16 Debaran Cinta

"Ma...af, aku hanya memastikan kau sudah tidur atau belum, " Lediya mengangkat kepalanya merasa kaget sekaligus gugup saat kedua mata mereka bertatapan.

"Kau terus menatapku, adakah yang ingin kau bicarakan padaku?" tanya Tjhin sembari menangkup pipi Lediya dengan kedua telapak tangannya.

-Ada apa denganku, jantungku terus berdetak kencang, bagaimana kalau pria ini mendengarnya bisa ge er dia. (batin Lediya).

"Maaf...maaf karena telah mengganggu, kembali lah tidur," wanita itu segera bangkit lalu mengambil bantal, setelah itu berlari kesofa.

"Kau tidak perlu tidur disana, ranjang mu cukup besar untuk kau dan aku tidur diatasnya," ucap Tjhin lalu menarik selimut menutupi tubuhnya sampai ke pundak.

"Tidak apa-apa, bagiku sofa ini cukup nyaman," sahut Lediya.

"Tidak akan ada yang terjadi antara kau dan aku meski kita tidur diranjang yang sama, kemarilah," Tjhin menepuk kasur disampingnya.

Lediya menarik nafas dalam, dengan berat hati dia mengikuti perkataan calon suaminya itu, ia tahu kalau pria itu tidak akan pernah menyentuhnya hanya saja ia merasa tidak nyaman tidur dengan orang lain, apalagi seorang pria.

-Yang aku takutkan ialah diriku sendiri, bagaimana jika aku tiba-tiba menerkammu seperti serigala yang sedang lapar.

(batin Lediya).

Lalu wanita itu mengingat sesuatu,

"Tjhin apa kamu sudah tidur?" tanya wanita itu memastikan.

Namun tidak mendapat jawaban apapun dari pria disampingnya, wanita itu pun bangun terduduk diatas ranjang.

"Hei kamu belum tidurkan?, ada yang ingin aku bicarakan, bangunlah, " panggilnya lagi sembari menggoyangkan pundak pria yang sedang tidur membelakanginya itu namun pria itu tetap tidak menggubrisnya.

"Ish, pria sok cool kita harus bicara, " Lediya sedikit mengencangkan nada suaranya.

Akhirnya terlihat pergerakan dari pria itu, Tjhin pun turut bangun dan duduk menyamai wanita itu dengan kesal lalu menatap tajam Lediya.

"Apa yang ingin kau tanyakan?langsung saja to the point karena aku sudah mengantuk," ucap pria itu seperti biasa dingin dan datar.

"Kau bilang pernikahan kita ini akan dirahasiakan, tapi kenapa orang tuamu menikahkan kita di hotel mewah milik kalian itu, bukankah kemungkinan seluruh karyawan mu termasuk media akan mengetahui hal itu?" tanya Lediya serius.

"Aku juga sama sepertimu baru mengetahuinya saat papa mengatakannya tadi, " ucap Tjhin santai.

"Terus kenapa kamu tidak menolaknya tadi dan hanya terdiam mendengar pelaksanaan acara pernikahan kita diadakan dihotel milik keluargamu?" ucap wanita itu heran.

"Tenang saja bulan ini maupun bulan depan ballroom hotel kita sudah fullbook, jadi itu bisa menjadi alasan untuk kita tidak menikah disana, tidurlah sudah malam," jawab Tjhin lalu kembali membaringkan tubuhnya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Setelah itu Lidza pun turut membaringkan tubuhnya, tidak ada pembicaraan lagi diantara ke duanya. Tjhin maupun Lediya sama-sama terlelap karena ke duanya memang sudah sangat lelah seharian ini.

💖💖💖💖💖

Keesokan harinya, benar-benar tidak terjadi apapun diantara keduanya, mereka hanya tidur diatas ranjang tanpa sentuhan fisik.

Tjhin terbangun saat merasakan sesuatu yang hangat di wajahnya dan menyilaukan, saat membuka matanya terlihat sosok cantik didepan nya sudah berpakaian rapi.

Kreeeek...

Lediya telah membuka gorden di kamarnya.

"Pagi," Lediya tersenyum wajahnya tampak cerah, secerah mentari.

