"Lisya, apa yang baru saja kau lakukan?"
Aesura yang melihat Lisya terjatuh mengulurkan tangannya membantu gadis elf itu untuk berdiri.
"Kau tak apa-apa?"
"Y-yah, mungkin hanya sedikit terkejut."
Bagaimana mungkin dirinya tidak terkejut? Awalnya Lisya tidak berniat untuk itu, namun ledakan gelombang kejut itu adalah hal yang diluar dugaannya bahkan menambah daftar misteri yang dia ketahui.
"Kau harusnya tidak melakukan itu. Kau seharusnya tau kekuatan sihir roh itu tidak terkendali, jika kau gunakan untuk hal yang kecil seperti bunga aurele yang ada kau hanya akan menghancurkannya." Tutur Aesura setelah melihat Lisya sedikit tenang.
Gadis itu terlihat sangat tercengang apalagi dia yang paling dekat dengan ledakan gelombang kejut itu.
"Huh, mungkin ini memang alasan para tetua memintaku untuk membantumu."
Desahan pasrah milik Aesura membuat Lisya memandangnya bingung. Gadis itu tidak mengerti kenapa Aesura terlihat seperti tidak tahan akan sesuatu.
Dari perkataannya Lisya menduga Aesura telah berbicara dengan para tetua dan mendapatkan nasihat yang memintanya untuk membantu pekerjaannya.
"Yah, yang terpenting aku bisa keluar dari tempat itu." Gumamnya lagi dengan nada yang senang.
"Apa maksudmu, Aesura?"
"Sini, berikan tanganmu!"
"E-e-eh, tu-tunggu. Apa yang..."
Belum sempat memberikan reaksinya, Lisya sudah mendapati tangan kanannya digenggam erat oleh Aesura yang membawanya mendekat pada salah satu bunga aurele.
"Tenang saja, aku hanya sedikit membantumu. Ulurkan tanganmu dan lakukan apa yang aku katakan."
Karena tangan Aesura tidak segera terlepas darinya, Lisya lebih memilih menurutinya dan mengikuti apa perkataannya. Lagipula Aesura datang untuk membantunya.
"Tutup matamu dan mulai alirkan energi alam yang ada dalam tubuhmu secara perlahan. Serahkan sisanya padaku."
Entah apa gunanya mereka saling bergenggam tangan, namun Lisya tidak menghiraukannya dan mulai mengalirkan energi sihir alam miliknya.
Pada satu jari telunjuknya, Lisya mulai merasakan sedikit getaran karena dia hanya menggunakan sihir alam murni. Sihir itu adalah tingkat paling dasar dan dapat dilakukan semua elf.
"Bagus, tetap pertahankan seperti itu."
Tak lama dari itu Lisya merasakan getaran lain diatas kepalan tangannya. Getaran itu berasal dari tangan Aesura yang menggenggamnya.
Seketika semua terasa hangat. Sihir alam murni yang dimiliki Aesura mulai menyelaraskan diri dengan sihirnya yang kemudian berubah menjadi cahaya yang begitu hangat.
Lisya yang tak bisa menahan diri berusaha untuk mengintip melalui celah matanya. Cahaya yang begitu hangat itu terlihat seakan-akan mendorong untuk melihat apa yang terjadi.
Begitu matanya terbuka, Lisya melebarkan bola matanya yang tidak mempercayai sebuah keajaiban yang terjadi dihadapannya.
"Aesura, lihat!"
Matanya yang ikut terpejam mulai terbuka karena Lisya berseru padanya. Aesura sama sekali tidak terkejut dengan itu karena dia pernah melakukannya sebelumnya.
Jika tidak, dia mungkin tidak akan tau apa yang sedang Lisya lakukan saat ini.
Gambaran bunga aurele yang mekar layaknya bunga lily putih dengan kelopak yang lebih banyak.
Bintik-bintik serbuk sari terlihat begitu berkilau layaknya setitik cahaya mentari di pagi hari. Lisya sangat kagum dengan semua itu.
"Kita berhasil! Kita berhasil!"
Kegembiraannya membawa Lisya melompat dengan girang merangkul leher Aesura yang ada dibelakangnya.
Meski terkesan biasa-biasa saja, namun Lisya sangat gembira apalagi dia berhasil dengan eksperimennya.
