webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · Realistic
Not enough ratings
31 Chs

Selamat Dari Penculikan

"Kenapa, Pak Surya?" tanya Rachmat saat masuk ke dalam sumur dan melihat lelaki itu sedang terdiam mengamati sumur pompa.

"Ini, bagaimana cara memakainya?" tanya Surya malu-malu. Dia belum pernah menggunakan sumur pompa, jadi tak tahu cara mengambil air dengan cara memompa.

Rachmat tak bisa menahan diri, pecah suara tertawanya. "HAHAHA! Pak Surya tidak pernah melihat orang memakai sumur seperti ini?" tanyanya.

Surya menggeleng. "Kalau tahu buat apa saya panggil kamu!" ujarnya senewen.

"Sungguh? Belum pernah memakai sumur seperti ini?" ulang Rachmat lagi.

"Kalau saya sudah tahu, saya tak akan manggil kamu," ucap Surya. "Sudahlah, mau bantu nggak? Keburu siang ini. Kita harus segera kembali ke Jakarta," lanjut Surya.

"Siap, boss! Nih, begini," kata Rachmat sambil tangannya cekatan meraih tuas sumur dan mulai menariknya dengan gerakan konstan. Tak berapa lama air tampak mengalir keluar kemudian ditampung ke sebuah ember besar.

Lissa berteriak kegirangan melihat apa yang dikerjakan oleh Rachmat. "Hore! Airnya keluar," ujarnya.

Surya diam dan terus mengamati apa yang dilakukan pemuda. "Oh begitu saja, kalau semudah itu saya juga bisa," cetusnya.

"Sok, mau coba?" tawar Rachmat pada Surya.

Lelaki setengah baya itu maju ke depan dan mulai mengikuti apa yang dilakukan oleh Rachmat sebelumnya. "Ugh, ugh!" keluhnya saat menarik tuas yang terasa berat itu.

"Berat juga," ujarnya sambil menghapus keringat yang mulai bermunculan di dahinya.

Rachmat tertawa terkekek. "Hehehe! Sudah, saya sajalah, Pak. Biar cepat," ucapnya.

Surya menyerahkan pompa air itu lagi pada Rachmat. Ia sendiri segera mencuci muka, demikian juga dengan Lissa.

Selesai urusan di kamar mandi, ketiganya menjumpai Abah yang sudah menunggu di beranda rumah.

Tampak bakul-bakul berisi nasi yang masih mengebul mengeluarkan aroma wangi nasi yang baru matang di masak. Beraneka lauk bertumpuk di dalam nampan lebar menemaninya. Sangat menggugah selera.

"Bagaimana tidurnya semalam?" tanya Abah pada Surya.

"Nyenyak, Abah. Enak sekali udara di sini," jawab Surya.

"Iya, Pak. Namanya di desa ya seperti ini, semuanya masih alami dan bersih. Belum banyak keramaian," jawab Abah.

Surya mengambil tempat duduk di depan Abah, Lissa dan Rachmat mengikutinya di sebelahnya.

"Ayo, sarapan dulu. Maaf, seadanya. Di desa ya cuma ada seperti ini," imbuhnya.

Rachmat berpandangan dengan Surya. "Cuma? Ini sudah banyak sekali, Abah. Seperti di surga saja tampaknya," kelakar Rachmat.

Semuanya tertawa mendengar lelucon yang dilontarkan Rachmat. Mereka kemudian sarapan sambil di selingi obrolan ringan.

Abah bertanya dari mana asalnya Rachmat yang kemudian dijawab heboh oleh pemuda itu. Ia bercerita tentang desanya yang suasananya mirip dengan desa Bojongkoneng.

Abah mendengar penjelasn Rachmat sambil mengangguk-angguk. Sementara Surya sibuk menyuapi Lissa makan.

Saat tengah makan, tiba-tiba Abah Rudi menanyakan sesuatu.

"Pak Surya, apakah sering ke Malang?" tanyanya.

Surya menghentikan suapan mulutnya dan menjawab. "Pernah, dan mungkin ke depan akan lebih sering mengunjungi kota itu," katanya.

Abah terlihat mengangguk-angguk. "Oh, jadi begitu," tanggapnya.

"Memangnya kenapa, Abah?" tanya Surya sedikit penasaran.

"Tidak apa-apa, hanya saja berhati-hatilah kalau kebetulan sedang di sana. Ada apa-apa Pak Surya bisa menghubungi saya," pesan Abah Rudi.

Surya hendak banyak bertanya, tapi diurungkannya. "Ya, terima kasih, Abah. Akan saya simpan nomer gawainya," ucapnya.

"Malang itu rumah kita yang dulu di sana, Pa," celetuk Lissa sambil mengunyah makanan.

"Iya, sayang. Papa sudah tahu," ujar Surya.

Lelaki itu tentu saja masih teringat kejadian saat mengunjungi Kopi Tulang. Tapi ia tak ingin menceritakannya saat ini. Ia ingin segera pulang, banyak urusan di Jakarta yang harus ditanganinya. Hari ini pun ia harus ijin dari kantor dengan alasan ada keperluan mendadak di luar kota.

