17 BERHARAP BERTEMU KEMBALI

Sudah biasa bagi Vin ketika melihat abangnya itu selalu murung tak bersemangat layaknya orang yang sedang patah hati. Terlihat sekali saat ini Van sedang melamun, entah apa yang laki-laki itu pikirkan, tapi yang jelas Vin sangat tidak suka melihat abangnya yang murung seperti ini.

Vin menghela nafas panjang, lalu berjalan menghampiri Van. Disana Vin bisa melihat jika Van tengah duduk dibalkon sembari melamun, "Bang," Panggil Vin yang kini berada disamping Van.

Van yang sedang melamun pun dibuat terkejut dengan kehadirannya, ia mengelus dadanya sembari menetralkan keterkejutannya itu. Vin menahan tawanya, tidak ingin merusak suasana hanya karena dirinya yang tertawa.

"Lo bikin gue kaget, ketok pintu dulu kek," Ujar Van sedikit geram dengan kelakuan adiknya itu.

"Ya, maaf. Akhir-akhir ini gue perhatiin lo ngelamun mulu, kenapa sih? Mikirin apa?"

Van menghela nafas, matanya memandang ke depan dengan kosong. Ingatannya langsung tertuju kembali ke hari-hari sebelumnya, bibir itu mendadak tersenyum ketika mengingat seorang perempuan yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya.

Vin yang melihatnya mendadak ngeri melihat abangnya yang tiba-tiba tersenyum tanpa sebab. Ia hampir saja ingin berlari terbirit-birit dan memberitahu kedua orang tuanya jika abangnya ini habis kerasukan dedemit dari luar rumah.

Sesaat Van tersadar dengan apa yang baru saja dirinya lakukan. Wajahnya kembali datar tanpa ekspresi, "Gak usah mikir macem-macem, gue getok pala lo." Ujar Van dingin seperti tahu apa yang ada dalam pikiran adiknya itu saat ini.

Seketika adiknya itu menyengir lebar, lalu satu tangannya mengelus pundak abangnya bermaksud menenangkan. Van pun langsung menoleh kearah tangan Vin yang sedang mengusap pundaknya dan langsung menepisnya.

"Lo kenapa sih, Bang? Moody-an lo, kek cewek lagi PMS!"

"Kepo."

"Tuh kan, gue tuh adek lo, Bang. Gue khawatir ini khawatir!"

"Khawatir?" Vin mengangguk sebagai jawaban. "Masa sih?" Tanya Van lagi sedikit menggoda adiknya.

"Iya!"

"Kalau khawatir berarti lo sayang sama gue,"

"Iya lah gue sayang, masa enggak." Van yang mendengarnya tersenyum smirk.

"Lompat dong,"

"Ha?!"

"Ck! Lompat."

Vin melihat kearah bawah balkon yang lumayan cukup itu. Kemudian ia menggelengkan kepalanya sembari memelas pada Van.

"Bang, lo mau gue mati?"

Van menghela nafas lagi, "Gue mau pergi."

Vin yang tengah memelas pun langsung bertanya, "Kemana sore-sore begini?" Tanya nya namun abangnya tak merespon sibuk memakai hoodie kesayangannya itu.

Setelah selesai memakai hoodie, laki-laki itu pun pergi keluar kamar dengan membawa kunci mobilnya. Vin yang melihatnya hanya menghela nafas, memang abangnya itu jika sedang seperti ini akan sulit untuk ditebak.

Moodnya saat ini benar-benar sangat buruk. Pikirannya kacau, bayangan perempuan cantik itu selalu mengganggu pikirannya. Ia sendiri pun tak mengerti apa yang tengah terjadi pada dirinya sendiri.

Hari sudah semakin sore dan saat ini Van sedang duduk di Taman. Entahlah apa yang membuat hatinya begitu ingin ke tempat ini lagi. Mata tajamnya itu melihat-lihat sekeliling Taman, seperti sedang mencari seseorang.

"Bego, mana mungkin dia ada." Keluh Van yang tengah menundukkan kepalanya itu.

Siapapun yang melihat pasti akan terpesona dengan aura yang dimiliki laki-laki itu. Terbukti sedari tadi banyak sekali perempuan-perempuan yang memandangnya dengan tatapan memuja.

Van mengabaikannya, ia tidak merasa risih sama sekali karena sudah terbiasa sedari kecil. Ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 17.30 yang sebentar lagi malam akan tiba.

Ia berdiri dari duduknya, mondar-mandir tak jelas seperti tengah menunggu seseorang padahal dirinya sendiri pun tak tahu kenapa bisa bersikap seperti ini.

