webnovel

Saran dari Negeri Seberang

Editor: Atlas Studios

Manajer SDM kembali dengan komentar para pimpinan perusahaan, dan Lin Qian terkejut dengan apa yang mereka katakan.

Ya, terkejut dan sedikit terharu. Kata-katanya tulus dan menyenangkan: "Nona Lin, karena kami, Aida, telah menawarkan posisi ini kepada anda, kami tidak akan mengingkari komitmen kami karena kesulitan sesaat pada operasi perusahaan saat ini. Jika anda memutuskan untuk tetap bekerja disini, skala pembayaran anda tidak akan berubah. Untuk posisi anda, hal itu akan ditentukan ketika Presiden Direktur yang baru sudah menduduki jabatannya. Jika anda memutuskan untuk meninggalkan posisi ini, kami berharap semoga anda sukses dalam menemukan pekerjaan baru di masa yang akan datang."

Sembari menunggu manajer SDM, Lin Qian menelusuri Google untuk mencari semua berita yang berkaitan dengan Grup Aida melalui telepon genggamnya. Dia berpikir mengenai itu, dan menjawab dengan tulus, "Terima kasih. Saya akan memikirkan hal ini dan memberikan jawaban kepada anda esok hari."

Ketika Lin Qian meninggalkan Grup Aida, hari belum beranjak siang, hampir jam 12 siang. Dia berjalan pulang perlahan. Kemudian memesan dua porsi makanan di restoran kecil di dekat jalan masuk menuju gedung apartemennya dan menyantap makanan itu dengan kurang bersemangat. Dia kemudian naik ke apartemennya. Setelah membuka jendela dan menyalakan musik, dia berjalan keluar ke balkon dan menelepon Lin Mochen.

Ketika itu hari hampir senja di Amerika Serikat. Suara dalam Lin Mochen seperti membawa kesan bermalas-malasan dan congkak khas daerah Manhattan. "Telepon darimu lebih lambat dari perkiraanku."

Dia tiba-tiba merasa frustrasi. "Tentu saja kau sudah mengetahui tentang hal itu."

Seluruh dunia telah mengetahui dilema yang sedang dihadapi Aida. Bagaimana mungkin lelaki ini, kakaknya, yang bekerja khususnya di bidang investasi keuangan di Wall Street, belum mengetahui hal itu?

Menggunakan setelan jas berwarna abu-abu seperti bijih besi, Lin Mochen berdiri di hadapan jendela besar yang menjulang dari lantai ke langit-langit di lantai teratas sebuah gedung pencakar langit.

Melalui kaca jendela terlihat taburan cahaya yang berkilau menyelimuti seluruh kota dan Sungai Hudson yang berkelok melewati gedung-gedung pencakar langit.

Dia tertawa kecil dan bertanya, "Apa rencanamu?"

"Aku tetap tidak akan bekerja untukmu." Lin Qian terdengar jengkel.

Lin Mochen mengerutkan keningnya tapi kemudian berkata dengan nada datar, "Sungguh? lalu kau akan bekerja dimana?"

Lin Qian menjawabnya, "Aku berpikir mungkin sebaiknya aku tetap di Aida."

Sebenarnya, terlepas dari keadaan buruk yang menimpa Aida, "Seekor unta yang kurus tetap lebih besar daripada seekor kuda,"1. seperti dikatakan pepatah kuno masih ada kemungkinan mereka dapat bangkit kembali dan meraih kesuksesan seperti sebelumnya. Lagipula, mereka telah membuat dirinya terkesan melalui interaksi singkat dengannya hari ini.

"Aku merasa tidak enak untuk meninggalkannya," ujarnya.

Sambil memandang cahaya bintang diatas gedung-gedung pencakar langit, Lin Mochen mengetuk permukaan meja di sampingnya dengan jari-jarinya. "Lin Qian," katanya, "Perasaan adalah hal yang paling tidak berguna. Sebagai adikku, kau seharusnya berpikir lebih masuk akal dan objektif." Sikapnya pun menjadi dingin dan sedikit otoriter.

Hal itu tidak mengganggu Lin Qian. Sebaliknya, dia menuruti kakaknya dan berkata dengan lembut, "Baiklah kak, kalau begitu dapatkah kamu menolongku dengan memberikan analisis yang lebih objektif? Apakah bermanfaat untuk tetap bekerja di Aida?"

Lin Mochen terdiam beberapa saat, yang membuat Lin Qian sedikit gugup.

"Kau bisa mencobanya," dia menjawab dengan mantap.

Lin Qian meledak dalam tawa. Dia tidak bertanya apa alasannya karena istilah yang digunakan kakaknya, seperti nilai harta bersih, tingkat suku bunga, dan sebagainya, akan membuatnya pening.

