Selesai makan, Randy mengantar Ditya kembali ke baraknya. Setelah itu, dia pergi berkumpul bersama teman-temannya.
Tepat pukul 2 siang, agenda Post to Post di mulai. Kali ini mereka harus mengikuti tanda panah yang terdapat di sepanjang jalan. Setelah berjalan 100 meter, akhirnya mereka tiba di Pos 1.
Ditya terkejut melihat Putra ada disana sambil menyeringai ke arahnya. "Sial. Kenapa harus secepat ini sih, bertemu dengan dia?" ucapnya kepada Niar.
Niar hanya tersenyum lemah sambil membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi.
"Ayo cepat berbaris yang rapi!" perintah Putra.
Ditya dan teman-temannya langsung membentuk barisan.
"Kali ini saya dan Putra akan memberikan beberapa pertanyaan kepada kalian. Kalau kalian gagal menjawab pertanyaannya, maka kami akan mencoret wajah kalian menggunakan spidol. Ada pertanyaan?" Rizal menjelaskan aturan permainan kali ini.
Kelompok Ditya menggelengkan kepala tanda bahwa mereka sudah mengerti.
"Ok, pertanyaan pertama untuk Tami. Kapan ekskul musik didirikan di Universitas Perjuangan?" tanya Putra.
"Tanggal 25 Maret 2002." jawab Tami ragu.
"Salah. Yang benar adalah 27 Maret 2002." kata Rizal. "Ayo maju ke depan." Tami melangkah ke depan, lalu Rizal membuat emoticon sedih di pipi kanannya.
"Pertanyaan kedua untuk Ulvia. Apa visi dari ekskul kita?" tanya Rizal.
"Menciptakan generasi yang kreatif dan berdaya seni tinggi serta memperhatikan nilai-nilai agama, norma dan adat di lingkungan sekitar." jawab Ulvia.
"Good. Next question, untuk Clara. Siapakah Ketua Ekskul untuk periode 2017-2018?"
"Kak Awan." jawab Clara.
"Niar, siapa pembina ekskul musik?"
"Ibu Eva, kak."
"Karina, sebutkan filosofi dari lambang ekskul kita."
"Hm... Apa ya..? Aduh aku lupa kak." jawab Karina sedih.
"Hahaha.. ayo kamu maju juga." Kali ini Rizal menggambar emoticon menangis di pipi kirinya.
"Sekarang giliran kamu Ditya." kata Rizal.
Putra memegang pundak Rizal seolah memberikan kode bahwa dia yang akan memberikan pertanyaan kepada Ditya.
"Day after day
Time passed away
And I just can't get you out of my mind
Nobody knows, I hide it inside
I keep on searching but I can't find
The courage to show to let me you know
I've never felt so much love before
And once again I'm thinking about
Taking the easy way out
But if I let you go I will never know
What my life would be holding you close to me
Will I ever see you smiling back at me ?
How will I know if I let you go ?" Putra menyanyikan salah satu lagu Westlife yang berjudul If I let You go.
Tami dan Ulvia terpesona melihat Putra menyanyi. Sementara Ditya dan Rizal terlihat kebingungan.
"Maaf kak, tapi pertanyaannya apa ya?" tanya Ditya mencoba bersikap sopan di hadapan Putra.
"Apa yang akan kamu lakukan jika ada seorang pria yang menyanyikan lagu ini untuk kamu?" tanya Putra.
"Entahlah. Mungkin bertepuk tangan jika suaranya bagus atau mungkin hanya tersenyum kalau suaranya biasa aja." kata Ditya tidak yakin. Dia bahkan sebenarnya tidak mengerti maksud dari pertanyaan tersebut.
"Cuma itu?" tanya Putra bingung.
"Ya aku rasa seperti itu." jawab Ditya polos.
"Lalu mengapa tadi kamu tidak melakukan apapun saat aku menyanyikan lagu tadi?" tanya Putra penasaran.
"Mungkin karena aku belum bisa memutuskan kakak masuk ke dalam kategori yang mana." jawabnya dengan senyum yang dipaksakan.
"Ditya, sini maju!" perintah Putra dengan nada serius.
"Kenapa?" tanya Ditya dengan nada menantang.
Mendengar hal itu membuat Putra kehilangan kesabarannya. Dia berjalan maju menghampiri Ditya dan menggambar wajah tokoh kartun Keroppi di pipi kanannya.
"Kak, kenapa wajah aku dicoret?" protes Ditya.
"Karena kamu gagal mengapresiasi lagu yang aku bawakan tadi. Kadang aku bertanya-tanya apakah hati kamu terbuat dari batu?" jawab Putra sambil menatap Ditya dengan tajam.
"Apa?"
"Udah cepat kalian pergi sana. Lama-lama aku bisa gila!" kata Putra.
Akhirnya kelompok mereka melanjutkan perjalanan. Ditya bingung kenapa Putra sebegitu marahnya padahal dia merasa telah bersikap baik bahkan bicara sesopan mungkin kepadanya.
"Kak Putra itu benar-benar menyebalkan. Dia selalu saja mencari-cari kesalahan aku." keluh Ditya berbisik.
"Ya ampun, Dit. Sepertinya hati kamu memang terbuat dari batu yang sulit untuk dipecahkan." jawab Niar sambil menggelengkan kepala. Dia merasa iba melihat sahabatnya ini. Ditya begitu pandai dalam pelajaran tapi begitu bodoh dalam memahami perasaan seseorang.
Tak lama kemudian mereka tiba di Pos 2. Desta, Vina dan Rama telah menunggu mereka sejak tadi.
"Berhenti. Kalian tunggu disini dulu ya, karena kelompok sebelumnya belum selesai." kata Vina.
"Memangnya ini pos apa kak?" tanya Karina.
"Pos Outbond." jawab Rama singkat.
'Outbond?' tanya Ditya dalam hati. "Kak bukankah pos outbond ada di pos terakhir?"
"Iya. Tadinya akan ada 3 pos yang harus kalian lalui. Tapi mengingat tadi acaranya molor karena hujan. dan waktunya tidak memungkinkan, maka posnya dibagi+bagi di dalam." jelas Desta.
Ditya mendengar suara teriakan dari dalam sana.
"Kak, kenapa mereka berteriak?" tanya Ulvia penasaran.
"Mungkin seseorang baru saja melemparkan ular ke arah peserta." jawab Rama dengan nada serius.
Semua mahasiswa terlihat takut. Begitu juga dengan Ditya. Dia bukan takut dengan ularnya. Tapi dia takut akan ketinggian, itu sebabnya seumur hidup Ditya, dia tidak pernah mengikuti kegiatan outbond sekalipun.
'Bagaimanapun caranya aku harus melarikan diri dari sini.' pikir Ditya.
"Ayo giliran kalian masuk." kata Desta.