webnovel

Bukan Bantuan Geratis

"Ini jebakan." Desis Dya sebal sembari menatap Arjuna yang sejak tadi memberinya tatapan tajam, laki-laki itu jelas mencuragainya.

"Sumpah, gue sama sekali enggak tau kalau lo juga bakalan dateng."Dya gelagapan.

"Gue bener-bener enggak niat nikah sama lo Jun."

"Kalau gitu pastiin lo sampein niat lo itu dengan baik ke om Sadam." Desis Arjuna tidak kalah tajamnya, laki-laki itu menatap Dewanata yang sedang tertawa bersama ayah Dya sembari membahas pukulan sempurna laki-laki itu barusan.

"Juna, mau kemana?" tanya Dewanata yang melihat anak laki-lakinya berkemas.

"Pulang."

"Tapi permainannya belum selesai." Arjuna tidak berniat mendengarkan alasan konyol ayahnya.

"Ck, kalau gitu sekalian kamu anter Dya pulang juga. Kasian, di sini panas."bujuk Dewanata lagi, laki-laki paruh baya itu jelas sangat berusaha keras.

"Juna!"

"Om, udah enggak apa-apa." Dya langsung berdiri menahan langkah Dewanata yang hendak mengejar putra semata wayangnya.

Sadam mengangguk begitu pelayan mengulangi pesanannya sekali lagi, setelah memastikan tidak ada perubahan pelayan tersebut pergi sembari membawa buku menu dan tidak lama kembali datang dengan dua cangkir kopi panas.

"Arjuna itu udah bukan anak-anak lagi, enggak bisa di paksa." Ucap Sadam sembari menerima cangkir yang di ulurkan oleh pelayan.

"Udahlah biarin aja dia."

"Kalau di biarin, dia mungkin akan menikahi pelayan pribadinya itu." gerutu Dewanata setelah menggumamkan terimakasih, mereka memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran privat di tengah kota setelah Dya pamit pulang beberapa saat yang lalu.

"Apa masalahnya? Medda keliatan baik." Ucap Sadam yang memang beberapa kali berkunjung ke kediaman Wardana untuk urusan pekerjaan.

"Lumayan cantik juga."

"Perempuan itu cuma akan mempermalukan Wardana, enggak jelas bibit, bebet dan bobotnya. Belum lagi Medda sama sekali enggak terpelajar, perempuan itu cuma akan jadi aib nanti."

"Mana yang lebih menakutkan, Arjuna dengan Mima atau Arjuna dengan Medda?" Dewanata langsung mendelik, hal itu memunculkan tawa dari bibir Sadam.

"Aku cuma bertanya."

"Jangan pernah lagi ajuin pertanyaan kayak gitu, bener-bener menakutkan." Sadam menganggukan kepala, meski tawa belum benar-benar hilang dari bibirnya.

"Tapi Briani memang berniat menjodohkan Arjuna dengan Mima?"

"Iya, bener-bener keterlaluan."

"Dewi bilang awalnya Briani ingin mengenalkan anak Sera kepada Arjuna, enggak tau kenapa tiba-tiba dia berubah pikiran."

"Aku enggak tau Sera siapa."

"Ck, ini nih. Jangan terlalu dingin gitu lah, sesekali ikut di pergaulan para istri. Kalau Briani merajuk kamu jadi tau harus bertanya soal hadiah kepada siapa."

"Aku enggak butuh hal-hal seperti itu." Sadam menatap temannya yang menatap kosong pada cangkir kopi yang nyaris habis setengahnya, ia tahu kalau laki-laki dingin di hadapannya sedang memikirkan seseorang.

"Kamu udah buat pilihan Nata, enggak ada gunanya lagi kamu menyesal."

"Aku akan selalu menyesal Dam, aku akan selalu menyesal untuk semua tindakan spontan yang aku lakukan di masa lalu." Sadam memutuskan untuk berhenti berbicara dan membiarkan Dewanata kembali melamun menatap cangkir kopinya yang tidak lagi hangat.

"Seharusnya aku ikutin nasehat kamu dulu, seharusnya aku ikuti saran kamu untuk menjauhi Briani." Sadam memimum sisa kopi terakhir di cangkirnya sebelum bangkit dan pergi setelah menyempatkan diri menepuk bahu temannya sebanyak dua kali sebagai bentuk dukungan pada apapun beban yang sedang di rasakan oleh kepala keluarga Wardana tersebut.

***

"Medda!"

