2 Pertemuan Pertama

"Non... Non...! Coba liat ini!"

Teriak seorang wanita paruh baya dari arah belakang rumahnya.

"Ada apa, Bi?" Seorang gadis segera berlari tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Coba liat ini?" Kata sang Bibi lagi dengan bibir gemetar.

Sang gadis pun menilik arah yang di tunjuk sang bibi. Pupil mata gadis itu seketika melebar seraya menutup mulutnya sendiri. "Si-apa dia, Bi?" Suaranya jadi ikut gemetar.

"Nggak tau juga, Non. Tau-tau Bibi liat dia udah tergeletak di sini. Mana ganteng banget lagi." Wanita paruh baya itu tersenyum terpesona.

"Ayo kita tolong dia, Bi." Ajak sang gadis sembari mendekat ke arah pria yang tergeletak di depannya.

"Eh... tunggu, non. Kalau dia bukan orang baik gimana, Non?" Cegah sang Bibi.

Gadis muda itu menghela napas, "tapi kalau dia orang jahat, ngapain juga dia tiduran di sini?" Tanyanya polos.

"Kalau dia modus gimana? Aslinya dia rampok, maling, hayo... gimana?"

Alis sang gadis seketika bertaut. "Tapi kita kan nggak punya apa-apa lagi, Bi? Nggak ada barang mewah yang bisa di jual, jadi dia mau rampok apa?"

"Oh... iya, bener juga ya?"

"Udah lah, Bi. Kita tolong aja. Mau dia orang baik atau orang jahat. Kita nggak boleh pandang bulu buat nolong sesama. Itu yang ajarkan mama sama papa selama ini."

"Oh iya... bener juga, non." Wanita paruh baya itupun bergegas menghampiri majikannya dan membantu membopong pria tampan yang pingsan di kebun belakang rumah mereka.

Keduanya membaringkannya di ranjang bambu yang ada di ruang tamu. "Kok dia belum sadar-sadar ya, Non? Apa kita perlu panggil dokter biar dia bisa di periksa?"

"Eh... jangan-jangan, nanti itu bisa mancing warga berdatangan kesini."

"Terus kita harus gimana, non?"

Wajah gadis itupun tampak berpikir sejenak. "Bibi punya minyak kayu putih dan semacamnya nggak?"

"Oh... ada-ada, non. Bentar-bentar... Bibi ambil dulu di kamar." Sang gadis mengangguk. Tak lama wanita paruh baya itu kembali dengan sebotol minyak angin. "Ini... non," kemudian menyerahkannya pada nona majikannya yang sudah duduk di sisi ranjang.

Sang gadis segera mengeluarkan sedikit cairan dari dalam botol minyak angin, lalu mengusapnya tepat di bawah hidung sang pemuda.

Perlahan kelopak mata pria itu terbuka. Dia merasakan panas di hidungnya dan membuatnya berjingkat duduk. "Kurang ajar, hidung ku panas! Aduh... aduh! Bunda tolong!" Teriaknya panik.

"Maaf... maaf, aku nggak sengaja, mungkin tadi ngasihnya kebanyakan."

Suara sang gadis di hadapannya membuat sang pemuda terdiam. Dia menatap lekat objek yang ada di hadapannya. Gadis itu sebenarnya cukup cantik, tapi sayang di sekujur tubuhnya seperti di penuhi oleh bintik-bintik merah dan agak mengeluarkan bau tidak sedap.

Melihat pemuda di hadapannya yang mentapnya tanpa ekspresi, sang gadis memudurkan duduknya sedikit menjauh. Purba Ningrum takut jika pemuda itu nanti akan merasa ilfeel ketika melihat wajah dan bau badannya.

"Kamu baik-baik saja kan?" Tanya Purba Ningrum memberanikan diri.

"Ah... iya, aku baik-baik saja, kamu siapa?" Sagara terkejut karena gadis dan wanita paruh baya di hadapannya itu tak tampak takut melihatnya, padahal seingatnya dia sudah berubah wujud menjadi seekor lutung. "Kenapa kalian tidak takut padaku?" Tanyanya penasaran.

Dahi Purba Ningrum berkerut, terkejut menerima pertanyaan aneh dari pemuda di hadapannya. "Namaku Purba Ningrum, dan ini Bi Lilis pengasuhku sejak kecil." Purba Ningrum memilih menjawab pertanyaan Sagara yang pertama. "Tadi kamu bilang, kenapa kami tidak takut melihatmu?" Lanjutnya penasaran.

Sagara segera memeriksa keadaan dirinya. Bulu-bulu lebat yang tumbuh di tubuhya kini tidak terlihat lagi. Kemana perginya bulu-bulu itu?

"Bolehkah aku pinjam cermin?" Sagara balik bertanya, mengabaikan pertanyaan Purba Ningrum sebelumnya.

