webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · Realistic
Not enough ratings
31 Chs

Kesembuhan

Surya membuka telapak tangannya. Abah Rudi menyalurkan tenaga dalam lewat kedua telapak tangannya yang mengarah ke bawah. Surya merasakan tangannya sedikit hangat. Rasa hangat itu pelan-pelan merambat dan menyebar ke seluruh tubuh.

Energi yang disalurkan Abah ke tubuh Surya membuat lelaki itu merasa nyaman dan mulai memejamkan mata. Rasa kantuk yang begitu kuat menyerangnya. Kira-kira setengah jam kemudian Abah Rudi menyelesaikan transfer energinya.

"Sudah cukup ya?" katanya.

Surya nyaris tak mendengar apa yang dikatakan Abah jika tak disenggol oleh Rachmat. "Pak Surya, sudah selesai," bisiknya.

Surya membuka matanya dan menatap sekeliling. Dilihatnya Lissa masih tertidur pulas di sampingnya.

"Pak, sudah larut malam begini, kita mau pulang atau bagaimana?" tanya Rachmat mengingatkan Surya kalau mereka berada di tempat yang jauh.

Surya tampak berpikir sejenak. Bisa saja mereka nekat pulang, tapi ia tak yakin Rachmat akan hafal jalan yang harus dilaluinya. Apalagi jika teringat kejadian tadi petang. Menjelang malam saja kejadiannya sudah aneh begitu apalagi jika menjelang tengah malam begini? Belum lagi Lissa yang masih tertidur nyenyak. Kasihan jika harus membawa anak kecil menempuh perjalanan yang jauh.

"Abah, adakah penginapan dekat sini?" tanya Surya pada Rudi.

Lelaki yang ditanya terkekeh. "Menginap saja di gubuk saya ini, Tuan. Tak ada hotel atau penginapan yang dekat dari desa ini. Desa ini cukup jauh dari kota dan jalan raya," ujarnya.

"Tapi saya tak mau merepotkan, Abah," tolak Surya. Dia benar merasa tak enak karena nanti akan merepotkan orang-orang di sana.

"Bermalam lah di sini barang semalam, sekalian saya memastikan energi negatif atau arwah jahat yang mengikuti anak itu tak kembali lagi. Saya menjaganya," jelas Abah Rudi

Penjelasan terakhir Abah membuat Surya berpikir ulang. Benar saja, demi Lissa, sebaiknya memang mereka bermalam di sana. Esok hari ketika sudah terang baru jalan lagi.

"Bagaimana, Tuan Muda? Mau menginap di sini 'kan? Kamar sudah saya siapkan, memang biasa dipakai oleh tamu jauh yang kemalaman," ujarnya. "Yayan, tolong antar tamu-tamu ini beristirahat," perintahnya.

Seorang pemuda tanggung mengajak Surya dan Rachmat mengikutinya.

Surya membopong Lissa dan mengikuti langkah Yayan. Mereka ditempatkan dalam kamar yang cukup luas dengan dua tempat tidur yang berjajar. Surya mengambil satu tempat tidur bersama dengan Lissa. Sedangkan Rachmat segera membaringkan tubuhnya di dipan satunya. Pemuda itu tampak kelelahan dan mengantuk.

Surya merebahkan tubuhnya yang juga lelah. Tetapi, bunyi kerucuk-kerucuk terdengar dari perutnya, Surya baru teringat, seharian ini ia belum makan. Tengah malam begini tak mungkin juga ia mencari makanan.

Lelaki itu melihat ke arah meja yang ada di kamar. Beruntung di sana ada minuman dan buah-buahan serta camilan. Surya makan dan minum sekedar untuk menggajal perut.

"Hmm, enak juga hidup di desa begini. Suasana masih sepi dan udara terasa segar. Cocok untuk istirahat," batinnya.

Selesai makan dan perutnya anteng, Surya kembali merebahkan tubuh di samping anak kecilnya. "Lissa ... Hailey … Aku tak mengira di usiaku yang sekarang akan bertemu denganmu, dengan cara yang aneh dan tak pernah terpikirkan olehku," gumam Surya.

Surya berbaring sambil menatap Lissa sampai matanya terpejam kelelahan. Lelaki itu pun jatuh tertidur dengan senyuman kecil tersungging di bibirnya.

***

Pagi-pagi Surya sudah terbangun. Badannya terasa lebih segar dan bertenaga. Ia membuka matanya dan melihat Lissa yang juga sudah bangun dan sedang menatapnya sambil tersenyum manis.

"Selamat pagi, Pa," sapanya. Sesekali Lissa menguap dan menutup mulutnya.

"Pagi, sayang. Kamu masih ngantuk? Tidur saja sebentar lagi, Papa akan menjagamu," ucap Surya.

"Sudah nggak ngantuk, Pa. Tapi aku suka tidur-tiduran sebentar lagi," ocehnya.

"Hmm, dasar Hailey. Walaupun sudah bangun sukanya bermalas-malasan dulu sampai dipanggil disuruh mandi," ujar Surya.

Mata Lissa membesar. "Papa bisa ingat itu?" tanyanya heran.

Surya mengangguk. Iya, sekarang ia akan mengingat kejadian itu segampang ia melihat tayangan film yang melintas. Mungkin karena pengaruh pengobatan semalam atau apa, ia tak tahu. Hanya saja, ia tak lagi merasakan sakit atau kesedihan yang datang tiba-tiba. Rasa-rasa yang tak nyaman itu terasa seperti menguap saat dia tertidur.