Tjhin tidak membalas sapaan pagi wanita itu.

"Kau sudah rapi, sekarang sudah jam berapa memangnya?" pria itu melirik ke jam dinding kamar, takut kalau Lediya telat membangunkannya.

Hari ini Tjhin ada meeting penting di pagi hari, terlebih lagi ia harus mengantarkan Lediya kerumahnya dahulu untuk menemani Almira ibunya.

"Tenang ini masih pagi, meeting mu jam 10 kan!, cepatlah mandi lalu kita sarapan bersama ayahku, aku menunggumu dibawah ya, " wanita itu hendak melangkah keluar kamar.

"Tunggu aku disini kita turun bersama-sama nanti," Tjhin segera berjalan menuju kamar mandinya.

Lediya menarik nafas.

"Huuh, ngapain dia menyuruh ku menunggunya, masa turun saja harus ditemenin bagaimana kalau aku meli....ah sungguh memalukan."

Lediya tersipu malu, lalu menangkup pipinya sendiri dengan ke dua tangan karena mengingat kejadian kemarin saat Tjhin keluar dari kamar mandinya hanya terbelit handuk dipinggang nya, terlihat dadanya yang bidang, perut sixpacknya, rambut hitamnya yang basah menetes mengikuti alur tulang pipinya, ditambah bibir tebalnya yang merah muda terdapat belahan dibibir bawah pria itu sangatlah seksi, ingin rasanya Lediya berlari kedalam pelukan Tjhin, dan menggigit bibir seksinya itu, wanita itu sempat mengecupnya sedikit saat tersandung, rasa bibir calon suaminya begitu kenyal dan manis membuatnya sempat ingin memberikan kecupan yang lebih tapi Lediya mengurungkannya.

"Ehem, kau sedang memikirkan apa," tiba-tiba Tjhin sudah berada didekatnya.

"Haaa, kapan kau keluar dari kamar mandi dan menuju walk in closet kok aku tidak melihatnya?" wanita itu bingung karena Tjhin sudah rapi memakai kemeja dan jasnya.

"Gimana bisa melihatnya, sedari tadi aku melihatmu melamun dan tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila," ledek Tjhin.

"Apa yang sedang kau pikirkan Diya, atau kau sedang memikirkan....?" Tjhin memicingkan matanya curiga.

"Aku tidak memikirkan mu kok, aku hanya.... , " Lediya segera menutup mulutnya.

"Oo berarti tadi kamu sedang memikirkan diriku ya, benarkah....," Tjhin melangkahkan kakinya mendekat membuat jantung wanita itu kembali berdebar tak menentu.

" Sudah ku bilang aku tidak memikirkan mu aku sedang memikirkan..., ah sudahlah aku mau turun, aku malas meladeni mu. "

Wanita itu segera bangkit dan berlari sebelum pria itu makin mendekat yang akan membuat jantungnya berolahraga sekaligus malu nantinya bila terdengar, namun Tjhin menggapai tangannya lalu menarik wanita itu tepat dihadapannya, tangan pria itu terangkat menjuntaikan dasi kedepan mata Lediya,

"Pakaikanku dasi. "

"Kenapa aku harus memakai kan mu dasi?"

"Sebentar lagi kau akan menjadi istriku, memakaikan dasi suami adalah kewajiban seorang istri, jadi biasakan dari sekarang. "

Dengan terpaksa Lediya mengambil dasi dari tangan Tjhin dengan wajah datar dan pura-pura cuek, ia menaikan kerah kemeja pria itu dan melingkarkan dasi ke leher lalu menyimpulnya dengan sangat rapi, Lediya memang pandai menyembunyikan perasaan nya padahal jatungnya sedang berdebar seolah mau meledak saat ini karena berhadapan dekat dengan pria yang telah membuatnya mulai merasakan getaran-getaran aneh.

Namun apakah pria itu merasakan hal yang sama, tentu saja tidak, sebaliknya Tjhin menatap tajam wanita dihadapannya itu dengan perasaan benci, dalam hatinya mengatakan harusnya Jeniferlah yang saat ini memakaikan dirinya dasi bukan putri si pembunuh didepannya ini.

