webnovel

Sebuah Tugas Part1

"Gaia, tarik pedangmu!" Suara pria itu semakin berat, dan terlihat tidak ragu pada saat mengatakannya. "Ada hal lain yang lebih penting."

Gaia menurunkan pedangnya, dan menunduk hormat memandang ayahnya. "Manusia itu meninggal, dan Tetia tertangkap." Pria itu mulai bangkit dari duduknya.

"Apa Tetia? tapi bagaimana bisa dia ada di dunia manusia? Dan sejak kapan?" Gaia menatap bingung ayahnya, "Aku tau kalian berteman, keluarga Rastarel yang mengirim Putri mereka untuk menyelidiki para penghianat. Mereka sudah mendapatkan ijin dari para kementrian." Ayah sudah berada di samping Gaia, terlihat wajah Gaia semakin tegang.

"Evander, Eros. Kalian harus mendampingi Gaia untuk membawa Tetia kembali." Pria tersebut mulai memberikan instruksi, mereka berdua saling bertatapan. Dan seperti ingin menginterupsi perintah tuan mereka.

"Tapi Tuan Dariel..." Eros memberanikan diri, Dariel memegang bahu Eros dengan erat. "Eros? bukankah kau menginginkan sekali sepasang sayap naga?" Dariel menyeringai dengan lebar, "Aku akan kabulkan permintaan mu, jika kau membantu putriku menolong Tetia."

"Siap Tuan Dariel, laksanakan tugas." Ucap Eros dengan mantap. Sedangkan Evander memandang kesal Eros yang terlalu mudah untuk dibujuk dan dirayu.

***

Dunia Manusia

Senin siang itu, ruang kantor sudah dipenuhi dengan orang-orang yang sudah mulai mengerjakan pekerjaan mereka yang sudah menumpuk.

Bahkan Arya tidak bisa meninggalkan meja kerjanya dan masih menatap layar komputer yang berada di depannya. Makan siangnya hanya segelas kopi hitam, dan sepotong roti cokelat.

"Mmmmm.. apa yang sedang kamu selidiki Rachmat?? gumamnya, "Tetia? dan apa itu SSU." Arya mulai mengangkat kakinya, dan ia letakkan di atas mejanya sendiri.

Ya, dia berhasil membuka flashdisk yang beberapa waktu lalu ia temukan, tapi tidak semua data bisa ia buka, baru satu data yang berhasil ia buka . Dan masih banyak lagi data-data yang terkunci, ia yakin kasusnya kali ini bisa memakan waktu yang lama.

Baru permulaan saja, ia sudah dibuat bingung dengan sebuah nama. Tetia, itu nama yang aneh. Bahkan Arya sanksi kalau itu adalah nama, ia justru mengira itu adalah sebuah senjata rahasia berbahaya.

"Fuhhh..." Pria dengan tampang lelah, menyenderkan kedua tangannya di sisi pembatas area kerja Arya, tangan kanannya memegang secangkit kopi yang baru saja ia buat. "Dunia sudah semakin menggila, bukan!!"

"Hei, Arya. Bagaimana dengan kasusmu. Sudah ada perkembangan? Ku dengar wanita itu gila, apa benar?" Pria itu mulai mengganggu konsentrasi Arya yang matanya masih menatap layar yang ada di depannya.

"Kau tau Arya, Bos menyuruhku menyelidiki kematian wakil duta besar India." Ia mulai memelankan suaranya.

"Ku dengar di berita, ia terkena serangan jantung." Arya mulai tertarik dengan obrolan temannya. Pria itu memandang Arya dengan tatapan mengejek,

"heh??? Sejak kapan kau langsung percaya dengan pemberitaan di media. Bukankah kau ahlinya."

"Hal Ini hanya kuberitaukan kepada mu saja. Karena otakku benar-benar sedang buntu." Pria itu kesal dengan dirinya sendiri. Ia menghembuskan nafasnya dengan cepat, "ada sesuatu yang membunuhnya, dan jelas itu bukan serangan jantung." kembali ia memelankan suaranya.

"Tubuhnya ditemukan terkujur kaku, tidak ada luka satu pun yang ditemukan. Bersih, dan benar-benar tidak ada." Pria itu sedikit bergidik pada saat mengatakannya. ''Dan kamu tau Arya, aku menginterogasi semua para pekerja, anggota keluarganya, suami dan satu putri kecilnya yang masih berumur delapan tahun."