"Hai," Sapa seseorang, Van yang sedang membelakanginya pun mendadak tersenyum tetapi tipis. Ia berusaha menetralkan jantungnya yang saat ini tiba-tiba berdetak kencang.

Van pun berbalik dengan senyum mengembang, tetapi tak berangsur lama ketika melihat seseorang yang menyapanya itu bukanlah seseorang yang ia cari dan tunggu beberapa hari ini.

Ia melihat perempuan itu dari atas sampai bawah, benar-benar cantik dan sepertinya bukan dari kalangan biasa. Dari sepatu, pakaian hingga aksesoris nya pun Van tahu jika itu adalah barang-barang mahal.

Kemudian Van merasa mereka berdua menjadi pusat perhatian. Benar saja, banyak kaum hawa yang berbisik-bisik membicarakannya. Ia pun merasa heran, masih ada yang berani mendekatinya disaat banyaknya perempuan yang tak berani mendekatinya.

Perempuan itu masih tersenyum manis kearahnya, "Nama aku, Aqilla Marenna Anderson."

Van menatapnya datar, tangannya ia masukkan keduanya pada saku celananya. Tanpa disadari itu malah membuatnya semakin tampan.

Perempuan itu merasa kesal karena tak ada respon sama sekali, bahkan tangannya pun mengambang tak terbalas. Namun, ia tetap berusaha terlihat baik-baik saja dihadapan Van.

"Males banget ngadepin cewek begini, dikira gue gak tahu apa cewek modelan kek dia." Batin Van yang menatap perempuan cantik itu dengan tatapan tajamnya.

Tatapannya itu berhasil membuat perempuan itu salah tingkah. Van yang melihatnya mengangkat satu alisnya, lalu berlalu pergi dari sana.

Malam pun tiba, Van masih tetap diam di Taman ini sejak sore tadi. Ia akhirnya bernafas lega karena akhirnya bisa terhindar dari perempuan tadi. Sekarang sudah pukul 19.00 malam.

Bayangan-bayangan tentang pertemuannya dengan gadis itu masih teringat jelas. Mata, alis, hidung, dan juga bibirnya yang indah itu Van masih mengingatnya.

"Aku berharap bisa ketemu lagi." Ujarnya sembari memandang langit malam ini yang begitu cantik.

Ketika sedang menatap langit itu, telinganya tak sengaja mendengar suara seseorang yang tengah berbicara. Ia pun menoleh dan ternyata ada seorang pria dan wanita yang sudah matang.

Namun ada sesuatu yang membuatnya tertarik, yaitu cara bicara seorang wanita itu yang terlihat benci pada pria itu. Sedangkan pria itu menatap wanita itu dengan tatapan kerinduan.

Tanpa disadarinya bahwa ingatannya tentang gadis yang ia pikirkan beberapa hari ini teralihkan oleh dua orang tua yang tengah bertengkar itu.

"Kasian anak mereka kalau tahu orang tuanya kaya gini." Ujar Van sembari menggelengkan kepalanya seakan memahami apa yang dirasakan sebagai seorang anak.

Van terkejut ketika melihat wanita itu membentak pria matang itu dengan tiba-tiba. Sepertinya masalah yang tengah terjadi bukanlah masalah sepele. Ia mendadak takut dan segera pergi dari sana karena merasa sudah mencampuri privasi orang lain.

Setelah menutup pintu mobilnya, ia menyandarkan tubuhnya pada jok mobilnya itu. Memejamkan matanya berusaha menetralkan pikirannya dan apa yang baru saja dirinya lihat.

Orang tuanya pun pernah bertengkar hebat karena perihal dirinya yang sempat menghilang di Taman itu. Ia juga sempat merasa bahwa dirinya hanyalah beban bagi Ayah dan Bundanya sendiri.

Masih dengan mata yang terpejam itu, sebelah matanya mengeluarkan air mata. Entah kenapa setelah melihat kejadian tadi, ia kembali merasa bersalah. Kini Van tahu, satu hal yang paling ia takuti selama hidupnya adalah melihat kedua orang tuanya bertengkar.

"Jangan pernah berantem lagi ya, Yah, Bund. Van gak mau lihat kalian saling bentak kaya gitu lagi, Van takut."

Setelah itu Van pun membenarkan posisinya, ia duduk dengan tegak, sebelah tangannya menghapus air matanya. Setelah itu menyalakan mobilnya dan berlalu pergi menjauh dari sana.

avataravatar
Next chapter