webnovel

3| Kode 224 : Nona Lilin Lebah

"Wanita yang menjajakan seks itu mangkal di lantai dasar Bioskop Lone."

Sialnya kalimat mengerikan seperti itu lah yang pertama kali masuk ke dalam kepala Lova tatkala memutuskan untuk duduk di sudut ruangan. Ini jauh dugaan Lova. Bukan kantor kecil atau semacamnya. Hanya mirip rumah kos-kosan yang tersembunyi di balik layar sebuah gedung bioskop tua yang sepi pelanggan. Semua lebih memilih bekerja, di jam begini. Mungkin akhir pekan, akan sedikit ramai.

"Minum," katanya. Tiba-tiba saja seseorang meletakkan segelas teh celup dengan aroma melati yang khas.

Lova diam. Memandangnya. Masih asing dengan suasana yang ada di sini. Dia seperti dikurung di dalam sebuah ruangan kecil. Hanya ada tembok putih, satu pintu masuk utama yang tertutup rapat. Jendela dengan kaca yang kotor, ditutup separuhnya menggunakan tirai berwarna emas, senada dengan tirai yang ada di sana. Penutup pintu, jalur menuju ke dapur barang kali.

"Ah, sorry!" Dia meminta maaf tatkala menyadari bahwa secarik kertas dengan tulisan tak senonoh baru saja dibaca oleh tamunya. "Biasa, anak-anak suka ngasih kode sama tamu. Mereka gak bisa menghantarkan sampai ke dalam sini. Kadang kala menyebutku dengan wanita tua penjaja seks." Dia tertawa. Itu membuat Lova semakin aneh saja. Tak ada yang lucu padahal.

"Kamu temannya Nike?" Perempuan itu mengucap lagi. Menatap Lova. "Kamu jauh lebih cantik dari cerita Nike."

"Madam kenal Nike dari mana?" Akhirnya Lova membuka suara. Lirih, sangat lirih. Dia masih belum berani. Lova bukan anak seperti Nike yang dengan mudahnya berbaur dengan lingkungan yang baru. Dia sedikit tertutup dan jauh lebih pendiam dari dugaan.

Sejauh tinggal di Jakarta, kota ini belum sepenuhnya bisa mengubah pola pikir dan sikap Lova sama seperti Nike.

"Dia kenalannya Rex," kata Madam menulai. Dia menatap Lova lagi setelah sempat teralih sebab mengambil rokok di sisinya. "Rex, si Pakde gila," timpalnya hampir saja mengumpat. "Kamu kenal dia dengan sebutan Pakde bukan?"

Lova mengangguk. Matanya teduh menatap wanita di depannya. Tak asing untuk Lova. Tubuhnya yang tambun, berisi. Pakaiannya ketat, membentuk lipatan di perutnya. Ada satu tato ular besar di sis belahan dadanya yang terbuka, tepat di atas payudara kirinya. Seperti yang dikatakan oleh pria tadi, rambutnya merah dan kalung besar menghias lehernya. Disempurnakan dengan tindik di kedua telinganya dan satu di sisi hidungnya.

"Aku mantan istrinya Rex Samuel. Kita dulu satu jalan." Wanita itu mengimbuhkan. Menarik satu rokok dari dalam wadahnya. Mengambil pemantik kemudian. Sisanya dia serahkan untuk Lova. "Ambil saja kalau mau, gratis!"

Lova tersenyum tipis. Ini bukan kali pertama dia ditawari begitu. Dia mulai terbiasa dengan itu sekarang. "Aku tidak merokok," jawabnya memberi respon.

"Benarkah?" Wanita itu menyahut. Menatap Lova, berharap kalau itu hanya basa-basi saja. "Benar ternyata," timpalnya lagi. Hanya mendapat senyum kaku dari lawan bicaranya. "Ya sudah kalau tidak mau. Aku simpan lagi." Wanita itu memasukkan rokok ke dalam saku celananya. Sekarang fokusnya dibawa untuk Lova.

"Oh, benar!" Dia memulai lagi. Mengulurkan tangannya. "Magani Sasmaya," ucapnya tiba-tiba. Membuat Lova diam sejenak. Dia berpikir, namanya sedikit aneh. Wanita ini sedang memperkenalkan diri?

"Itu namaku, Nak."

Ah, benar! Dia sedang memperkenalkan diri. Dengan segera, Lova meraih tangannya. "Lova Tilotama Surandra." Lova tersenyum manis. "Biasa dipanggil Lova."

Madam mengangguk. "Nike sudah bercerita."

