"Apakah kita masih bisa menjadi seperti dulu lagi? Gue merindukan saat itu Lisa." Ucap Aksa yang membuat Lisa langsung terdiam di tempatnya itu.
"Gue benar-benar ingin kita kembali menjadi kita bukan jalan sendiri-sendiri seperti ini." Ucap Aksa lagi.
Namun apa yang ia pikirkan langsung hilang begitu saja ketika mendengarkan apa yang baru saja di katakan oleh Aksa padanya.
"Jangan bercanda Sa." Ucap Lisa yang langsung melepas kan pelukan Aksa itu. Kini tatapan mereka berdua menjadi saling adu tatap satu sama lainnya.
Kini tatapan mereka seperti tatapan dua orang yang sulit untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi itu.
"Kita sudah sepakat untuk ini bukan?" Tanya Lisa setelah beberapa saat hening.
"Tapi Lis."
"Gue harap Lo ngertiin ini Sa." Potong Lisa dengan cepat.
Aksa mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Gue juga berharap agar Lo bisa untuk menghapus rasa takut Lo itu Lis. Bagaimana mungkin hubungan ini akan berjalan seperti apa yang kita inginkan sementara Lo aja nggak ada rasa percaya sama gue. Sampai kapan lo akan terus saja ragu dengan gue HM? Kita sudah pernah melalui ini dulunya, kenapa Lo kembali takut saat Lo sudah mengetahui kebenarannya?"
Aksa sengaja tak ingin menatap ke arah Lisa yang saat ini pasti sedang menatapnya itu.
"Maaf Sa tapi gue emang nggak bisa."
"Bukan nggak bisa Lis hanya saja Lo nggak pernah mau keluar dari rasa takut Lo itu. Karena Lo nggak pernah sama sekali percaya sama gue! Itu yang sebenarnya kan?"
Dengan cepat Lisa langsung menggelengkan kepalanya, air matanya jatuh membasahi pipinya begitu saja ketika mendengar suara Aksa yang tak lagi lembut, nada bicaranya sudah lebih tinggi dari biasanya.
"Nggak Sa, nggak gitu konsepnya."
"Lalu apa?" Tanya Aksa, kali ini ia memberanikan dirinya untuk menatap wajah Lisa yang kini sudah menangis.
Sudah lama sekali ia tak pernah melihat wanita di hadapannya ini menangis. Dan kali ini ia lah yang telah membuat air mata itu jatuh.
Jujur saja, ia tak bisa untuk menahan diri terus menerus seperti ini. Hubungannya dengan Lisa tak akan bisa terus menjadi teman seperti ini.
Ada banyak hal yang tak bisa dilakukan dengan hubungan sebatas teman ini. Ia tak memiliki kemampuan untuk marah ketika melihat Lisa bersama dengan Cowok lain selain dirinya dan itu benar-benar sangat mengusik ketenangan hati. Ia ingin hubungan ini jelas agar emosi yang ia tunjukkan itu juga tak membuat bingung.
"Maaf, tapi dulu kita udah sepakat untuk tidak lagi mengingat diri dalam hubungan." Ucap Lisa.
"Baiklah jika seperti itu, mari kita tak usah lagi terikat dalam hubungan apapun lagi itu. Malam ini mari kita selesaikan semuanya Lis."
Mata Lisa langsung melebar dengan sempurna ketika mendengar ucapan dari Aksa itu.
Kembali ia menggelengkan kepalanya tanda ia tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Aksa itu.
"Tidak! Tidak bisa begitu dong Sa."
"Kenapa tidak bisa huh? Aku hanya ingin memiliki hubungan yang benar Lis dengan kamu, kenapa begitu sulit untuk kamu mengiyakan semuanya itu? Hari dimana ada wanita yang menghampiri ku di halte waktu itu dan kamu tiba-tiba hilang aku tahu hati kamu sakit Lis, tapi karena kesepakatan konyol itu kamu malah membuang semuanya itu jauh-jauh. Perasaan kita ini masih nyata dan kamu nggak bisa membatasinya dengan cara seperti ini Lis."
