webnovel

Antara Mimpi Dan Kenyataan

Hamparan padang rumput yang hijau, perlahan mengering berubah menjadi hamparan coklat.

Angin berhembus kencang dan pandangan beralih ke hamparan laut biru.

Daun-daun yang berwarna coklat jatuh berguguran, saat mereka menyentuh air, mereka berubah warna menjadi hijau. Air biru yang dipenuhi dengan dedaunan juga mulai ikut berubah warna menjadi merah.

Angin berhembus kencang dan pandangan beralih ke sebuah tempat yang terlihat seperti aula. Di setiap sisinya menjulang tinggi pilar-pilar, saat mataku mengikuti ketinggian dari pilar itu aku tidak bisa melihat ujungnya.

Langit berwarna ungu gelap dengan suara guntur dan kilatan petir yang mengelilinginya. Di tengah aula aku melihat siluet seseorang, siluet itu cukup tinggi dan besar, dia membawa tongkat yang bersinar keemasan.

Tiba-tiba pandanganku menjadi kosong, aku melayang tak karuan di tengah ruangan tak bergravitasi ini.

Di depanku muncul dua kepala wanita yang terpotong tanpa ada tubuhnya, aku mengenali keduanya.

Kepala itu meleleh dan berganti menjadi dua bola berwarna putih, lalu bola-bola itu mulai retak dan hancur berkeping-keping, cairan berwarna merah keluar dari bola yang hancur.

Cairan itu mulai memenuhi seluruh isi dari ruangan ini dan mengubah warnanya menjadi merah.

Aku mencoba berteriak tapi tidak bisa, ada sesuatu yang menahanku dari dalam, aku bahkan tidak bisa menggerakkan seluruh anggota tubuh.

Muncul gambaran siluet seseorang yang tertusuk sesuatu yang berwarna hitam, lalu berganti dengan cepat menjadi siluet orang lain di mana tubuhnya melayang di udara dan ada benang-benang keemasan yang mengikatnya, gambaran itu berganti menjadi gambaran gedung dengan kaca transparan yang di dalamnya ada orang-orang yang berlarian dan tiba-tiba tubuh mereka terpotong tanpa sebab, Sekali lagi gambaran berganti ke seorang wanita yang tidak aku kenali terlihat menangis, dia menatapku lalu mendekatkan wajahnya dan mencium keningku, dia berkata "Terima kasih."

Pandangan mataku mulai buram, aku tidak bisa melihat wanita itu dengan jelas. Kelopak mataku sudah tidak sanggup bertahan, yang akhirnya jatuh menutup seluruh pandanganku.

---

Mataku terbuka dengan spontan, aku merasakan seluruh tubuhku basah dengan keringat. Mataku terasa sangat berat untuk digunakan, tanpa kendali air mataku mengalir melewati pipiku, aku tidak merasakan perasaan apapun, ini semua berasal dari mimpiku.

Aku bangun dari tempat tidurku, melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul enam pagi, tidak biasanya aku bangun secepat ini.

Aku berjalan ke arah cermin yang terletak di sudut kamarku. Di pantulan cermin itu memperlihatkan diriku yang sangat berantakan. Rambut coklat kemerahanku yang cukup panjang sudah tak karuan arahnya ke mana, warna amber di bola mataku yang menandakan kalau aku masih keturunan dari ayahku, dan bentuk oval wajahku yang sangat mirip dengan milik ibu.

Aku mengusap bersih sisa-sisa air mata yang ada di pipi dan berjalan pergi menuju ke kamar mandi. Sambil berendam di air hangat, aku memikirkan kembali tentang mimpi barusan. Berbeda dengan mimpi-mimpi yang aku alami, mimpi barusan terasa sangat nyata, jelas, dan aku masih mengingat keseluruhannya.

Dua kepala yang ada di mimpiku, itu adalah ibuku dan kakakku. Aku tahu itu hanya mimpi, aku tahu itu pasti tidak akan pernah terjadi, aku tahu mereka itu kuat jadi tidak mungkin hal seperti itu terjadi, kan?

'Mirach? Apa kau bisa membaca pikiranku?' Aku mencoba menghubungi Patherku, dan berharap dia juga memiliki emosi untuk menenangkanku.

'Iya, aku bisa membaca pikiran dan emosimu Light.' Balasnya.

Aku tersenyum, 'Kalau begitu bagaimana dengan mimpi yang barusan aku alami?'