Purba Ningrum menoleh ke arah pengasuhnya, dia menganggukkan kepalanya sebagai isyarat. Bi Lilis pun segera kembali lagi ke dalam kamar dan keluar dengan benda yang di minta oleh Sagara.

Sagara kemudian memberanikan diri melihat rupanya sendiri dalam cermin. Awalnya dia sedikit takut dengan menyipitkan matanya memandang cermin. Membuat Purba Ningrum dan Bi Lilis menahan tawa karena melihat tingkahnya yang sedikit konyol.

"Hah... kok bisa?" Pekik Sagara yang melihat pantulan dirinya sendiri yang ternyata masih tampan.

"Kalau boleh tau, nama Aden siapa? Kok pakai baju adat gitu? Aden abis syuting atau bagaimana? Aden artis pendatang baru ya? Soalnya Bibi baru liat Ad--"

"Eh... Bibi, nanyanya satu-satu atuh. Liat tuh, kasian dia jadi bingung." Potong Purba Ningrum mengingatkan.

"Maaf... kalau bibi norak, abisnya baru kali ini bisa liat artis dari deket." Ucapnya sembari cengengesan.

"Artis? Apaan tuh?" Sagara menggaruk kepalanya bingung. Sepertinya bukan hal mudah untuk menyesuaikan diri dengan penduduk bumi.

"Artis itu, pemain film, pemain sinetron atau penyanyi. Pokonya orang yang memiliki karya seni." Jelas Purba Ningrum. "Oh...ya, nama kamu siapa?"

"A-ku... Sagara."

"Kamu datang darimana? Kenapa tiba-tiba pingsan di kebun belakang rumah kami?"

"Itu--" Sagara tak bisa melanjutkan kalimatnya, dia tidak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya tentang asal-usulnya kan?

"Aku tidak ingat apa-apa," entah dari mana datangnya alasan itu, yang pasti Sagara merasa lega karena kata-kata itu tiba-tiba saja terlintas di benaknya.

"Ooo... jadi kamu hilang ingatan?" Tambah Bi Lilis.

"Sagara mengangguk, "mungkin."

"Yaudah... buat semetara waktu, kamu tinggal di sini saja sampai ingatan kamu pulih. Gimana?" Ucap Purba Ningrum, "bolehkan, Bi. Dia tinggal di sini sama kita?" Menoleh ke arah pengasuhnya meminta pendapat.

"Tentu saja boleh atuh, non." Sahutnya antusias.

"Makasih ya, Bi." Purba Ningrum senang. Karena sebenarnya rumah yang di tempatinya sekarang adalah rumah Bi Lilis, sedangkan dirinya di usir kakak satu-satunya dari rumah setelah orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan.

Bi Lilis adalah yang mengasuhnya sejak kecil. Bi Lilis mau menampung Purba Ningrum karena merasa berhutang Budi pada orang tua purba Ningrum. Selama hidupnya, majikannya itu telah banyak membantunya, termasuk membelikan rumah yang di tempati saat ini. Di samping itu, Bi Lilis hidup sebatang kara setelah anak satu-satunya dan suaminya meninggal beberapa tahun yang lalu.

***

"Aku ingin putraku tetap dalam pengawasan."

"Baik kanjeng ratu."

"Laporkan padaku kegiatan apa saja yang di lakukan putraku, bantu dia diam-diam saat keadaan mendesak. Ingat, hanya dalam kedaan mendesak." Tegas Ibunda Sagara sekali lagi kepada seorang pesuruhnya.

"Baik, kanjeng Ratu." Pria berpakaian ala prajurit itu segera pamit undur diri.

"Ibunda, untuk apa ibunda menyuruh abdi itu menemui ibunda?"

Mendengar suara yang datang, sang ratu menoleh, "Pandu Sona?" Dia sedikit terkejut dengan kedatangan putra pertamanya itu. "Untuk apa kamu mencariku, nak?" Ucap Wanita yang seharusnya sudah berusia ratusan ribu tahun itu tapi tetap cantik itu. Dia berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia yakin putranya tadi baru saja berpapasan dengan orang suruhannya.

"Tidak ada apa-apa, aku kemari untuk menyampaikan pesan ayah, ibu di tunggu di ruang pertemuan." Jelas Pandu Sona.

"Kenapa sampai harus kau sendiri yang harus turun tangan memanggil ibu? Kenapa tidak menyuruh seorang abdi?"

"Oh... itu-- aku ingin sekalian melihat keadaan ibunda," Panda Sona terlihat sedikit gugup.

"Baiklah, putraku, mari kita ke ruang pertemuan bersama-sama."

Pandu Sona mengangguk hormat, keduanya berjalan beriringan keluar dari ruangan sang ratu.

Bersambung.

avataravatar
Next chapter