webnovel

Lisya, The Guardian of Nature

Elf, dikenal sebagai ras yang paling dekat dengan alam, bersahabat dengan makhluk hidup, berhubungan baik dengan para roh, juga satu satunya ras di dunia yang mampu menggunakan sihir alam. Selama ini elf telah mengisolasi diri mereka dari dunia luar demi melindungi 'pusaka' yang telah ada sejak dahulu kala. Diberkahi dengan sihir unik, elf tidak mengenal 'teknologi' dunia luar. Hingga... kelahiran seorang anak elf mengubah takdir seluruh rasnya. Dia adalah anak termuda dalam perkumpulan mereka itu telah menjadi kunci utama keselamatan ras mereka dari kehancuran yang akan datang.

Ay_Syifanul · Fantasy
Not enough ratings
14 Chs

Prolog - Sebuah Legenda

"Dengarkan ini, anakku. Kita yang merupakan ras elf, memegang peranan penting dalam keberlangsungan dunia."

Pada sebuah perpustakaan pribadi dimana terdapat puluhan hingga ratusan buku yang tertulis tangan, seorang wanita mengambil salah satu diantara buku yang berjejer dengan rapi.

Setelah dibukanya tulisan yang dibuat menggunakan tinta dan bulu burung tersebut, wanita itu membacakannya pada sang anak.

"Keberlangsungan dunia?"

"Itu benar. Kita adalah satu-satunya sejarah yang mampu bertahan hingga selama ini. Karena itu sudah alam memilih kita untuk melindunginya."

"Alam?"

Gadis manis yang masih berumur 8 tahun itu bertanya dengan nada yang menggemaskan. Meski masih sangat muda, namun gadis itu memiliki rasa penasaran yang sangat tinggi.

"Kau lihat disana. Disana berdiri pohon raksasa yang telah hidup selama masa dunia. Semua orang menyebutnya dengan 'World Tree'."

Wanita itu menghentikan perkataannya sejenak dengan memandangi keluar jendela kayu asli dimana terdapat sebuah pohon raksasa yang tingginya berhasil menyentuh awan itu dengan takjub.

Meskipun sudah puluhan kali dia melakukannya, namun pohon yang menjadi sebuah keajaiban itu masih saja dipenuhi oleh berbagai misteri yang belum terpecahkan sehingga tetua ras mereka selalu beranggapan bahwa misteri itu berhubungan dengan kekuatan magis.

"World Tree adalah bentuk lain dari kehendak dunia. Kita para elf bertugas untuk melindungi pohon itu apapun yang terjadi."

"Tapi Ibu, kenapa hanya elf? Bukankah masih ada ras manusia, Demi-human, dan demon?"

"Mereka? Jika itu ras manusia, mereka adalah ras yang tidak baik. Mereka sudah sering merusak alam untuk kepentingan mereka sendiri. Jika itu Demi-human, mungkin masih ada harapan. Hanya saja mereka selalu bergantung pada naluri mereka sehingga ada hukum seperti 'yang kuat adalah yang memimpin' karena itulah mereka tidak dipilih dunia. Demon itu sendiri adalah bentuk lain dari kejahatan yang ditugaskan untuk menghancurkan dunia itu sendiri. Karena itu kita menyembunyikan diri dari semua orang."

"Ehh... apakah seburuk itu?"

Wanita itu mengangguk mantap. Dia juga sering mendengarnya dari seorang kurir yang sering bepergian keluar wilayah elf karena sudah menjadi tugasnya.

Dia berkata bahwa saat manusia menemukan pertempuran, mereka justru akan terlihat seperti monster. Mereka menggunakan segala cara untuk meraih kemenangan.

"Kita elf adalah peri tak bersayap. Kita kehilangan kekuatan kita setelah kita memutuskan untuk melindungi World Tree. Karena itu kita hidup dengan aman selama ratusan tahun terakhir."

"Tapi Ibu, bagaimana dengan perang besar yang pernah diikuti ras kita beberapa ratus tahun lalu?"

"Oh, perang itu. Apakah itu membuatmu tertarik?"

Gadis itu mengangguk dengan senyum yang cerah. Dia sudah mengenal begitu banyak sejarah dunia, tapi dia masih senang mendengar tentang perang besar 'itu'.

Perang dimana ketiga ras, manusia, Demi-human, dan elf bersatu untuk menuntaskan invasi pasukan demon pada bulan merah purnama.

"Perang itu dikarenakan para demon berusaha melanggar garis batas wilayah mereka dan memasuki wilayah manusia. Ras Demi-human yang tinggal terpisah memutuskan untuk menyetujui proposal kerjasama yang diajukan pemimpin ras manusia dengan syarat mereka membebaskan seluruh Demi-human yang diperbudak manusia. Jalan pertempuran itu begitu panjang dan sangat lama hingga keseimbangan alam mulai runtuh."

Buku yang dibacanya saat ini adalah buku yang ditulis seorang penyair yang telah berkeliling dunia dan melihat banyak kejadian dengan mata kepalanya sendiri.

Misteri penyair itu belum terpecahkan. Ada yang berkata dia dari ras manusia, tapi sebagian ada yang berkata penyair itu berasal dari ras elf karena semua jejak peninggalannya dipegang oleh ras elf.

"Kami ras elf melihat begitu banyak kerusakan alam. Semakin lama perang terjadi maka kebutuhan seperti sumber daya alam akan terus menipis. Kami memutuskan untuk menghentikan peperangan dengan cara kami sendiri tanpa memihak. Lalu kami ketahui bahwa dengan memukul mundur pasukan demon maka keseimbangan alam akan kembali. Maka dari itu kami menjadi dukungan terakhir pasukan aliansi sehingga peperangan lebih cepat selesai dengan kerusakan yang minimal."

"Keren! Apakah Ibu ikut bertarung? Ibu ikut, kan?!" seru gadis itu dengan semangat yang tinggi.

Wanita itu tertawa mendengar celotehan gadis dengan imajinasi yang begitu besar. Memang waktu itu wanita itu sudah lahir, tapi mungkin itu adalah diumurnya yang masih kecil seperti gadis ini.

"Memang benar jika waktu itu Ibu sudah lahir, tapi waktu itu Ibu masih kecil seperti gadis kecil Ibu ini!" katanya gemas dengan mencubit hidung kecil gadis itu.

Gadis itu kesal dengan meneriaki ibunya. Namun dia juga terlihat bahagia dengan perhatian orang tuanya.

"Meski hubungan diantara semua ras saat ini sedang merenggang, kau tidak boleh sama sekali membenci siapapun. Satu-satunya yang harus kau benci adalah... ketidakmampuanmu untuk menyukai orang lain."

Meski tidak sepenuhnya mengerti, namun gadis itu mengangguk setuju. Semua yang didengarnya saat ini dia anggap sebagai lagu pengantar tidurnya.

Hingga lama kelamaan gadis itu mulai mengantuk dan tertidur dibalik selimut yang dibenarkan posisinya oleh ibunya.

"Suatu saat kau juga akan mengerti sesuatu yang disebut rasa sakit dan terluka. Tapi percayalah dengan temanmu, jangan pernah beranggapan kau ini sendirian. Akan ada masanya dimana rasa sakit... akan menjadi begitu lembut."

Wanita itu mengecup puncak kepala gadis yang telah tertidur lelap. Dirinya tersenyum masam dengan memandangi keluar jendela rumah pohon mereka.

"Waktu akan terus berjalan membawa kita pada takdir masing-masing."