'Seperti yang kamu pikirkan, mimpi adalah mimpi. Jika kau takut mimpimu akan terjadi, cukup menjadi kuat dan mencegahnya.'

'Kau benar.' Ini memang aneh, aku menjalin komunikasi batin dengan AI-ku yang notabene dirancang untuk membantu bertarung, bukan sebagai teman curhat.

'Tidak masalah, aku sudah terikat denganmu selamanya, kamu bisa berkomunikasi denganku semaumu.'

Benar, kita sudah terikat sampai mati, itu berarti Mirach akan menjadi temanku selamanya. Aku tidak tahu bagaimana sistem kerja AI pada umumnya, tapi yang bisa aku lakukan sekarang adalah mempercayainya.

Ini adalah hari terakhir aku bersantai, karena besok adalah hari pertama masuk ke akademi. Hari ini aku ingin mempelajari lebih dalam tentang elemen dasar yang aku miliki, aku juga akan berlatih agar aku punya bekal yang cukup saat di akademi nanti.

Pakaian yang aku kenakan hari adalah pakaian yang sama dengan kemarin malam, yaitu kemeja hitam lengan panjang dengan celana panjang berwarna biru tua, aku mengenakan sepatu hitam dengan sedikit ada corak putihnya.

Hal yang pertama aku lakukan adalah makan. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil sesuatu yang bisa dimakan sebelum aku pergi berlatih.

"Bagaimana dengan hasil penentuan kemarin Light?" Terdengar suara yang berasal dari arah meja makan, itu adalah ayahku. Dia adalah komandan Divisi IV di Departemen Keamanan Silenthea, nama Divisinya biasa dikenal sebagai Divisi Tigergloves. Wajahnya berbentuk hati dengan kumis tipis yang menghiasinya, matanya berwarna Amber, dan rambutnya berwarna coklat kemerahan yang di potong pendek.

"Leo... ini masih awal, setidaknya biarkan dia duduk terlebih dahulu." Kata ibuku, dia datang dari arah dapur sambil membawa beberapa makanan, dia menaruhnya di meja makan lalu duduk di samping ayah. Dia menatapku, "Selamat pagi, silahkan duduk Light."

"Pagi." Jawabku singkat, sambil berjalan ke arah meja makan dan duduk di salah satu kursi yang kosong. Bagaimanapun dia adalah orang yang berada di mimpiku, orang yang aku tidak ingin kehilangannya, jika memang aku harus kehilangannya, setidaknya biarkan aku mati terlebih dulu.

"Apa kakak sudah berangkat?" Tanyaku.

"Belum, dia masih di kamarnya." Kata Ibu sambil mengambil salah satu lauk yang ada di meja, "Seperti biasa, kita tidak akan memulai sebelum keluarga kita lengkap."

"Selamat pagi semua!" terdengar suara kakak dari arah tangga, dia belum turun sepenuhnya tapi sudah menyapa kami dengan cara berteriak, dia memang yang paling hiperaktif di sini.

Saat dia sudah sampai di bawah, dia langsung menuju ke arah kami dan duduk di kursi sebelahku. Namanya adalah Niva, dia seorang profesor yang mengajar di Akademi Lighturns. Memiliki warna rambut yang sama dengan punyaku, rambutnya tidak terlalu panjang yang hanya sebatas sampai bahu. Bentuk wajahnya sangat mirip dengan ayah yaitu berbentuk hati, begitu pula dengan bola matanya yang berwarna Amber.

Sedangkan ibu memiliki bentuk wajah yang sama denganku yaitu oval, warna mata coklat gelap dan memiliki rambut hitam yang panjang. Dia adalah seorang ilmuwan yang ikut berkontribusi dalam menciptakan Pather jenis senjata, dia bekerja di bawah komando pemerintahan. Tapi walaupun dia bekerja untuk pemerintah, dia membebaskanku untuk memakai Pather manapun, bahkan dia yang membiayaiku saat aku daftar di Infinite Realm.

Ayah juga membebaskanku dalam hal apapun, asalkan itu tidak melanggar norma dan aturan, baginya itu tidak masalah.

Karena ayah dan ibu bekerja untuk pemerintah, maka mereka menggunakan Pather milik pemerintah juga, yaitu Pather berbentuk cincin. Sedangkan kakak memiliki Pather yang sama dengan punyaku, yaitu Pather milik perusahaan Infinite.