"Iya tuan.. iya.. tunggu sebentar."

"Medda!"

"Iya, astaga."

Dewanata yang baru memasuki rumahnya langsung mengernyit, laki-laki itu mendengar suara anaknya menggema dari interkom yang terpasang di beberapa sudut ruangan.

"Medda!"

"Iya tuan, ini saya mau naik tangga." Ucap Medda yang jelas tidak bisa di dengar Arjuna yang ada di kamarnya.

Medda yang berlari dan juga Arjuna yang berteriak memanggil nama pelayan itu sudah menjadi hal yang biasa, tapi kali ini entah kenapa Dewanata merasa terganggu. Laki-laki itu merasa kedekatan anaknya dengan pelayan perempuan itu membuatnya resah.

"Medda." Seru Dewanata yang secara spontan langsung menghentikan langkah Medda.

"I.. iya tuan?" ucap perempuan itu sembari menunduk segan.

"Temui saya di ruang kerja setelah kamu selesai mengurus Arjuna."

"Baik tuan."

Dewanata harus menunggu cukup lama sampai pintu ruang kerjanya di ketuk pelan dan memunculkan sosok Medda yang ragu-ragu memasuki ruangannya.

"Gimana Juna?"

"Eh?"

"Dia tau kamu menemui saya di sini?" Medda menggelengkan kepala. Dewanata tidak langsung berbicara, laki-laki itu justru memperhatikan Medda dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Di bandingkan saya, kamu jelas lebih dekat dengan Arjuna." Mulai Dewanata.

"Kamu tau kan kalau anak itu udah masuk usia layak menikah?"

"Iya tuan, saya tau." Jawab Medda dengan ragu.

"Kamu juga taukan kalau belakangan ini saya sedang berusaha menjodohkan Arjuna dengan anak teman saya?" lagi-lagi Medda mengangguk meski kebingungan.

"Dya benar-benar gadis yang baik Medda, dia dari keluarga yang tidak kalah terpandangnya dengan Wardana. Berpendidikan dan juga jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Kamu juga berfikir begitu kan?"

"Iya.. tuan." Ucap Medda sembari menunduk, dadanya tiba-tiba saja merasa sesak.

"Saya mau kamu membantu saya Medda."

"Ya?"

"Saya mau kamu membantu saya untuk membuat Arjuna dan Dya dekat, saya yakin Arjuna akan menurut kalau kamu yang memintanya." Dewanata mengabaikan wajah pucat pelayan pribadi anaknya.

"Kamu mau kan membantu saya?"

"Sa.. saya.."

"Atau kamu berfikir kalau kamu yang layak untuk mendapingi anak saya?"

"Enggak.. enggak tuan, saya.. mana berani berfikir seperti itu." Medda tergagap.

"Medda, kamu enggak mungkin salah paham sama sikap Arjuna selama ini kan?"

"Sa.. saya.."

"Arjuna cuma penasaran, apapun yang sering dia lakukan kepada kamu itu hanya karena kami para laki-laki suka melakukannya. Kamu paham kan?" Medda kehilangan kata-kata.

"Saya harap kamu enggak salah paham, karena Arjuna juga pasti melakukannya dengan perempuan lain. Kamu cuma enggak tau aja."

"Iya.. tuan."

"Nah, karena kamu udah sadar posisi kamu dengan jelas. sekarang saya tanya sekali lagi, kamu mau bantu saya untuk mendekatkan Arjuna dengan Dya kan?"

"Iya.. tuan, saya bersedia."

"Bagus. Kamu tenang aja, ini bukan jenis bantuan yang geratis. Kamu bisa minta apapun nanti setelah Arjuna dan Dya benar-benar menikah."

"Baik tuan, terimakasih."

"Baiklah, kamu bisa pergi sekarang." Medda baru akan menyentuh knop pintu kerika Dewanata kembali memanggilnya.

"Ah, Medda." Perempuan itu kembali berbalik.

"Ini adalah misi rahasia, kamu tau kan?"

"Iya tuan."

"Oke, kamu boleh benar-benar pergi sekarang."

Dewanata memperhatikan bagaimana bahu pelayan pribadi Arjuna itu terkulai lemah, perempuan itu jelas menyimpan harapan kepada putranya.

"Saya janji untuk ngasih yang terbaik untuk Arjuna, Medda. Kamu hanya akan jadi aib untuk anak itu, jadi sebaiknnya sadar diri." Desis Dewanata kepada udara kosong di ruang kerjanya.