"Terima kasih, kak!"

Diujung lain sambungan telepon itu, bibir Lin Mochen pun menyingkap senyum kecil. "Xu Yong, presiden komisaris Aida, bertambah tua dan lemah," katanya dengan datar. "Dia tidak lagi bertanggung jawab atas kegiatan operasi harian. Anak lelaki tertuanya, Xu Yiyang, meninggal karena kecelakaan mobil tiga tahun yang lalu. Berdasarkan karakter Xu Yong, Aku bertaruh dia tidak akan memilih seseorang diluar keluarganya. Jadi, hanya ada tiga kandidat. Pertama, Gu Yanzhi. Kedua, Xu Chengyan, anak haramnya, yang masih menempuh pendidikan di Amerika Serikat. Dan yang ketiga, anak dari Xu Yong dan mantan istrinya, rinciannya masih belum dipastikan. "Aku akan memeriksanya."

Menutup teleponnya, Lin Qian membenamkan kepalanya ke dalam tangannya dan memandang ke kejauhan.

Setelah beberapa saat, sesuatu menarik perhatiannya.

Ada sebuah truk berwarna hijau tentara. Truk itu melaju melewati perkotaan disepanjang jalan raya dan berhenti diluar gerbang Grup Aida.

Para prajurit yang mengenakan seragam khas saat penyamaran melompat turun dari truk, setiap orang membawa tas punggung. Truk itu kemudian pergi, meninggalkan mereka berdiri disana. Dalam sekejap, seseorang keluar dari Aida dan membawa mereka masuk.

Prajurit yang dipulangkan? Ya, bertemu dengan para prajurit itu adalah satu-satunya hal baik yang telah kulakukan beberapa hari terakhir ini. Apakah mereka datang bekerja untuk Aida?

Itulah saat ketika dia memutuskan untuk tetap bekerja di Aida.

Keesokan paginya, setelah peerkenalan, Lin Qian dibawa untuk menemui Gu Yanzhi sang legendaris.

Seluruh bangunan diliputi suasana depresi yang tidak dapat dijelaskan, jadi merupakan hal yang menyejukkan bagi Lin Qian untuk berjalan memasuki ruangan kantor dari sebuah tempat yang mirip seperti pengadilan ini, kantor itu bergaya modern dan luas.

Gu Yanzhi duduk di belakang meja eksekutifnya dan memandang Lin Qian, pegawai barunya.

Sebagai seorang kandidat untuk asisten Li Zhicheng, wanita itu seharusnya tidak diwawancarai olehnya. Tetapi Li Zhicheng tergesa-gesa pergi ke panti jompo untuk menemui ayahnya dan bermalam disana, menyerahkan urusan wawancara kepada Gu Yanzhi. Sang atasan secara diam-diam telah memerintahkan dirinya untuk menjaga sebuah rahasia. Rahasia itu, tentu saja, mengacu pada identitas dan kedatangannya.

Gu Yanzhi pun bertanya, "Tapi mengapa?" Sejak Li Zhicheng mengambil alih Grup, dia akan harus berjumpa dengan semua pegawai cepat atau lambat. Apakah akan membuat perbedaan kapan dia akan mengungkap identitasnya?

"Aku perlu mengetahui situasinya terlebih dahulu." Li Zhicheng berdiri di samping jendela, dengan kedua tangannya di dalam saku celananya dan melanjutkan dengan datar, "dengan cara tersembunyi."

Tercengang beberapa detik, Gu Yanzhi tiba-tiba mengerti.

Dia telah berbicara tanpa emosi, tetapi sebenarnya...

Dia memperlakukan itu seperti sebuah pertempuran dan merencanakan untuk mengadakan observasi strategis yang bersifat rahasia terhadap musuh-musuhnya sebelum mengungkap identitasnya.

Gu Yanzhi tidak dapat menahan untuk tidak tersenyum mengingat percakapan ini. Dia memandang Lin Qian, yang berdiri di hadapannya, dan berkata dengan tenang, "Kau pasti memahami situasi yang sedang dihadapi perusahaan kami. Semakin sulit situasi ini, kami semakin membutuhkan pikiran seseorang yang berbakat untuk membantu kami. Jika kau cukup terampil, tentunya kau akan ditempatkan di posisi penting. Tetapi jika kau hanya seorang yang biasa saja, kami tidak akan mempertahankanmu sebagai beban. Semuanya tergantung dari kinerjamu."

Itu sikap yang telah diduga, perpaduan antara keadilan dan belas kasih, Lin Qian pun mengangguk dengan tenang dan berkata "Saya akan melakukan yang terbaik." Melihat senyuman di wajahnya, dia berpikir, lelaki itu tidak sejahat dan sesulit seperti yang diisukan tentangnya.