Setelah menyelesaikan sarapan, kami melakukan percakapan kecil sebelum memulai kegiatan. Aku menjelaskan kepada mereka tentang elemen dasar milikku, aku tahu mereka tidak terlalu terkejut karena masing-masing sudah mempunyai elemen khusus, jadi elemen dasar tidak terlalu penting bagi mereka.

"Hari ini waktu ibu kosong, aku akan membantumu berlatih nanti." Kata ibu, dia memutuskan untuk membantuku karena elemen dasarnya adalah petir. Dengan berlatih dengan pengguna elemen yang sama, maka akan semakin mudah mengendalikannya.

Ayahku adalah pengguna elemen dasar api, dia memiliki dua elemen khusus berupa elemen magnet dan elemen karet. Sedangkan kakakku adalah pengguna elemen angin, dengan elemen khususnya berupa elemen debu.

Elemen khusus ibuku adalah elemen yang cukup unik, yaitu bisa menyerap mana musuh dan dia aplikasikan kembali ke barang di sekitarnya, lalu dia menggunakan barang itu untuk menyerang balik lawannya atau menyimpannya sebagai cadangan mana untuk menggantikan mananya jika habis nanti.

---

Aku dan ibu berada di dalam ruangan yang sangat luas, dinding-dinding di setiap ruangan berwarna abu-abu gelap. Ruangan ini disinari oleh satu buah lampu yang menempel di langit-langit, walaupun hanya satu tapi sinar dari lampu itu sudah cukup untuk menyinari seluruh ruangan.

"Sebelum kamu memulainya, kamu harus menyatu dengan elemenmu sendiri." Kata ibuku, dia mengeluarkan gadget yang berbentuk jam tangan dan memasangkannya ke tangan kananku.

"Jam itu akan mengukur berapa banyak kamu bisa mempertahankan teknikmu." Sambungnya, dia berjalan ke sudut ruangan dan sedang mempersiapkan sesuatu, "Sambil aku mengaturnya, sebaiknya kamu mempelajari elemenmu itu melalui Pather."

"Aku mengerti." Balasku, aku lalu menyentuh logo yang ada pada gelang Pather dan muncul layar hologram. Ada banyak pilihan menu yang dapat diakses, 'Mirach!'

'Ada apa Light?'

"Aku ingin kau menjelaskan tentang teknik yang bisa aku gunakan sekarang."

'Setiap teknik bisa kamu ciptakan sendiri dengan imajinasimu Light. Asalkan teknik yang ingin kamu ciptakan tidak melebihi batas dari manamu saat ini.'

"Kalau begitu bagaimana caraku mengetahui seberapa banyak mana yang bisa aku gunakan?" Tanyaku, sambil membayangkan teknik yang sesuai dengan gaya bertarungku.

'Batas dari mana tidak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan. Saat pertama kali kamu mendapatkan Pather, kamu merasakan ada sesuatu yang mengalir bukan? Itu adalah manamu, dan kamu harus mencoba untuk merasakan alirannya lagi. Dan jika kamu merasa sudah tidak bisa merasakannya, itu berarti manamu sudah habis dan harus menunggu agar terisi kembali. Dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama, bisa sampai berhari-hari tergantung jenis Pathermu.' Jelas Mirach di pikiranku.

Aku mengerti, aku tidak bisa sembarangan menciptakan teknik. Selain dari mana yang terbatas, mengendalikannya juga akan kesulitan.

Aku mengarahkan tangan kiriku ke tembok yang ada di depan. Aku memejamkan mata dan mencoba untuk merasakan aliran mana. Aku merasakan ada sesuatu yang keluar dari tangan kiri, saat aku membuka mata terlihat percikan-percikan kecil muncul mengelilingi lengan dan telapak tanganku.

Percikan itu tidak bertahan lama saat aku mulai tersenyum, walaupun begitu ini adalah latihan pertamaku yang bagus.

Aku mencobanya lagi, kali ini tanpa memejamkan mata. Aku memfokuskan mana ke telapak tangan, di saat bersamaan aku juga membayangkan sebuah bola petir yang muncul dari telapak tanganku berharap akan terjadi sesuatu nantinya.

Percikan-percikan petir yang keluar mulai terpusat dan mulai membentuk gumpalan. Saat itu mulai menjadi bulatan yang sempurna, tiba-tiba terjadi ledakan kecil yang membuat tangan kiriku sedikit terdorong ke belakang.