Dalam hati Aesura sangat senang dengan perkembangan itu dan memilih untuk membiarkan gadis itu melakukan sesukanya.
Namun kejadian itu tak berlangsung lama. Seseorang menghampiri mereka dengan suara yang marah serta tangan bertolak pinggang.
"Apa-apaan ini, aku datang karena dipanggil, tapi ini yang aku dapat? Kalian berdua malah saling bermesraan ditempat umum."
Sontak hal tersebut membawa mereka berdua pada kenyataan mereka. Lisya yang sadar akan tindakannya memiliki wajah yang merona merah karena malu.
Dia memang dekat dengan Aesura, namun bukan berarti dia sangat dekat dengan artian sampai berani bersentuhan badan.
"T-tidak, bukan begitu. Kau salah Meisa."
Tentu Meisa tidak langsung mempercayai gadis elf itu. Dia memandanginya lekat berusaha mengelupas dinding-dinding yang digunakan Lisya untuk menyembunyikan sesuatu.
Namun seperti perkataannya, Meisa memutuskan untuk mengalah dan membiarkan kedua elf itu melakukan apapun yang mereka inginkan.
Ini bukan seperti Meisa tidak memiliki kepentingan, namun dia sudah rela mempercepat menyelesaikan pekerjaannya untuk membantu temannya yang malah memperlihatkan sesuatu yang memalukan seperti itu.
"Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Aku hanya tak ingin menghabiskan waktuku jika kau hanya bermain-main. Dan jangan lupa janjimu, Lisya. Kau akan pergi ke pelatihan kan?"
Begitu mengingatnya seketika hal itu membuat bulu kuduk Lisya merinding. Dia tak menyangka Meisa akan langsung mengungkit hal tersebut.
"Haaa... baiklah. Biarkan aku mempersiapkan mentalku dulu."
———
"Akhirnya kau datang juga, Nona Moonwell. Sudah berapa kali aku ingatkan kau untuk pergi latihan, terlebih lagi bahkan aku harus memberitahukan kedua orang tuamu. Apa kau tidak tau malu!?"
Setibanya Lisya ke kamp pelatihan elf pada pagi selanjutnya, seruan seseorang telah membuatnya ingin sekali menyumbat telinganya sehingga dia tak perlu mendengarkan ceramahnya.
"Maaf, Paman Kyle. Aku hanya... hanya... perlu waktu sedikit lebih lama lagi." Lisya mencari alasan.
Namun Kyle masih saja tidak berhenti menatapnya tajam begitu kesal seolah-olah dia ingin memakan gadis elf itu dalam satu kali terkaman.
"Aku tau. Kau masih terlalu muda untuk ini, tapi asalkan kau tau... ancaman tidak akan pernah datang dengan terjadwalkan. Jangan mengharapkan keamanan di wilayah elf sudah cukup. Guna latihan ini adalah untukmu dapat menjaga diri sendiri dari apapun dan siapapun. Kau tak akan tau siapa yang akan menjadi musuhmu dan siapa yang akan menjadi kawanmu."
Setelah menceramahinya, Kyle meninggalkan Lisya seorang diri menuju kumpulan elf yang memulai latihannya lebih awal darinya.
Kedatangan Lisya bisa dikatakan sangat terlambat. Pagi tadi dia melakukan beberapa eksperimen hingga lupa waktu. Dia pikir dengan menghabiskan waktu dengan Meisa bisa membuatnya menghindari latihan ini.
Namun tetap saja terdengar kasar karena Lisya sudah berjanji pada Meisa sebelumnya kalau dia akan ikut latihan.
Dia juga akan merasa tak enak pada Kyle yang bahkan sampai berbicara dengan orang tuanya yang sangat sekali sibuk.
Jika Lisya terlalu jauh merepotkan mereka, yang ada hal itu akan membuat rasa bersalahnya dirasakan oleh ibu dan ayahnya.
"Ada apa, merenungkan sesuatu di pagi hari?"
Disana berdiri Meisa yang mengawasi masa pelatihan beberapa elf muda. Dia membawa sebuah keranjang di tangannya untuk dia letakkan pada pepohonan rindang didekat sana.
"Aku ingin hanya berpikir kapan ayahmu dapat merubah sikapnya?"