Selesai menghabiskan sarapan, Surya berpamitan. Abah melepas kepergian mereka dengan banyak petuah dan pesan khusus. Utamanya untuk keselamatan mereka. Surya mendengarkan dan berterima kasih.

Lelaki itu masih tak habis pikir, datang jadi 'musuh' pulangnya mereka seperti keluarga jauh yang lama tak bersua.

Beberapa anak buah Abah diperintahkan untuk mengawal dan menunjukkan jalan bagi kendaraan Surya sampai di jalan besar. Abah khawatir mereka tersesat lagi seperti saat kedatangannya.

Benar saja, karena mengikuti jalan yang ditunjukkan anak buah Abah, mereka dapat cepat keluar dari daerah itu. Mobil hitam kesayangan Surya itu kini melaju di jalanan tol menuju ibu kita.

Lissa berhasil diselamatkan dari 'penculikan' yang aneh. Surya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Benar-benar aneh," gumamnya.

"Kenapa, Pak?" tanya Rachmat heran.

"Oh, tak apa-apa. Aneh saja, kita datang sebagai musuh tapi di sana disambut dan dijamu bak keluarga jauh. Bukankah aneh?" jawabnya sembari balik bertanya.

"Hmm, biasa saja sih, Pak," jawab Rachmat pendek.

"Iya, bagi kamu biasa. Tapi kamu tak rasakan bagaimana paniknya pikiran saat mendengar Lissa diculik, kalo hilang sungguhan bagaimana? Kalo minta tebusan yang segunung apa kita bisa menuruti permintaan si penculik?" ujar Surya.

"Untungnya tidak jadi kejadian seperti itu, Pak. Sudahlah, lupakan kejadian kemarin. Semuanya sudah baik-baik saja sekarang," pungkas Surya. "Ya 'kan, Neng Lissa?" imbuhnya minta dukungan anak kecil itu.

"Iya, aku nggak apa-apa, kok," ucap Lissa.

Lissa dan Rachmat duduk di kursi penumpang belakang, Surya sendiri di depan memegang kemudian.

"Pak Surya tidak capek? Katanya kalau capek mau gantian menyetir dengan saya?" tanya Rachmat sembari menawarkan diri.

"Sudah tak usah, sebentar lagi juga sampai," jawab Surya.

***

Sarah dan Bella berlari keluar rumah saat melihat mobil Surya memasuki halaman rumah mereka. Perasaan mereka campur aduk antara lega dan bahagia bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang disayanginya.

Sarah langsung memeluk dan menciumi Lissa begitu anak kecil itu turun dari mobil. Ia seakan takut kehilangan bocah itu lagi.

"Lissa, kamu tak apa-apa, Nak?" tanya Sarah sambil memeriksa seluruh tubuh anak itu.

Lissa menggeleng dan tersenyum manis. "Lissa nggak apa-apa, Ibu," ucapnya.

Tangan Lissa terentang ia ingin memeluk Bella yang berdiri di depannya. Di sambut sedemikian rupa hati Bella luluh. 'Ah, harusnya sebagai kakak aku tak boleh melepaskan pengawasanku darinya,' bisik hatinya.

Bella memeluk Lissa erat dan mencubit pipinya. "Lain kali mainnya sama Kak Bella saja ya, jangan main-main sendiri, jangan pergi-pergi dari rumah," ucapnya.

"Iya, iya … aku juga nggak pergi dari rumah, cuma ke depan situ," tunjuk Lissa ke arah lokasi dia 'diculik' si Abah.

"Sudah, ayo masuk. Besok Ayah bikinkan pagar rumah saja, biar anak-anak tak bisa keluar semaunya," ujar Surya bergurau.

"Dih, Ayah. Masa keluar rumah saja nggak boleh," keluh Bella.

"Buat keamanan kalian, kenapa nggak?" balas Surya. Ia melemparkan tubuhnya di kursi sofa panjang. Tubuhnya baru terasa letih sekali setelah sampai di rumah.

"Ayah, mau minum apa? Sudah makan?" tanya Sarah.

Surya tak menjawab. Rupanya ia sudah tertidur dalam sekejap.

"Ayah pasti capek sekali,Bu." Bella berujar.

"Iya, Bella. Ya sudah, biarkan saja. Tutup pintunya dan nyalakan AC, biar ayah nyaman tidurnya," ujar Sarah. Ia sendiri masih menggendong Lissa.

"Lissa sudah makan?" tanyanya. Bocah itu mengangguk. Tangannya menunjuk bajunya yang sedari kemarin berlum berganti.

"Lissa belum mandi? Mau ganti baju?" tanya Sarah perhatian.

Anak kecil itu mengangguk cepat. "Aku belum mandi dan ganti baju dari kemarin, Bu," ucapnya.

"Oke, oke. Kita mandi sekarang ya," ajak Sarah. Ia membawa Lissa ke kamar mandi dan mengurus semua keperluannya.

Peristiwa hilangnya Lissa membuat seluruh anggota keluarga itu semakin perhatian dan berusaha benar-benar menjaga Lissa sepanjang waktu.