Pria itu memandang ke sekelilingnya, berharap tidak ada yang mendengar penjelasannya. "Kalau kau takut untuk mengatakannya, lebih baik kau diam saja Doni !" Keluh Arya kesal yang sudah cukup panjang mendengar cerita temannya.

"Ahh kau harus percaya dan dengar dulu, ceritaku belum selesai. Aku bertanya kepada Putrinya, dia bilang malam sebelumnya ia melihat ibunya berbicara dengan sebuah pohon." Ucap Doni serius.

Arya yang mendengarnya langsung menertawakan, tidak ada yang lebih konyol mendengar cerita temannya. "Ahhh, kau tidak percaya bukan. Aku sungguh-sungguh, mangkanya aku belum membuat laporan kepada bos." Doni menjadi gusar kembali.

"Arya, apa kau bisa membantuku?" Doni menyeringai, "Bisa, tapi semua bonusnya untukku." Arya menurunkan kakinya, kali ini ia menyilangkan kedua kakinya.

"Ahhh, aku tau kau akan seperti itu." Doni terlihat kecewa dengan penolakan Arya. "Aku baru kali ini menemui kasus yang aneh, bahkan hasil autopsi belum menemukan hal apapun yang aneh, tidak ada luka benda tajam, semua organ vital bahkan dalam keadaan baik."

"Kau uruslah dulu, masalahmu. Kerjaan ku sudah cukup banyak, dan sudah cukup membuatku begadang belakangan ini." Ucap Arya yang sudah bangkit dari duduknya.

"Pak Arya." Seorang wanita berkacamata memanggilnya, "Pak, boss ingin bertemu." Ucap wanita tersebut.

Arya bergerak cepat ke arah ruang kerja atasannya, dia masih belum menemukan petunjuk lainnya mengenai kasus yang sedang ia tangani. Pasti bosnya ingin mengetahui laporan perkembangan kasusnya.

"Siang Pak." Ucap Arya dengan hati-hati masuk kedalam ruangan, matanya langsung tertuju dengan seorang wanita yang sedang duduk. wanita itu mengenakan seragam cokelat, dengan banyaknya pangkat yang tersemat di dada wanita itu.

"Irma?" Tanya Arya seketika bingung, melihat mantan partnernya sudah berada dalam ruangan atasannya. Irma pun memberikan senyuman kecilnya, "Hai Arya, kita berjumpa lagi."

Arya dengan terpaksa mengikuti kemauan dan perintah atasannya, Irma datang bukan hanya sekedar menyapa dan menanyakan kabarnya. Irma datang menjemputnya secara halus dan memaksa.

Arya sebenarnya sudah tidak mau berurusan dengan wanita itu dan hal lain yang terkait. Wanita itu bukan hanya mantan partner kerjanya selama Arya menjadi tentara khusus, tapi kenyataannya mereka pernah menjalin hubungan dekat, atau bisa dibilang Irma adalah mantan pacarnya sebelum ia bertemu dengan istrinya dulu.

"Jadi kau datang sendiri, hanya untuk menjemputku?" Arya yang masing canggung melihat Irma yang terlihat santai mengendarai mobilnya.

"Hhh, kalaupun kau melakukan perlawanan. Aku bisa menanganimu sendiri. Keahlian bertarungku, lebih dari kamu Arya." Ancam Irma masih dengan nada sopan. "Kau sudah menemukan sesuatu?" Irma bertanya kembali.

"Belum, dan sudah kubilang wanita itu gila." Jawab Arya bohong, ia belum memutuskan untuk memberitahu mengenai flash disk yang baru saja ia temukan. "Aku tau kau bohong." Ia sedikit melirik ke arah Arya.

Bodohnya Arya, Irma sangat pandai membaca ekspresi. Bahkan dia bisa tau kau bohong atau tidak, hanya dari pandangan mata seseorang. Arya tetap menutup rapat mulutnya, "Tapi tidak apa-apa, kalau kau belum mau menceritakannya sekarang. Karena aku yakin jendral punya alasan sendiri untuk meminta bantuanmu kembali."

Tidak cukup lama, mereka pun sampai di sebuah gedung perkantoran milik negara, letaknya tidak jauh dari pusat kota. Arya seperti merasakan Dejavu, saat penugasannya selesai sering sekali dia melakukan pelatihan disini. "Belum banyak yang berubah." Ucap Arya datar, banyak orang-orang yang sibuk berseliweran membawa pekerjaan mereka.

Next chapter