Bagaimana jika aku mencoba untuk menembaknya? Aku mencobanya sekali lagi. Percikan-percikan yang berwarna biru itu kembali memusat dan mulai terbentuk dengan apa yang aku inginkan. Saat bola petir itu sudah jadi, aku menghentikan aliran mana yang menuju ke telapak tangan dan mengubah alirannya ke lengan.

Seketika aku tidak bisa merasakan angin di sekitar lengan dan telapak tangan, aku memulai untuk menembakkannya ke depan. Lenganku yang berisi dengan banyak mana tadi tiba-tiba mengeluarkan percikan petir biru yang sangat banyak, percikan itu membentuk kilatan yang menjulur panjang dari lengan ke telapak tangan.

Aku merasakan energi yang besar sehingga menciptakan gaya yang mampu untuk mendorong bola petir ke depan. Bola itu bergerak dengan cepat dan menghantam tembok dengan keras, sehingga menciptakan sebuah lubang yang menganga sangat lebar.

"Kerja bagus Light!" Teriak ibuku dari sudut ruangan.

Aku menoleh ke arahnya dan memberikan sebuah acungan jempol. Lalu aku berbalik ke tempat semula dan mencobanya lagi.

Di percobaan kedua aku gagal melakukannya, tapi tidak dengan percobaan ke tiga dan ke empat. Setelah melakukan beberapa kali percobaan, entah kenapa tubuhku mulai terasa sangat lelah, dan aliran mana yang sangat banyak kurasakan tadi tiba-tiba menjadi sedikit. Lalu aku mengambil posisi duduk dan beristirahat sejenak sampai aliran manaku pulih.

Aku melihat ke arah ibuku berada, dia berjalan ke arahku. "Istirahat 10 menit cukup?"

"Cukup." Jawabku, dia mengambil posisi duduk tepat di sampingku. "Apa ada yang salah dari latihanku barusan?"

"Yap, di lihat dari kerusakan di tembok... kamu terlalu membuang banyak mana untuk menciptakan beberapa peluru petir yang sedikit." Jelasnya, dia lalu mengarahkan tangan kirinya ke tembok dan menembakkan banyak peluru petir yang tidak bisa aku hitung. "Kamu tahu perbedaannya?"

"Aku hanya bisa mengeluarkan satu peluru petir dan harus mengisinya lagi untuk menembakkan peluru yang lain dengan jeda beberapa detik." Kataku sambil melihat ke arah tembok yang hancur tadi, "Sedangkan punya ibu mengeluarkan banyak peluru secara beruntun tanpa ada jeda sedikit pun."

"Selamat... Kamu benar!" Kata ibuku dengan penuh semangat sambil menatapku, "Tapi masih ada perbedaan lainnya."

"Apa itu?"

"Pertama, kamu terlalu banyak memusatkan mana ke satu peluru saja. Kedua, itulah kenapa kamu butuh waktu lama untuk mengisinya kembali. Ketiga, kerusakan yang dihasilkan memang cukup besar, tapi coba lihat punya ibu." Ibu menunjuk ke arah tembok yang dia rusak.

"Peluru milik ibu itu tidak terlalu banyak menggunakan mana, itulah kenapa jika ibu mengeluarkan satu peluru saja maka kerusakan yang dihasilkan tidak begitu besar, tapi jika ditembakkan secara beruntun maka akan menghasilkan kerusakan yang sama dengan punyamu." Jelasnya, "Dan nilai plusnya, tidak ada jeda waktu yang dihasilkan setiap peluru di tembak, dan juga mana yang dikeluarkan jadi lebih hemat."

Dia menepuk pundakku dan mengacungkan jari telunjuk ke atas. "Ingat! dalam pertempuran yang sebenarnya, waktu jauh lebih penting dari apapun, jangan pernah mencoba bertarung dengan waktu yang sangat lama. Karena itu sangat sangat merugikan... terutama bagi para pengguna elemen petir. Segera akhiri pertempuran secepat mungkin, oke?"

Aku mengangguk dan mengerti dengan apa yang ibu katakan. Elemen petir adalah elemen dasar yang paling menguras banyak mana. Semakin besar kerusakan yang dihasilkan, maka semakin cepat pula mana terkuras.

Hal ini akan menjadi tantanganku tersendiri, aku harus belajar untuk mengatur banyaknya mana yang keluar tapi dapat menghasilkan kerusakan yang besar.

Ibu berdiri dari posisi duduknya dan mengulurkan tangan kanannya padaku, "Sudah siap untuk lanjut ke latihan berikutnya?"