webnovel

Masa Mudaku Kisah Cintaku

Aku jatuh cinta. Cinta terlarang dengan teman sekelas. Seseorang dengan semua perbedaan yang banyak dan sulit. Bisakah aku mempertahankan cinta ini? Tidak banyak angsa pelangi di kelas buaya karena ada satu dua rubah betina dari planet lain yang suka merundung junior mereka. Bukankah itu hal biasa dalam sekolah? Atau masalah utamanya ada pada Anggi sendiri? Bagaimana rasanya setiap tahun berpindah sekolah? Itu adalah yang selalu dirasakan Anggi, ngenes kata orang. Lalu, ketika kamu sudah merasa telah menemukan kehidupan baru dan memiliki beberapa teman yang mengerti dan nyaman akan hal itu. Tiba-tiba kamu harus pindah sekolah lagi? - cover is mine

Ningsih_Nh · Urban
Not enough ratings
314 Chs

MKC 30 Jalan Terbuka

Dengan berbekal balon pelampung kuning besar gue rebahan diatasnya, dimana ombak mirip gelombang laut membuai gue yang asyik memandang langit biru dengan mata sedikit terpejam. Inilah surga kecil gue.

Damai.

Sendiri.

Dan, menikmati.

Sejenak, gue bisa mengistirahatkan isi kepala yang diliputi cemas. Cemas jika tahun depan gue pindah sekolah padahal ada Ana yang jadi sahabat. Cemas sampai kapan gue harus menitipkan sepeda di rumah Budi demi menghindari aksi perundungan yang pelakunya saja sulit dilacak.

Terutama cemas dengan nilai-nilai gue padahal sudah kerja keras belajar rajin. Masih kalah dengan Jono, si bule kambing itu. Dan kenapa harus ada dia dengan otak seperti buku paket berada di kelas gue?

Semua keluh kesah gue hanya bisa dipanjatkan kepada Tuhan. Gue tidak mau dicap anak yang lebay saat ada masalah, bukan cara itu juga yang tidak secara langsung diajarkan orang tua. Gue harus belajar mandiri. Harus bisa.

"Ternyata disini, lo gue cari dari tadi Nggi." seru Ana disebelah gue.

"Gue juga lelah cari lo dari tadi." desah gue, kesal waktu Anggi bersantai diinterupsi.

"Hahahaahaaa...tadi gue sibuk kerjain Stefie. Lucu sumpah itu anak." kekeh Ana.

Detik berikutnya Ana menceritakan bagaimana dia membawa Stefie ke waterboom dan memaksanya ada di depan. Bermain di kolam arus dimana Stefie jerit-jerit tidak jelas kenapa. Yang terakhir di ember tumpah Ana menghilang untuk kabur kolam ombak dan ketemu gue.

"Kasihan loh Stefie." decak gue setengah percaya. Kalau Ana sudah dalam keadaan jahil mode on maka jadilah Ana the devil. 

"Lagian...gara-gara lo sih Nggih. Kenapa juga asal duduk ditempat Jono dan gue. Lo tahu nggak rasanya telinga gue hampir meletup gegara ocehan Stefie di bus?"

"Soal itu maaf banget ya Ann. Gue bener nggak sengaja. Kemarin itu gue sudah ngantuk bin capek pake banget." jelas gue yang direspon hanya dengan anggukan kecil Ana.

"Nanti pulangnya bareng gue ajah kalo gitu." usul Ana dengan nada prihatin.

"Oke deh."

Tetapi tidak ada kata nanti. Saat perjalanan pulang, bus baru berjalan dua puluh menit gue muntah. Sontak membuat Ana kaget dan pergi duduk dengan Stefie kembali. Jono, yang menyorotkan mata iba terpaksa duduk disebelah gue.

"Lo kebanyakan minum air kolam ya?" telisik Jono yang tengah memijat pundak gue dengan minyak angin.

"Ana tuh. Iseng banget nendang gue sampai tenggelam." bela gue yang ternya jadi korban kejahilan Ana berikutnya.

"Makanya jangan jauh-jauh dari gue, biar bisa kawal. Enggak percaya sih. Gue lagi kan yang repot." omel Jono masih terus memijat pundak. Mengolesi dua pelipis gue dengan minyak, memakaikan jaket punya dia dan memasangkan headphone di kepala gue.

"Iya maaf deh." ucap gue tidak tahu lagi harus bilang apa. Jono sudah baik banget.

"Udah sekarang tidur." kata dia lagi sambil menyodorkan antimo anak rasa stroberi yang langsung gue minum.

Tidak lama kemudian gue sudah lelap.

Karyawisata kemarin hanyalah sebuah relaksasi sebelum bertempur, Penilaian Akhir Semester.

