.

"Ya? Tunggu sebentar, Le." Gadis itu tengah mengirim beberapa dokumen ke Sisi lewat email. Setelah memastikan dokumen-dokumen itu terkirim, dia pun berdiri dan merapikan pakaiannya. "Ayo!" ajaknya.

"Kalian mau ke mana?" tanya Jojo begitu mereka berdua melewati mejanya.

"Mau buat kopi," jawab Tissa menghentikan langkah dan menatap Jojo. "Kamu mau?"

"Ah, tidak deh. Ku kira kalian mau ke kafe. Aku mau menitip kopi kalau kalian pergi ke sana," ujar Jojo menyandarkan tubuh pada kursi.

"Kan sama-sama kopi, Jo?" gerutu Tissa padanya.

"Beda cita rasanya," jawab Jojo sambil geleng-geleng.

Tissa menghela napas sejenak. "Ya sudah," jawabnya singkat, kemudian mengajak Aletta dan berlalu dari sana.

Mereka berjalan menuju ruang paling ujung yang ada di lantai tiga. Di mana ada sebuah ruang istirahat yang memiliki dapur kecil dan empat buah kursi dengan satu jendela besar yang menyediakan pemandangan hiruk-pikuk Jakarta Pusat.

"Kamu mau kopi hitam atau kopi susu?" tanya Tissa membuka laci kecil yang ada di sana. Tangannya yang lain menenteng dua gelas keramik berwarna putih yang diambilnya dari rak kecil di pojok ruangan.

"Kopi hitam, Tis." Aletta menjawab sembari duduk di kursi kosong yang ada di sana. Dia memandang ke luar jendela.

"Pakai gula tidak?" tanya Tissa yang sudah bersiap memegang toples gula yang isinya tinggal setengah.

"Tidak, tidak usah," ujar Aletta berganti memerhatikan gerak-gerik Tissa.

"Serius? Tidak mau pakai gula? Nanti pahit, loh."

Aletta mengangguk singkat. "Aku sangat mengantuk. Biarkan saja pahit, agar mataku tidak berat lagi," jawabnya sembari menggeleng-geleng kecil.

"Yah, memang jam-jamnya mengantuk, sih." Tissa membawa dua gelas yang masih mengepul itu dan diletakkan di atas meja.

"Terima kasih, Tis." Aletta tersenyum seraya mengambil gelas yang masih mengepul itu.

"Masih panas, Le!" cegah Tissa begitu melihatnya mengangkat gelas.

"Oh iya," sahut Aletta terkekeh kecil sembari meletakkan gelas itu di meja. "Omong-omong, kamu jadi mengerjakan projek yang baru bekerja sama dengan kita itu?"

"Oh, itu... jadi." Tissa mengangguk kecil. "Memang sudah kuduga, akhirnya Mbak Sisi memasukkan namaku dalam projek itu."

"Kamu akan sibuk sepanjang bulan ini," sahut Aletta mengangguk-angguk sembari mengibaskan tangan di atas gelas guna mengusir asap yang mengepul itu.

"Pasti. Kalau tim kami benar-benar kekurangan orang, aku akan memintamu untuk bergabung. Kamu mau? Eh, kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa, sih. Aku bisa minta Mbak Sisi untuk menambahkan Adnan sebagai gantinya. Tapi, daripada Adnan yang agak kaku, aku sih lebih baik kamu." Tissa memegang gelasnya, kemudian mengangkat dan mulai menyeruput kopi susu yang dibuatnya. Begitupun dengan Aletta.

"Memangnya tidak apa-apa? Itu kan projek yang cukup besar dan pemiliknya juga perfeksionis," ujar Aletta setelah merasakan sensasi panas dan pahit yang menyapa lidahnya.

"Kalau kamu mau dan kami juga kekurangan orang untuk mengerjakan projek ini, aku bisa memintanya pada Mbak Sisi. Dia pasti mengizinkan kalau kamu yang turun tangan," ujar Tissa menjelaskan. "Lagipula kamu orang yang cukup profesional dalam bidang ini. Kamu mau? Belum terlambat untuk mengajukan namamu dalam projek ini," tambahnya.

"Memangnya kalian benar-benar kekurangan orang?" tanya Aletta lagi.

"Yah, belum tahu." Tissa mengedikkan bahu seraya memegang gelas dengan kedua tangannya. "Kami baru mau memulainya. Itu juga belum mengatur jadwal. Bayangkan saja...! tim kami hanya tiga orang. Aku translator sendirian, Mbak Ester dan Maya dari tim editorial. Aku sih merasa kekurangan untuk seukuran projek yang cukup besar, walaupun ada tim percetakan juga."

"Sampai Mbak Ester juga turun tangan?"

Tissa mengangguk. Dia meletakkan gelas yang isinya tinggal sedikit di atas meja. "Tadinya mau Mas Tian saja, tapi sebentar lagi dia mau menikah. Terlalu ribet untuk melibatkannya dalam projek ini. Padahal aku sudah pernah bekerja sama dengan Mas Tian dan orangnya sangat asik."

"Iya sih, sudah terlihat...." Aletta kembali menyeruput kopi yang pahit itu sembari mencuri-curi pandang ke luar jendela.

"Jadi, kamu mau bergabung atau tidak?"

Aletta kembali menoleh pada Tissa, lalu mengangguk kecil.

"Aku akan coba mengajukannya pada Mbak Sisi."

"Yassh!" Tissa tersenyum riang sembari mengepalkan tangan, meninju udara dengan gembira.

"Tapi, jangan banyak berharap. Kuharap kamu juga ingat kalau aku masih orang baru di sini," tambahnya sembari tersenyum simpul.

———