webnovel

2| Bioskop Lendir

"Kalau mau tanya tentang pekerjaan baru, pergi ke Madam, dia tahu pekerjaan yang tepat untuk kamu." --kalimat itu yang membawanya pergi ke sebuah tempat asing untuk Lova. Dia baru beberapa bulan berada di Jakarta, pontang-panting ke sana kemari, sebelum akhirnya mengundurkan diri dari pekerjaan. Sekarang Lova gila untuk mendapat pekerjaan yang baru sebelum tabungannya habis dan dia diusir dari rusunawa.

Lova kembali mencocokkan alamat yang ada di dalam sesobek kertas miliknya. Dia berada di tempat yang benar. Namun, dengan bayangan dan dugaan yang salah. Lova mengira kalau dia akan datang ke sebuah kantor kecil atau setidaknya rumah seorang.

"Nike bohong lagi?" gumamnya. Dia meremas sobekan kertas itu. Hampir saja menyerah setelah melihat hanya ada bangunan bioskop tua dengan tulisan. "Nonton puas tanpa harga yang menguras!"

Ini bukan tujuannya, Lova mau cari pekerjaan setalah keluar dari bar untuk mempertahankan harga dirinya. Bukan malah cari hiburan dengan nonton film bajakan di tempat kumuh seperti ini.

"Hei!" Seseorang tiba-tiba saja menyembulkan kepalanya keluar dari lubang loket pembayaran. Lova yang ingin pergi tertahan di sana. Gadis itu memutar tubuh, ditatapnya seorang pemuda yang wajahnya begitu asing.

"Lova, ya?" tanyanya sembari meletakkan jari telunjuknya untuk Lova. Menuding dengan tidak sopan. Dia berbicara sembari mengunyah permen karet. Basi!

"Lova Tilotama Surandra?" Dia mengeja nama Lova setelah melihat kembali ke dalam layar ponsel yang sudah retak.

Lova manggut-manggut, ragu. Dia mirip preman, bukan penjaga loket bioskop.

"Masuk!" katanya tiba-tiba. Lova diam. Dia tak tahu, mengapa tiba-tiba dia diijinkan masuk tanpa membeli tiket. Padahal satu kursi hanya disewa dengan harga 8 ribu saja. Tak semahal kursi bioskop yang ada di mal besar.

"Aku gak mau nonton film," katanya sembari menggoyangkan tangannya. Menolak. "Aku datang karena rekomendasi dari temanku untuk mencari orang bernama—"

"Ikut saja," katanya. Memotong kalimat Lova. Dia kokoh pada posisinya sekarang. Entah siapa pemuda satu ini. Gayanya compang-camping seperti layaknya preman pasar. Dia tak punya sopan santun juga. Mungkin inilah yang dimaksudkan oleh Nike, bahwa Jakarta akan menelanmu, jika kau tak pandai menempatkan diri.

Pemuda itu kembali diam, dia baru saja keluar dari tempat loket. Menatap Lova dengan aneh. Gadis manja! Begitu ekspresi mukanya berbicara.

Lova juga memandangi perawakan itu. Pemuda laki-laki kurus tinggi, bak tengkorak yang punya kulit tanpa daging. Bajunya kedodoran dengan beberapa bagian yang sudah berlubang, entah rusak sebab kelalaian atau disengaja untuk menyempurnakan penampilannya yang alakadarnya itu. Tato memenuhi sisi lengan kirinya.

"Siapa bilang kamu diajak nonton film?" Dia tertawa. Sekarang tangannya memberi aba-aba agar Lova ikut dengannya. "Ikuti aku!" katanya memerintah. Berjalan, masuk ke dalam bioskop.

Jelas-jelas ini adalah gedung bioskop. Namanya sudah terpampang nyata dihadapannya. Lova tak salah jika dia mengira bahwa Nike membohongi dirinya lagi. Toh juga ini bukan kali pertamanya Nike begitu, dulu pernah sekali. Dia bilang pada Lova bahwa dia punya pekerjaan yang bagus. Namun, ternyata, Nike menjual waktunya untuk melakukan kencan buta dengan seorang. Memang Nike memberikan 40 persen untuk Lova. Namun, gadis itu tak suka dengan cara Nike yang kurang ajar meksipun dia adalah teman dekatnya

"Hei! Gak mau masuk?" Suara membuyarkan lamunan Lova.

