webnovel

Dispenser

"Duh, panas."

Ia menarik-narik kerah kemeja putihnya. Lagi-lagi kami harus menanti tiga jam sampai tukang Air Conditioner baru sampai kemari. "Mau meleleh rasanya..." kilahku juga.

Gerah luar biasa, seolah-olah matahari hanya satu inci jauhnya dari jendela. Kami berdua yang mejanya bersebelahan sama sekali tak mampu fokus ke layar komputer. Sekalinya mata memandang ke depan, ujung-ujungnya rasa gerah merayap menjadi malas yang mengganggu.

Beruntung, dispenser masih sanggup menyajikan berliter-liter air dingin lagi. Tapi isi galonnya barang tidak lebih dari empat atau lima gelas lagi sebelum kosong melompong.

"Duh, air dingin lagi deh."

"Gak baik banyak minum yang dingin-dingin," sindirku.

"Berisik. Hus," sekali merenggangkan badan, ia bangkit berdiri dan berjalan menuju dispenser yang maha kuasa. Segelas, dua gelas, baru puas dahaganya. Akibat hari ini memang sudah terik sedari pagi, kemeja putih tipis tanpa lengannya tampak sedikit lembab.

Ia kembali ke mejanya, mengurusi jurnal-jurnal transaksi yang ditinggalkan bapak-ibu yang kebetulan sedang diklat makan Nasi Padang di Bukittinggi pada hari lebaran. Rasanya jadi pengin bantu, tapi pasti bakal diceramahi lagi.

"Beres sih, tapi itu bapak ajudan udah pulang dari jam dua..." semestinya hari ini kami yang libur, tapi gara-gara pada berangkat ke diklat akhirnya dapat tugas jaga markas. Untung saja mejanya adem, jadinya kepalaku bisa istirahat sejenak sambil menonton rekan kerjaku dan tumpukan berkasnya ini.

Luar biasa kantorku yang terbuka ini. Tak banyak keringat yang keluar dari pori-pori kulitnya, namun cukup untuk membuat kemeja putih wanita ini sedikit basah memesona. Bukan hanya sedikit bayang hitam yang terkadang tersirat di balik gorden, namun celah di lengan kosong kemeja rompinya yang memamerkan garmen terselubung itu patut disyukuri.

"Hm? Ngapain bengong?" Ia menyadari tatapanku, sementara aku pun baru menyadari tumpukan itu sudah hilang dua pertiganya.

"Nggak, cuman terpana doang," jawabku. Memang manis sekali wajahnya kalau tertawa. Obat hati.

"Kamu udah beres?" tuh, dia juga baru sadar.

"Dari tadi, tapi nungguin juga nggak apa-apa kan? Jadi kan, makan malamnya?"

Tahu-tahu ia tertegun menatap langsung ke mataku. Tatap-tatapan dengannya begini sudah biasa, sih. Satu menit. Satu setengah menit. Tahu-tahu senyumnya kembali terkembang, "kalau begitu jadi, deh. Hehe," tuh, kan jadi benaran.

"Aaah, akhirnya bisa pulang juga," kini giliranku yang merenggangkan badan sambil menguap.

"Sori deh kalau masih pinjam mobil situ,"

"Yang penting jadi makan malamnya. Di apartemen, kan?" Aku mengambil kunci mobil yang tersimpan di laci kerja. Tak sabar rasanya mau pulang bersamanya lagi.

"Iya, dong. Tapi..." telunjuknya yang bebas dari satu dua berkas tipis dokumen mengisyaratkanku untuk mendekat. Di kantor sesepi ini padahal tidak perlu sampai harus berbisik segala.

"Apaan?"

"Di dompet bawa nggak? Di kamar habis, sih."

Sorot mata dan senyumnya seolah menyuruhku untuk mampir sebentar ke mini market.

Next chapter