Setelah Lediya selesai memakaikannya dasi, Tjhin menuju kaca untuk memastikan dasi yang dipakaikan wanita itu sudah tersimpul dengan tepat dan rapi, ia pun tersenyum puas.

"Hmm, kau pintar juga memakaikan dasi Diya."

"Tentu saja,aku sering memakaikan Dasi ayahku dari aku masih remaja karena ibuku sudah tiada."

"Pantas ikatan simpul dasimu sungguh sempurna, " Tjhin memuji.

"Kau sudah siap turun untuk sarapan belum? aku sudah lapar, kau laki-laki tapi lamanya berpakaian dan dandanmu hampir menyamai perempuan," ucap Lediya dengan nada kesal.

"Cih, ambil dan pakaikan sepatu ku," Tjhin segera mendudukan bokongnya di sofa.

Mata Lediya seketika melebar.

"Apa aku juga harus memakaikanmu sepatu, kau kira aku pelayanmu haaa, " teriak wanita itu dengan nada kesal.

"Selama ini yang menyiapkan air mandi, memakaikanku jas, sepatu, dll adalah nyonya Kim dan asisten pelayannya, aku tidak terbiasa mengenakannya sendiri. lagipula setelah kita menikah semua tugas itu kau yang akan melakukannya karena itu memang tugas utama seorang istri, jadi kau harus berlatih dari sekarang. Cepat pakaikan sepatuku!" Tjhin memerintah.

-S**l, kalau bukan karena demi perusahaan ayahku sungguh tak sudi aku menikah dengan pria dingin, b******k, dan manja seperti mu. Aaah mungkin dikehidupanku sebelumnya aku ini seorang pengkhianat. (batin Lediya).

"Hey kenapa melamun, cepat kemari pakaikanku sepatuku."

Lediya berjalan sembari menghentakan kaki dengan wajah cemberut menuju walk in closet dengan kekesalan yang hampir mencapai ubun-ubun.

Tak lama wanita itu keluar dengan membawa sepasang sepatu pria, lalu melangkah menuju Tjhin yang dari tadi sudah menunggunya di sofa, ia berjongkok lalu memakaikan sepatu kekaki pria itu.

"Sudah selesai tuan muda, sekarang bisakah kita segera turun dan makan?" Lediya segera berjalan dengan kesal lalu segera membuka pintu kamar meninggalkan pria itu tanpa mau menoleh.

Ia tidak ingin menunggu lagi karena bisa-bisa Tjhin menyuruhnya untuk melakukan ini dan itu lagi kepadanya.

Pria itu menyeringai melihat Lediya yang sedang kesal setengah mati padanya,

"Ini baru permulaan, akan ada banyak kejutan yang akan membuatmu menyesal juga sengsara karena telah menikah denganku, dan kupastikan ayahmu memohon belas kasihan di kakiku untukmu."

Tjhin pun segera beranjak pergi menyusul dibelakang Lediya.

"Pagi Diya, pagi nak Tjhin, " Hardian menyapa anak dan calon mantunya dengan senyuman hangatnya.

"Pagi juga ayah, " Lediya memeluk ayahnya erat dan disambut dengan belaian lembut tangan ayahnya di pucuk kepalanya.

"Pagi ," Tjhin hanya menjawab sekilas.

-Kau begitu mengasihi dan lembut kepada putrimu, tapi terhadap Jeje kekasihku kau sungguh kejam Hardian, apakah putri mu mengetahui kalau ayahnya hanyalah seorang pembunuh yang melarikan diri. Lihat saja aku akan membuat kebahagiaanmu dan putrimu, menjadi tangisan. (batin Tjhin).

Lediya merasa senang melihat ayahnya berbicara sangat akrab dengan calon menantunya itu sembari menikmati sarapan pagi membicarakan kerja sama keduanya sekaligus investasi yang akan Tjhin berikan ke perusahaan Harley.

Terlihat kebahagiaan terpancar di wajah Hardian , kini ia tidak perlu khawatir lagi akan kondisi finansial perusahaan, dan yang terpenting bagi Hardian, akhirnya putrinya menemukan jodoh yang tepat, ia yakin Tjhin pasti bisa memberikan kebahagiaan dan menjaga putri tercintanya itu.

Bersambung....

avataravatar
Next chapter