"Jadi ... "Lova memulai lagi. Sedikit ragu, tetapi dia tidak bisa membuang-buang waktunya di sini. Jika pekerjaannya tidak cocok, dia bisa mencari pekerjaan yang lain. "Apa pekerjaan yang ditawarkan di sini?" Lova menatap ke luar jendela. Bukan hanya satu atau dua, tetapi beberapa pasangan sedang melakukan adegan dewasa di luar sana. Meskipun tidak seks secara nyata, tetapi berciuman, saling menyentuh satu sama lain tak seharusnya dilakukan di tempat terbuka.

Ini seperti ... ah sudahlah, lebih baik mendengarkan Madam terlebih dahulu.

"Kamu maunya apa?" Madam malah balik menawarkan. Dia menarik buku tebal dari kolong meja. Meletakkan itu dengan kasar di depan Lova. "Semuanya ada di dalam sini. Data diri orang yang berkerja sam denganku, tempat kerja, atau relasi." Dia mengimbuhkan.

Lova yang baru saja ingin menarik buku itu dan membukanya, tiba-tiba saja dicegah oleh Madam dengan memukul pergelangan tangannya.

"Aku belum menyuruh kamu membukanya," kata Madam, menelisik masuk ke dalam pandangan mata Lova. "Kamu sedikit lancang," imbuhnya.

Lova menunduk, mengangguk samar. "Maafkan aku. Aku kira ..."

"Bagaimana dengan 224?" cicitnya kemudian. Tegas, seperti menyakinkan Lova untuk itu. "Sepertinya kamu cocok dengan pekerjaannya."

Lova diam. Kerutan halus muncul di dahinya. Pemuda yang baru saja menghantarkan dirinya kemari juga berbicara dengan menyebut angka yang sama. Entah benar atau tidak, nyatanya, Lova mulai penasaran dengan itu.

"Memangnya apa pekerjaannya?" tanya Lova melirih. Menatap Madam penuh harapan. Berharap kalau itu benar-benar cocok dengannya. Mungkin jadi pelayan bar lagi? Entahlah.

"Kode untuk Nona lilin lebah," katanya. Semakin membuat Lova dalam ketidak mengertian.

"Lilin lebah?" Lova berpikir. Lebah? Ah, bunga! Jangan-jangan dia akan diperkerjakan sebagai SPG perusahaan bunga dengan gaya andan yang cantik dan ramah. Tentu, dia butuh kesan itu untuk menjual sebuah bunga.

"Kau tak tahu?" Madam terus berteka-teki. Dia senang melihat wajah bingung Lova. Bahkan dengan ekspresi seperti itu, Lova nampak begitu cantik.

Lova menggeleng dengan ringan. "Aku pikir itu perusahaan bunga."

"Bunga untuk hidung belang," timpalnya.

"Apa yang ...." Kalimat Lova menggantung di sana. Mencoba memahami, menebak dan menangkap teka-teki yang diberikan padanya.

Sekarang dia terkejut setelah mendengarnya. "Anda ingin aku menjadi wanita malam?" pekiknya dengan nada meninggi. Terkejut!

Madam tiba-tiba saja bertepuk tangan. "Anak yang pandai!"

Lova segera bangkit dari tempat duduknya. Tanpa basa-basi, tak mau memperpanjang pembicaraan, dia tegas menolak itu!

"Aku sudah bilang pada Nike, apapun itu asalkan tidak menjual harga diri!" Dia menyeru. Seakan marah. Jauh-jauh pergi ke sini, naik turun angkutan umum dan melawan polusi serta panas yang begitu terik, juga harus memandang dan menerjang kemacetan lalu lintas ... dia datang pada akhirnya hanya untuk ditipu mentah-mentah.

"Aku menolak!" Lova menarik tas yang ada di sisinya. "Aku pamit kalau begitu! Pekerjannya tidak cocok!" Dia merajuk. Menatap sinis ke arah Madam.

Baru beberapa langkah, Madam kembali mencegahnya untuk pergi.

"Itu hanya salah satu koneksi yang aku punya, Lova," ucapnya. "Duduklah dan kita diskusikan hal yang lain. Kali saja kau cocok dengan lainnya." Madam menawarkan.

Lova menoleh. Menatapnya dengan menggebu-gebu. Masih tak terima dibohongi begini.

"Duduklah. Aku bukan penjaja seks sesungguhnya. Masih ada pekerjaan yang lain," katanya lagi. Dia tersenyum manis, mengetuk sisi meja agar Lova mau datang.

"Come on, waktuku tidak banyak, Lova."

Lova menghela nafasnya. Benar, kali saja ada yang lebih baik.

... To be continued ...