"Pa … Apa Papa teringat siapa Mama Hailey?" tanya Lissa tiba-tiba dengan pertanyaan aneh.

Surya tertegun. "Sayang, sudah ya. Tak usah dicari-cari, ketemu Papa saja sudah cukup 'kan?" Lagi pula Lissa sekarang juga punya Ibu Sarah di rumah, istri Papa yang sekarang. Kehidupan kita sudah berbeda dengan dulu," jelas Surya.

"Iya, Pa. Tak usah dicari-cari … tapi kalau ketemu bagaimana?" ujar Lissa masih saja penasaran.

"Kalau ketemu ya biarkan saja, masing-masing pasti sudah punya kehidupan yang berbeda, yang penting sekarang Lissa sudah sama Papa. Harus cepat sembuh dan sehat lagi ya," kata Surya.

Lissa mengangguk sepakat. "Lissa sudah sembuh kok, Pa? Lihat 'kan? Sudah tidak batuk-batuk lagi," ucapnya.

Surya merengkuh anak kecil itu dalam pelukannya. "Iya, sayang. Kamu sudah sembuh. Sepulang dari sini nanti, Lissa akan jadi anak Papa secara resmi ya," kata Surya.

Lissa menyetujuinya. "Oke, aku senang jadi anak Papa. Tapi … aku tetap boleh ketemu mamI Gita dan teman-temanku?" tanyanya.

"tentu saja boleh, sayang," jawab Surya.

Seseorang terdengar mengetuk pintu kamar mereka dari luar. Surya membukanya dan melihat seorang gadis remaja berdiri di depan sana.

"Selamat pagi, Pak. Saya di suruh Abah menyampaikan pesan, sarapan sudah siap. Abah mengajak Bapak makan bersama," ucapnya.

"Hah? Sepagi ini? Sarapan?" tanya Surya pagi.

Remaja perempuan itu malah ketawa lirih. "Sudah siang, Pak. Lihat jam di dinding itu!" ujarnya serasa tangannya menunjuk ke jam dinging bulat berwarna putih yang menempel di tembok.

"MasyaAllah, sudah leat jam 7 pagi rupanya. Pantesan Abah mengajak sarapan!" seru Surya. Mereka terlalu nyaman tidur hingga bangun kesiangan.

"Neng, kamar mandi di mana ya?" tanya Surya

. Tentu saja sebelum sarapan mereka harus ke kamar mandi, setidaknya untuk membasuh muka.

"Kamar mandi ada di samping rumah, lewat pintu itu, langsung turun nanti sudah sampai ke kamar mandi," jelas gadis remaja itu.

"Oh ya, makasih ya, Neng. Sebentar kami akan ke tempat Abah. Saya bangunkan dulu teman saya," ujar Surya sambil melirik ke arah Rachmat yang masih tertidur bergelung sarung.

Remaja itu mengiyakan kemudian berlalu dari sana.

Surya menggoyang kaki Rachmat, bermaksud membangunkannya.

"Mat! Rachmat!! Bangun euy sudah siang!" katanya.

Pemuda itu menggeliat sebentar dan kemudian membalikkan punggung membelakangi Surya. Ia masih ingin meneruskan tidurnya.

Surya tak sabar. Ia mengguncang tubuh Rachmat dengan keras. "Mat! Kita pulang sekarang, kalau kamu tak mau bangun, aku tinggal!" serunya.

Rachmat tergagap. "Hah? Pulang? Sudah mau pulang, Pak Surya?" tanyanya sambil mengusap wajah ngantuknya.

"Iya, pulang. Kamu kalau masih betah di sini ya sudah saya tinggal," ketus Surya.

"Aduh, jangan dong, Pak. Nanti saya tak tahu jalan pulang sendiri," ucap pemuda itu. Ia segera beranjak dari dipan.

"Kamar mandi di mana ya?" tanyanya.

"Eit, saya dulu. Gantian. Kamu jaga Lissa dulu di sini, saya cuci muka sebentar ke kamar mandi," ujar Surya.

"Ya, Pak. Saya tunggu. Saya di sini sama neng Lissa ya?" ucapnya sambil melihat ke arah Lissa yang cepat mengangguk.

"Habis ini kita pulang, Pak Rachmat." Lissa memberitahu Rachmat, seolah apa yang dikatakannya berita yang besar.

"Benar, kita pulang. Biar mami Gita tidak kebingungan di rumah," kata Rachmat.

Lissa menggeleng. "Aku nggak pulang ke rumah singgah lagi, aku akan pulang ke rumah Papa," jelasnya.

"Oh iya iya, aku lupa Neng Lissa sudah punya rumah baru," ujar Rachmat sambil tersenyum.

Ia ikut senang akhirnya Lissa menemukan orang tua dan keluarga yang mau menerimanya sebagai anak.

"Mat, ke sini sebentar bisa?!" terdengar seru Surya dari arah kamar mandi.

Rachmat bergegas berjalan ke sana.

"Lissa dibawa, Mat!" seru Surya lagi.

"Iya, iya, Pak. Siap!" jawab Rachmat dengan suara yang dikeraskan.

"Papa kenapa, Pak?" tanya Lissa ingin tahu.

"Nggak tahu, Neng. Ayo kita lihat!"