"Ahaha... itu? Tentunya Ayah akan marah terlepas dari sikapnya atau tidak. Masalahnya kau datang terlalu lama dan bolos terlalu banyak. Aku sendiri pasti akan marah."
"Baiklah, jangan katakan lagi."
Menyerah karena penjelasan Meisa, Lisya mengambil langkah perlahannya menuju tempat Kyle berada.
Dari kejauhan Meisa bisa mendengar seruan beberapa elf begitu mereka melihat gadis itu tiba dengan tubuh yang lemas.
'Akhirnya kau datang juga!'
'Paman tua itu selalu membicarakanmu disini!'
'Selama ini kemana saja kau?!'
Tidak banyak yang mencibirnya karena kesal latihan mereka terganggu hanya karena satu orang. Mereka juga banyak bergumam mengenai bagaimana Kyle berceloteh tentangnya setiap hari membuat mereka bosan.
Meisa yang melihat dari kejauhan hanya tertawa ringan mengetahui Lisya menjadi kekalapan tak tau harus berbicara apa.
Karena itu dirinya mendekat dengan keranjang berisikan makan siang mereka semua. Meisa awalnya hanya membuatnya untuk Kyle, namun saat yang lain minta merasakannya, mereka menjadi suka dan memohon untuknya membuat untuk mereka juga.
"Padahal hanya sandwich, memangnya apa yang membuat ini menjadi sangat enak?"
Gumamnya tanpa sadar bahwa dirinya adalah salah satu wanita elf yang digemari bahkan disukai oleh banyak elf pria.
Dirinya yang anggun, berbakat, dan pandai memasak. Banyak yang mengidam-idamkan untuk menjadi kekasihnya, namun Kyle pernah berkata bahwa kekasih Meisa sudah ditentukan hanya saja dia belum memberitahukannya pada anaknya.
Meskipun begitu karena terlalu tenang, Meisa tak pernah memikirkan hal tersebut. Dia hanya melakukan apa yang harus dilakukannya.
Kini karena kedatangan Lisya, Meisa menjadi tertarik untuk memperhatikan perkembangan gadis itu.
Kyle memiliki cara pelatihan yang bisa dikatakan cukup keras. Pertama-tama Lisya diwajibkan berlari, memanjat, dan tidak lupa dia harus melakukan pelatihan fisik untuk meningkatkan daya tahannya.
Itu berlangsung lebih lama karena Lisya terus ditekankan Kyle untuk mengisi waktu kosong yang telah ditinggalkannya. Dirinya harus mengejar ketertinggalan dan berlatih paling berat diantara semuanya.
Hingga pada panjatan ranting pohon kesekian kalinya, Lisya yang mulai kelelahan terpeleset karena pegangannya yang tidak kuat.
Sontak semua elf terkejut memandang kearahnya. Meisa yang paling dekat segera merapalkan sihirnya untuk menolong gadis elf itu.
"Oh angin, berikan aku perlindunganmu!"
Segera setelah Meisa merapalkannya, angin berkumpul pada sekitar Lisya mendorong gadis itu mengurangi kecepatan jatuhnya.
'Wooww...'
Hal tersebut seketika membuat Meisa menjadi pusat perhatian elf lainnya. Ini pertama kalinya mereka mendengar Meisa menggunakan sihirnya dengan mantera yang begitu singkat.
Mantera yang singkat sebenarnya tidak sulit, namun ketepatan dalam penggunaan katanya lah yang terkadang membingungkan.
Kau tidak bisa hanya dengan menggunakan kata yang serupa dengan Meisa untuk menggunakan sihir angin, namun kau perlu memahami hingga bagian terdalam sebuah sihir.
Sihir tidak hanya sekadar sesuatu yang kau panggil untuk menciptakan fenomena alam, namun terdapat juga didalamnya sebuah susunan rune yang menjadi dasar pembentukan sebuah sihir.
Rune sendiri merupakan sebuah bahasa kuno yang hanya mampu elf terjemahkan dalam bahasa latin. Jika mereka tidak memahami sendiri arti kata penggunaan rune, maka mereka tidak akan mampu membuat sihir panjang menjadi singkat.