Gu Yanzhi sedang tidak bersemangat untuk berbicara banyak, karena itu setelah pembicaraan yang singkat dia membuat keputusan. Wanita itu akan bekerja di bagian Staf Kantor Kepresidenan terlebih dahulu, mengurus pekerjaan harian departemen itu.

Begitu saja, karir Lin Qian di Aida dimulai tanpa perkenalan formal yang memadai, dan dia segera menyadari bahwa pekerjaan semua orang membuat stres dan kacau balau.

Staf Kantor Kepresidenan terdengar menarik, tetapi hanya ada tiga orang seluruhnya, termasuk Lin Qian. Dua orang yang lain adalah pegawai yang baru tamat dari universitas. Manajer SDM menjelaskan, "Departemen ini sebelumnya tidak ada sampai mantan Presiden Direktur datang dan membentuknya. Ada sekitar enam belas atau tujuh belas orang di masa jayanya, namun mereka semua akhirnya pergi, satu per satu."

Lin Qian menerima hal-hal yang diserahkan kepadanya. Seperti telah disarankan oleh sekretaris Gu Yanzhi, dia mencari dan mengumpulkan informasi dan berita-berita mengenai industri ini setiap pagi, serta menyusun sebuah laporan untuk para pemimpin perusahaan sebagai referensi mereka. Sebuah salinan dari rancangan pekerjaan mingguan dan ringkasan-ringkasan dari setiap departemen di dalam perusahaan dikirim kepadanya, dimana dia akan membuat sebuah laporan yang independen dari ringkasan itu.

Singkatnya, dia harus terus menulis laporan demi laporan tanpa henti.

Pekerjaan itu menjemukan dan membosankan, sangat jauh dari operasi bisnis yang sesungguhnya. Lin Qian tidak menyukainya. Namun kemudian dia berpikir bahwa dia baru di perusahaan itu dan karena dia datang langsung dari pesaing perusahaan, tentunya akan aneh apabila mereka menempatkannya di departemen yang penting dan menduduki posisi penting sejak awal. Memikirkan ini membuatnya merasa lega dan dia memusatkan perhatiannya hanya pada laporan-laporan itu. Setelah beberapa hari, dia sudah mengenal informasi dasar Aida.

Namun dia tidak yakin jika Gu Yanzhi bahkan membaca laporan-laporannya karena dia mengirimkan semuanya kepada sekretarisnya. Gu kemudian menyuruh sekretarisnya untuk meminta kepada Lin Qian secara rahasia mengirimkan salinan laporan itu lewat email ke alamat yang sudah ditentukan setiap kali dia menyerahkan laporan dalam bentuk cetak. Lin Qian melihat alamat email yang diberikan kepadanya: "Apache2013@126.vip.vom."

Apakah "Apache" adalah nama barat dari Gu Yanzhi? Itu tidak terlihat seperti nama seseorang. Mungkin itu adalah sebuah kata atau inisial. Didesak rasa penasaran, Lin Qian mencoba mencari tahu, namun tidak membuahkan hasil.

Di akhir pekan, Lin Qian bangun pagi-pagi dan menaiki bus ke panti jompo yang berada di sisi lain kota itu.

Dibangun sesudah tahun 2010, Panti jompo Luyuan adalah panti terbaik dan ternyaman di kota itu dalam hal fasilitas dan ruang. Dipandu oleh seorang pengasuh pribadi, Lin Qian berjalan menyusuri tanggul sungai yang diselimuti dedaunan dengan satu kantung buah segar di tangannya, dan melihat He Qingling duduk sendirian di bawah sebuah pohon besar.

Dia berjalan menanjak dengan langkah ringan. "Bu..."

Di usia lima puluhan, keriput menghiasi wajah He Qingling yang kurus. Dia melihat Lin Qian dengan teduh. "Wah, kau sudah kembali."

Ibu dan anak itu berbicara sejenak. Lin Qian yang berbicara sedangkan He Qingling mendengarkan. Tidak lama setelah itu, He Qingling mengatakan dirinya lelah dan butuh beristirahat.

"Aku tahu kau sibuk dengan pekerjaanmu, jadi aku tidak akan menahanmu," katanya.

Duduk di sebuah kursi roda, dia didorong pergi oleh pengasuh pribadinya. Lin Qian berdiri diam sejenak dan mengeluarkan telepon genggamnya untuk menghubungi Lin Mochen.

"Aku berada di panti jompo. Ibu terlihat baik." Dia terdiam sesaat. "Apakah kau mau berbicara dengannya?"

Ketika itu hari tampaknya sudah larut malam di tempat Lin Mochen. Dia tidak dapat mendengar apapun selain napas kakaknya yang tenang.

