"Udah, ga papa. Tetep cantik kok."
Genta tersenyum nakal ke arah Kaylila.
Ucapan Genta yang sudah biasa membuatnya terbuai kini dianggapnya suatu hal yang biasa. Ia hanya menggendikkan bahunya. Langkahnya sempat terhenti sementara. Kemudian, tanpa bersuara, ia mengekori langkah Genta menuju ke mobilnya. Ia memastikan bahwa rumah telah berada dalam keadaan tertutup, setelah mengunci pintu rumahnya terlebih dahulu.
Genta membawa Kaylila ke sebuah warung pecel di seputaran perumahan tempat tinggal Kaylila. Genta memesan 2 porsi nasi pecel dan teh manis hangat. Selama menunggu pesanan mereka datang, Genta sibuk berselancar dengan androidnya.
Sementara itu, Kaylila hanya duduk sambil mengamati jalanan yang ramai dengan pejalan kaki. Karena hari Minggu, kebanyakan para penghuni perumahan memanfaatkan waktunya dengan berolahraga pagi di sekitaran komplek. Tak jarang, mereka hanya sekedar lari marathon bersama keluarga.
Pikiran Kaylila kembali tertuju kepada Nosa.
Pernikahan dengan perjanjian, tanpa cinta. Saling menguntungkan. Aku bisa menikah sesuai dengan tempo yang ditetapkan mama dan papa, dan dia juga bisa membahagiakan kedua orangtuanya karena akhirnya juga menikah. Tapi, bagaimana dengan mas Genta? Aku tidak akan sanggup hidup tanpanya.
Tapi, bila aku tidak segera menikah, bukankah lebih gawat lagi? Mama dan papa akan menjodohkan aku dengan orang yang tidak kukenal, kemudian aku harus kembali tinggal di Jambi? Aku tidak mau pulang kesana, aku ingin berkarir disini. Seandainya aku menceritakan hal ini kepada Mas Genta, apakah dia akan menyetujuinya?
Kaylila, jangan bodoh. Jangan menggali kuburmu sendiri. Memangnya Genta akan menyetujui niat si makhluk menyebalkan itu untuk menikahimu? Setelah setahun, kamu bercerai, dan kembali kepada Genta? Apakah itu yang kamu maksud? Apakah kamu yakin Genta akan kembali menerima jandamu? Jangan konyol!
"Ahhhh…. Tidak tidak tidak. Reset!"
Tanpa Kaylila sadari, dia berbicara sendiri sambil menepuk kepalanya dengan kedua tangannya. Genta terkejut melihat keanehan Kaylila hari ini.
"Sayang, kamu kenapa sih? Aku jadi bingung."
"Tidak apa-apa kok mas. Aku baik-baik saja."
"Tapi aku jadi khawatir kalau lihat kamu begini."
"Iya sih. Masih dengan tema yang sama seperti hari kemarin."
Genta sontak terdiam mendengar ucapan Kaylila.
"Sudahlah Yang. Jangan pernah membahas itu lagi. Aku sudah muak mendengarnya."
Kaylila terkejut mendengar apa yang dikatakan Genta. Genta yang lembut, tidak pernah berbicara dengan kasar dan nada tinggi, tiba-tiba kini berbicara sambil membentak Kaylila. Mata Kaylila berkaca-kaca, ingin menangis, namun ditahan.
Kecewa dengan sikap Genta yang tidak mengerti gundahnya perasaannya. Kaylila langsung berdiri dan berlari keluar menjauhi warung. Genta segera mengejar Kaylila, kemudian memegang pergelangan tangan Kaylila dengan kuatnya. Kaylila menarik tangannya, namun apalah daya, Kaylila kalah kekuatan dengan Genta. Pergelangan tangan Kaylila memerah, dan Kaylila segera menghentikan larinya.
"Sayang, jangan begitu. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Tolong mengerti dengan keadaanku. Kamu tahu kan bagaimana keadaan kedua orangtuaku? Ibuku yang istri kedua, sementara bapakku tidak pernah menafkahi ibu dan aku. Aku masih trauma dengan keadaan itu. Aku hanya ingin memantapkan hatiku terlebih dahulu sampai aku siap. Aku akan segera menghalalkanmu, Sayang. Tolong bersabarlah, sedikit lagi."
Kaylila tak dapat menahan tangis. Tangisnya pun pecah. Kaylila yang sesenggukan, tak mampu berbicara. Orang yang lalu lalang melewati mereka mengamati, seolah olah bertanya, ada apa dengan mereka berdua. Setelah sedikit menenangkan diri, Kaylila berusaha berbicara.
"Mas, apakah kamu mencintaiku?"