Ketentuan ketentuan itu sudah tercatat dalam buku sejarah juga para tetua mengetahuinya, jadi mereka yang menyingkat sihir hanyalah orang yang telah mempelajari sihir pada tingkat yang lebih tinggi.
"Sihir ini... Meisa, kau kah itu?"
Lisya yang terselamatkan segera menapaki tanah dengan kedua kakinya. Meisa segera mendekatinya dengan khawatir.
"Kau tak apa-apa kan?"
"Ya, berkat sihirmu aku terselamatkan. Terima kasih!"
Lisya bersyukur karena Meisa cukup dekat dengannya. Jarang untuk melihat Meisa mengkhawatirkan orang lain apalagi dia menemani Kyle dalam kamp pelatihan yang hanya berisikan elf kelelahan dan terluka.
Kalaupun membantu, Meisa hanya akan memiliki rupa normal layaknya dia berbicara sebagai seorang di bidangnya. Hanya pada Lisya sajalah Meisa sebegitu khawatirnya.
"Waktunya istirahat! Letakkan semua peralatan bantu kalian!!"
Mengetahui Lisya telah bekerja terlalu keras, Kyle menghentikan latihan mereka untuk sementara waktu, juga ada sesuatu yang seingatnya akan tiba sebentar lagi.
"Lisya, kau ingat aku mengatakan akan menunjukkan kau sesuatu? Sebentar lagi kau juga akan melihatnya."
"Memangnya apa?"
Meisa hanya tersenyum penuh arti. Lisya yang tak mengerti tingkah lakunya hanya bisa memiringkan kepala kebingungan.
Saat dia akan kembali berbicara, langit tiba-tiba berubah menjadi gelap. Angin bertiup dengan suara yang kencang diikuti dengan suara pekikan makhluk yang Lisya kenal dengan baik.
*kwaakk...
"Eh, bukankah itu griffin?"
Tidak hanya Lisya, beberapa elf juga terkejut mengetahui kedatangan makhluk tersebut. Meskipun Lisya bukan pertama kali melihat griffin, namun kedatangan makhluk itu pada pelatihannya membuatnya bingung.
Kyle melambaikan tangannya tanda bahwa lingkungan sudah aman. Aman bukan berarti tidak ada ancaman, namun aman untuk griffin mendarat tanpa melukai siapapun.
"Bukannya griffin biasa digunakan untuk berjaga di pelindung hutan bersama elf penjaga?"
"Itu karena yang satu ini spesial termasuk yang menungganginya. Kau harus menemuinya! Aku jamin kau akan senang!"
"Bertemu dengannya? Siapa?"
Meisa hanya tersenyum tak kala dia mendorong tubuh Lisya perlahan mendekat. Lisya yang semakin dekat dengan tempat dimana griffin itu mendarat, kebingungan untuk mencari kata-kata.
Namun seketika Lisya dibuat bungkam dengan sosok elf yang menunggangi griffin tersebut. Dia memiliki pita yang mengikat kepalanya juga menyembunyikan telinga runcingnya.
Awalnya dia pikir dia melihat manusia, namun saat lelaki elf itu membuka penutup kepalanya, telinga runcingnya muncul dengan ukuran yang lebih pendek.
"Dia... elf?"
"Bukan, Lisya. Dia adalah darah campuran yang biasa disebut sebagai ras Half. Half-elf..."
"Half... -elf?"
Mendengar sebutan itu, lelaki itu sontak memandang kearahnya dengan penuh tanya. Dia terkejut ada orang baru yang tidak mengetahui tentangnya.
Meskipun dia tak berniat jadi terkenal.
"Kau tak mengenalku? Ah, jadi kau yang termuda... Hmm, hmm, pantas kau tak mengenalku."
Kepedeannya entah mengapa membuat Lisya pusing. Dia tak menyangka ada elf seperti lelaki tersebut di hutan ini.
"Aku memang tak mengenalmu. Siapa kau?"
Lelaki yang bisa dikatakan memiliki ketampanan sebanding dengan Aesura itu memandangi Lisya kembali dengan senyum hangatnya.
Tangannya terulur untuk berjabat tangan.
"Perkenalkan, aku Refaz. Bagian dari ras kalian yang terbuang."
Mata Lisya terbelak begitu mendengarnya.
"Ter...buang...?!"