Setelah siang malam belajar hingga mengorbankan latihan badminton, akhirnya selesai juga gue menghadapi serangkaian ujian. Walau masih ada sisa kesal, jengkel karena ada jawaban yang gue yakin salah.

"Udah Nggi. Manyun terus kaya kodok." delik Budi yang tanpa permisi menampakkan wajahnya dihadapan gue.

"Lo nggak tau kan, rasanya udah kerja keras tapi masih tidak sesuai apa yang diharap?" oceh gue setengah curhat.

"Get easy ajah."

"Terus sejak kapan lo pake bahasa Inggris sebagai bahasa kedua? Biasa juga ngapak-ngapak." selidik gue curiga.

"Lo sibuk belajar terus sih. Gue kan sekarang udah jadi bro-nya Jono. Dia itu langganan tetap belut-belut hasil pancingan gue." bisik Budi dramatis.

"Cih...ujungnya duit juga."

"Duit juga penting buat menopang hidup, kali..." bela Budi tidak terima.

"Iya gue juga tau. Semua orang tau kok. Nggak usah senewen gitu juga, pake monyong bibir nggak ada seksi-seksinya juga." ledek gue. Sumpah, bibir Budi yang lagi monyong begini seperti...mengingatkan gue akan suatu hal yang tidak pantas gue sebut. Takut menghina dan rasis.

"Liburan kemana?" alih Budi tidak terima dirinya gue bully.

"Pulang kampung. Kalo jadi." jawab gue.

"Emang lo punya kampung? Hahahahaha..." tawa Budi berlalu pergi.

Dasar itu anak. Mentang-mentang tahu cerita gue yang tiap tahun pindah sekolah, dia kata gue enggak punya kampung halaman gitu?

Sakit hati gue.

Rasa terkejut tergambar jelas saat mendapati ayah dan ibu sudah di rumah siang-siang. Apalagi melihat mereka mengemas baju, satu kedalam ransel ayah dan satunya kedalam koper kecil milik ibu.

"Bu...mau kemana?" tanya gue tercekat. Takut kalau inilah akhir gue di Prembun.

"Anggi...ibu dapat kabar kalau adik kakek meninggal dunia. Ini mau ke Bandung tapi Anggi tidak bisa ikut nggak apa-apa ya?" terang ibu lembut.

"Kok?" gue binggung.

"Tadi ayah sudah telepon ibunya Ana. Minta tolong, nitip kamu disana nggak apa kan? Cuma tiga hari kok. Nanti kalau libur sekolah kita pulang bareng ya." sela ayah.

"Ya...nggak apa. Cuman kok mendadak banget."

"Namanya juga meninggal dunia Nggi. Mana ada orang yang tahu." ucap ibu masih sibuk mengemas.

Digantikan sunyi menyelimuti rumah, berjalan seiring perginya ayah dan ibu. Gue duduk sendiri di kamar. Tidak melakukan apa-apa, hanya diam saja. Jika nantinya Ana tidak kunjung datang menjeput pun gue akan tetap di rumah.

Sendirian.

Kakek Danu, adik kandung satu-satunya kakek Danar, ayah dari ibu gue. Kini telah meninggal dunia. Seingat gue, kakek Danu adalah orang yang menganut pola hidup sehat, rajin olahraga ke sawah atau sekedar menengok ladang singkong serta jarang memakan daging kecuali ayam kampung peliharaan sendiri. Kenapa?

Bahkan, saat sudah di rumah Ana tanpa gue sadari gue tetap diam. Duduk di pojokan sofa. Gue merasa sangat kehilangan. Orang yang sejak kecil memanjakan gue sudah tidak ada. Kakek Danu lah yang selalu mengajak gue ke ladang mencari belalang, atau ke parit kecil samping sawah mencari cupang, kadang juga ke pasar ahad pagi sepulang dari pengajian subuh.

Sampai akhirnya ayah membawa gue kemana pun ia bertugas. Menjadikan gue anak hilang, tidak punya orang yang memanjakan gue, tidak ada lagi keseruan mencari belalang atau cupang warna warni yang kemudian mati mengenaskan setelah tiga hari karena gue obok-obok airnya.

"Lo nangis?" suara Ana dari seberang meja membuat gue mendongak.

"Biarin hari ini gue berkabung." ucap gue, reflek tangan kanan gue mengelap dua mata yang basah. Air mata rindu sekaligus kehilangan. Dan gue tidak boleh ikut ke Bandung untuk sekedar menaburkan bunga di makam. Gue tidak dianggap keluarga!

"Turut berduka cita ya Nggi. Gue ke tempat Edi kalo nanti lo cariin." ujar Ana lalu pergi. Melewati pintu samping dan hilang dibalik tembok tinggi rumah besar Jono.

-TBC-

cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705

Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?

Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.

Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/