Lisa diam, ia tahu apa yang ia lakukan ini adalah sebuah kesalahan tapi tetap ia tak bisa untuk kembali seperti dulu.
Banyak sekali pertimbangan untuk itu, ia takut jika sehari saja ia dan Aksa tak lagi bersama. Ia takut ia dan Aksa kembali menjadi asing lagi seperti dulu. Sungguh, ia tak ingin ini terjadi.
Baginya, Aksa adalah segalanya dan kehilangan Aksa untuk yang kedua kalinya merupakan hal yang tak ia inginkan. Apapun itu alasannya ia ingin Aksa ada untuknya.
Selama ini ia sudah berusaha untuk memasang benteng pertahanan diri untuk menjadi seseorang yang berbeda. Cara ini ia gunakan Untuk melindungi hatinya agar tak meminta yang lebih seperti mana yang mereka sepakati sebelumnya.
Aksa bangkit dari posisi duduknya hingga membuat Lisa langsung mendongak untuk menatap ke arah Aksa.
"Baiklah, mulai hari ini kita tak akan lagi membahas ini Lis."
Ucapan Aksa itu benar-benar membuat hati Lisa kembali menghangat. Ia juga ikutan berdiri untuk menyamakan tinggi dengan Aksa.
"Kamu benar, kita sudah sepakat untuk tak membahas ini lagi di masa yang akan datang. Kita adalah teman dan tak akan mungkin bisa menjadi lebih seperti dulu." Lanjut Aksa lagi.
Kali ini Lisa mengangguk kan kepalanya sambil tersenyum, "Aku tahu kamu pasti mengerti dengan apa yang kita sepakati dulu."
"Tapi Lis, aku tak ingin terus seperti ini. Jika hubungan pertemanan kita ini adalah sebuah topeng dari semua nya maka sebaiknya kita tidak usah menjadi teman lagi. Ayo kita menjadi asing."
Mata Lisa langsung melebar, ia pikir bahwa Aksa sudah berubah pikiran ternyata ia semakin ingin membuat mereka menjadi asing. Apakah sebegitu ingin Aksa menjadi kan hubungan mereka ini lebih seperti dulu?
"Maaf Lis, tapi ini akan lebih baik daripada tetap bertahan. Aku masih sangat menginginkan kamu Lis, tapi kenapa kamu tak pernah tahu itu? Apakah cara ku menunjukkan semuanya itu sama sekali tak tertangkap dengan Mata mu? Atau memang kamu membuat semuanya tak terlihat hanya untuk melindungi diri kamu sendiri saja? Jika iya seperti itu maka aku ucapkan selamat Lis, selamat karena kau berhasil melakukan itu padaku dan hatiku."
Lisa menggelengkan kepalanya, mata Aksa sudah memerah. Sepertinya ia sedang menahan diri agar air mata itu tak terjatuh dan ia tak terlihat lemah dihadapan Lisa saat ini.
"Pulang lah Lis, aku tak akan lagi mengizinkan kamu untuk datang kerumah ini. Disana adalah pintu keluar nya, ketika kamu melangkah pada pintu itu aku harap semua yang terjadi malam ini kamu lupakan. Kamu dan aku akan mulai menjadi asing ketika kamu melangkah untuk keluar. Teruslah lindungi hatimu itu dan aku akan membantunya Lis dengan cara ku ini." Lanjut Aksa lagi.
Kali ini Lisa benar-benar tak menyangka bahwa Lisa akan melakukan hal seperti ini.
"Sa." Panggil Lisa.
"Selamat malam Lisa, maaf dan terimakasih."
Setelah mengatakan itu Aksa langsung melangkah pergi meninggalkan Lisa yang masih berada di tempat nya tadi itu. Sama sekali Aksa tak berniat untuk menoleh ataupun berbalik kebelakang. Sepertinya ia benar-benar sudah membulatkan tekadnya ketika mengatakan itu.