Namun, Lova tidak mau lepas dari tempatnya berdiri. Seakan alas sepatunya sudah menempel dengan aspal rusak di bawahnya.

"Ayo!" teriak pemuda itu kemudian. Sedikit kesal, Lova bak orang bodoh di sana. "Kamu temannya Nike bukan?" Dia memastikan sekali lagi. Takut kalau salah orang. Banyak yang datang pada Madam akhir-akhir ini, tetapi tidak satu pun cocok dengan wanita itu. Selalu saja pergi dengan tangan kosong.

"Nike adalah temanku juga!"

Sekarang Lova mulai lega. Ah Nike punya banyak koneksi di Jakarta. Pikirnya. Lova manggut-manggut. Sekarang dia bersedia untuk mengikuti pria ini.

Langkahnya masuk ke dalam bioskop. Melalui bilik-bilik yang semakin gelap dan pengap. Pandangan matanya kini mulai dibatasi.

"Kita mau ke mana?" tanya Lova memandang kanan dan kiri, hanya ada tembok besar warna abu-abu dengan lampu remang yang kuning. Mereka berada di balik layar rupanya. Baru kali ini ada yang mengajak Lova masuk ke dalam sisi gedung bioskop kota.

"Kamu mau ketemu Madam?" Pria itu balik bertanya.

Madam siapa? Lova pun tak tahu. Namun, dia hanya bisa mengangguk, Nike menyuruhnya begitu.

"Mau cari kerja apa?" tanyanya lagi. Sekarang dia mirip pemandu wisata. "Madam punya banyak kerjaan di sana. Dia seperti agen, katakan saja begitu." Pria itu mulai cerewet. Berusaha akrab, dia pasti sudah sering menemui banyak orang. Jadi, mudah saja untuknya mencairkan suasana.

"Siapa nama kamu?" tanya Lova, ikut akrab sebisa mungkin.

"Itu tempatnya!" Pemuda itu menunjuk ke depan. Mengabaikan kalimat Lova. Toh juga, tidak penting tahu namanya. Dia yakin, dia tidak akan bertemu dengan Lova lagi setelah hari ini.

Lova diam sejenak. Pintu kayu yang ada di depan mereka mencuri perhatian Lova. "Ah, itu tempatnya?" Gadis itu mengabaikan pertanyaan dari pria yang ada di depannya. Ia hanya berdehem ringan.

"Aku cuma bisa nganter sampai di sini," katanya tiba-tiba berhenti. Jaraknya sedikit jauh dari pintu kayu itu.

Lova mengerutkan keningnya. Sesekali melirik ke arah pintu lalu kembali menatap pria yang ada di depannya. "Memangnya kenapa tidak masuk? Aku gak tahu apapun di sana nanti," ujar Lova. Pasrah. "Jadi aku butuh seseorang yang ...."

"Madam adalah wanita berambut merah dengan kalung besar di lehernya. Dia pasti duduk di depan ruangan. Jadi kamu bisa datang padanya." Pemuda itu menjelaskan. Sedikit, tetapi itulah pointnya. Dia selalu mengatakan hal yang sama, untuk pertanyaan yang sama pula.

Lova manggut-manggut dengan ragu. Sekarang pria itu menepuk pundaknya dengan ringan. "Good luck!"

Good luck? Lova tak tahu artinya. Semoga beruntung? Beruntung dari nasib macam apa?

Ia meninggalkan Lova tanpa kata-kata lagi. Lova hanya memandang dengan tatapan polos, tak mengerti. Dia tak tahu, mengapa langkah kakinya bisa sampai sejauh ini.

"Hei!" Pria itu kembali memanggil saat Lova ingin kembali melanjutkan langkah.

"Pilih kode perkejaan 224! Itu cocok buat kamu!"

Lova terdiam. Sedangkan pria itu melambaikan tangannya bak orang gila, pergi setelah menertawakan sesuatu.

Lova berdecak. Menggelengkan kepalanya. Lalu dia melanjutkan langkah kaki. Sekarang masuk ke dalam ruangan setelah mendorong pintu di depannya.

Tunggu! Apa ini? Lova terkejut bukan main saat mendapati hal aneh di depannya. Dia melihat ....

"Wah! Jakarta menyembunyikan tempat seperti ini di balik gedung bioskop?" gumamnya tak percaya. Terperangah dalam diam.

... Bersambung ...

Next chapter