"Lin Qian," katanya, "Aku tidak perlu tahu bagaimana keadaan wanita itu."

Lin Qian tidak menjawab.

Sejak tahun dimana He Qingling bersikeras untuk menceraikan suaminya, dan masing-masing orang tua mulai membesarkan seorang anak, Lin Mochen menolak memanggilnya "Ibu."

Petang itu, Lin Qian berkeliling di kota kecil di dekat panti jompo itu dan mengunjungi teman sekolahnya yang tinggal di dekat daerah itu. Ketika dia meninggalkan rumah temannya, jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat.

Dia menolak tawaran teman sekolahnya untuk mengantarkannya. Dia juga tidak mau memanggil taksi. Sebaliknya, dia berjalan sendirian ke stasiun bus. Suasana malam di sekitar area pinggiran kota gelap dan tenang. Peron itu kosong hanya diterangi dengan lampu jalan yang bersinar redup.

Tidak lama, bus terakhir datang.

Lin Qian duduk di bangku sebelah jendela di bagian belakang bus.

Itu adalah stasiun keberangkatan. Kemungkinan karena waktu keberangkatan belum tiba, supir bus berbicara kepadanya dengan suara keras. "Nona, tunggu sebentar. Kita akan berangkat lima menit lagi." Dia kemudian tidur sejenak diatas kemudi.

Lin Qian menutup mantelnya dan memandang keluar jendela ke langit yang gelap, pikirannya menjadi tenang.

Ketika itu, dia mendengar langkah kaki di luar sedang berjalan menuju ke arah bus. Seorang pria yang tinggi masuk.

Lin Qian melihat sekilas kepadanya dan berbalik melihat keluar jendela.

Beberapa detik kemudian, dia tiba-tiba berbalik ke arah pria itu lagi.

Dibawah cahaya redup di dalam bus, pria itu mengenakan jaket tahan angin berwarna abu-abu gelap, celana olahraga hitam, dan sepatu untuk aktivitas diluar ruangan. Pada sekilas pandangan pertama, Lin Qian mengenali bahwa pakaian itu adalah produk utama dari merk papan atas. Dia juga mengenakan topi, yang tepinya diturunkan sangat rendah sehingga hanya hidung mancung dan dagu runcingnya yang terlihat. Bahkan tanpa melihat seluruh wajahnya, kau bisa mengatakan bahwa dia tampan dan serasi.

Lin Qian merasa gelisah.

Perasaan deja vu2 melintasi benaknya. Sosok pria itu dan tingginya persis seperti lelaki yang ditemuinya di masa lalu, dan pria ini memiliki sensasi yang kuat dan unik tentang ---- bagaimana menjelaskannya? Keperksaan, tantangan, dan kesendirian. Walaupun dia tidak melakukan apa-apa, sangat tidak mungkin bagi seseorang untuk menyangkal keberadaannya.

Pria itu berjalan kearahnya dengan kaki panjangnya. Lin Qian segera berpaling dan melihat ke jendela.

Langkah pria itu tegap namun lincah, melewatinya dengan cepat. Dari bayangan samar di kaca jendela, Lin Qian melihat dia duduk di baris terakhir.

Bus itu pun berangkat.

Malam itu sedingin es dengan dihiasi sinar bulan yang terang benderang dan bintang-bintang yang bertaburan di langit. Bus itu berderik-derik di sepanjang jalan yang sepi.

Duduk selama beberapa saat, Lin Qian tidak dapat menahan rasa penasarannya. Dia langsung membalikkan badan dan memandang ke arah pria itu.

Nah.....

Dia lagi-lagi sedang tertidur.

Pria itu langsung memposisikan tubuh tingginya di kursi. Satu tangannya disandarkan di bagian belakang bangku depannya, dimana dia membenamkan wajahnya, dan tangan satunya tergeletak santai di atas pangkuannya. Topi di kepalanya menutupi seluruh wajahnya. Tidak jauh darinya, Lin Qian dapat mendengar napasnya yang teratur.

Hai, Kucing buas.

Lin Qian menahan tawanya.

Dia mencondongkan tubuhnya kedepan dan menundukkan kepalanya, mencoba mengintip wajah pria itu dari bawah untuk melihat apakah itu pria yang sama. Tetapi cahaya di dalam bus saat itu redup dan berbayang sehingga dia hanya bisa melihat sosok itu dengan samar.

"Apa yang sedang kau lihat?" Suara yang jernih dan dalam memecah kesunyian.

Terperanjat, Lin Qian segera menegakkan badannya dan tersipu. Pria itu mengangkat wajahnya perlahan dari tangannya, dan menatap lembut ke arah Lin Qian dengan mata hitamnya yang bersinar.