Genta merendahkan diri, bersimpuh dengan kedua lututnya, dengan kedua tangannya masih memegang erat tangan Kaylila. Orang-orang semakin banyak yang memperhatikan mereka berdua.
Kaylila malu, ingin melepaskan tangan dan meninggalkan Genta, tapi kuatnya pegangan Genta pada pergelangan tangannya membuat Kaylila tidak sanggup melepaskan diri. Sikap Genta yang selalu bersimpuh begini adalah senjata baginya untuk meluluhkan hati Kaylila.
Setiap kali mereka bertengkar, Kaylila akan luluh hanya dengan permohonan maaf dari Genta sembari berlutut. Kali ini Kaylila mulai meragukan hatinya pada Genta. Kaylila mulai meragukan bahwa hatinya akan luluh kali ini.
"Astaga Kaylila! Apa maksudmu menanyakan hal itu? Apakah perbuatanku, kasih sayangku selama ini tidak cukup membuktikan bahwa kamu adalah cintaku. Aku mencintaimu. Tidak cukupkah itu?"
"Kamu ingin aku mengerti kamu? Selama ini apakah masih kurang aku mengerti kamu? Tidakkah kamu mencoba untuk mengerti aku kali ini? Sekali ini saja."
"Yang, kumohon, jangan begini lagi. Please… Mengertilah aku. Kali ini saja."
"Maafkan aku mas. Kali ini aku tidak bisa. Daripada aku harus meninggalkanmu secara paksa karena kedua orangtuaku yang akan segera menjodohkanku, lebih baik kita akhiri hubungan kita sampai disini. Aku sudah tidak sanggup lagi. Kumohon padamu. Lepaskan aku."
Kaylila menyentakkan tangan Genta dengan sekuat tenaga. Sudah tak dipedulikannya lagi rasa sakit di pergelangan tangannya dan tatapan iba dari para pejalan kaki. Kaylila segera berlalu setengah berlari meninggalkan Genta yang masih duduk bersimpuh.
Air mata Kaylila mengalir deras, menganak sungai, penglihatannya kabur, hingga sulit baginya melihat apa yang ada di hadapannya.
Kemudian brukkkk, dan Kaylila terjatuh setelah menabrak seseorang yang berada dihadapannya. Kaylila menengadahkan kepalanya, dan tidak disangka, di hadapannya berdiri si pria menyebalkan itu, Nosa, dengan tatapan iba yang ditujukan padanya.
Lama mereka terpaku satu sama lain, kemudian Nosa mengulurkan tangannya. Kaylila tak kunjung menyambut, keraguan menghampiri, kemudian sadar bahwa sedari tadi menjadi perhatian orang banyak, Kaylila menerima uluran tangan Nosa. Nosa menarik tangan Kaylila, membantunya berdiri. Kemudian menarik Kaylila menjauh dari kerumunan orang banyak.
Sejenak Kaylila terpukau, kemudian terpaku, menatap Nosa kali ini. Santai, dengan setelan olahraga berwarna merah maroon dan sepatu olahraga warna senada. Kaylila mengusir rasa kekaguman pada sosok Nosa.
Kemudian Kaylila mencoba membandingkan Genta dan Nosa. Genta memiliki wajah rupawan, tidak pernah hilang senyum dari wajahnya, dengan kulit putih bersih, dan rambut ikal yang selalu rapi. Genta berkepribadian hangat dan sangat perhatian. Genta tak pernah melewatkan satu waktu pun jauh atau tanpa mendengarkan kabar berita dari Kaylila.
Tapi Genta tidak setinggi dan se-atletis Nosa. Nosa yang memiliki wajah tampan, tatapan mata yang tajam, beralis tebal, rambut lurus yang selalu dipotong rapi, menunjukkan sikap dewasa dan matang, jarang sekali tersenyum, Nosa cenderung menunjukkan sosoknya yang dingin.
Nosa masih memegang pergelangan tangan Kaylila sambil setengah berlari hingga jauh, sampai tak tampak lagi sosok Genta. Entah apa yang terjadi pada Genta saat ini. Nosa menghentikan langkahnya, begitu pula dengan Kaylila. Sepertinya Nosa baru menyadari bahwa sedari tadi dia memegang pergelangan Kaylila tanpa melepaskannya. Nosa melepaskan pegangannya.
"Kamu sudah sarapan?"
Kaylila yang tidak menduga akan ditanyakan hal tersebut, segera menjawab dengan gelengan kepala. Nosa kemudian menarik tangan Kaylila lagi, setengah berlari mereka menuju area parkir, kemudian menaiki taksi yang standby saat itu.