Tubuhnya yang kurus kerempeng bersandar di dinding putih kusam berlumut. Matanya menatap empat puluh derajat pada gagang pintu di seberang kasur. Kelopak matanya lebam dan berkerut. Area sekitar lensa matanya menguning bercampur merah urat. Mata sayu itu juga hampir tertutup oleh rambut ikalnya yang panjang tak terurus. Dibiarkan terurai menutupi telinga dan alis. Mungkin kalau dipegang akan berminyak. Tulang pipinya tampak mencuat dari kulit wajah, begitu tirus dan tak bergizi. Kaos yang ia kenakan berwarna hitam pudar. Wajahnya berewokan, lebat pula. Kalau bulu hidungnya panjang keluar tidak akan kelihatan, tertutup dengan kumis tebal seperti pak Raden.
Napasnya teratur dan begitu tenang. Lalat sesekali hinggap ditubuhnya, lantaran bau badan entah bau kamar kosnya yang sudah seperti tempat pemotongan sapi. Berantakan sana sini layaknya kapal pecah. Perlu diperjelas kalau dia sedang tidak dibawah pengaruh obat. Pria ini hanya… apa kata yang cocok untuk dirinya saat ini? Galau, bukan; demam, jelas tidak; merenungi nasib, sudah bosan dia merenung; bengong, juga bukan; ah! Mati, benar, dia sedang mati. Jantungnya masih berdetak, memompa darah untuk dihantarkan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Saraf dan ototnya masih bekerja, tentu juga otaknya. Tapi jiwanya sudah mati, untuk beberapa menit ini dia menjadi raga kosong tanpa jiwa.
Sukmanya pudar ditengah ruangan bercahaya kuning redup. Lelah menanti kematian, tapi juga enggan menjemputnya. Yang pasti jiwanya menolak untuk tetap berada di dunia, namun di lain sisi dia juga tak bisa melepaskan rantai yang mengikatnya agar tetap menapak di atas tempat yang fana tersebut. Cukup cerdas untuk tidak cepat-cepat mengakhiri diri, dan terlalu takut untuk menghadapi kematian di waktu yang sama.
Beginilah lelucon terbentuk dengan begitu jujur, membuat dirinya menertawakan diri sendiri ketika sadar. Dia tersenyum kecut, menggelengkan kepala dan kembali tertawa lemah tak bertenaga. Satu-satunya hal yang masih membuat drinya waras adalah kebenciannya terhadap dunia, kepada Tuhan, atau siapapun yang membuat dirinya menderita hingga detik ini. Tidak sudi dia untuk menyerah dan mengaku kalah. Bahkan jika suatu saat nanti hanya pikiran yang tersisa darinya, ia akan tetap membenci dan membawa dendam sebagai satu tujuan akhir agar tetap "ada".
Puas tertawa, ia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Waktunya berkemas, membersihkan diri dan memulai aktivitas.
Dengan enggan diraihnya handuk pada gantungan baju. Ia lalu mengikat handuk pada pinggang dan mulai melepaskan pakaiannya mulai dari kaos hitam luntur, hingga celana pendek biru yang sudah bolong di bagian kedua kantongnya.
Kini penampilannya persis seperti skeleton istimewa karena masih ada kulit yang melekat menutupi tulang-benulang. Tubuh serapuh itu mungkin akan copot tulang-tulangnya setelah merasakan dinginnya air di malam hari.
Selesai mandi dia memutuskan untuk merapikan sedikit janggut dan kumisnya. Memangkas rambut-rambut itu sehingga kini menjadi tipis. Begitu juga dengan bulu hidungnya, jadi tak ada yang tampak menjulur keluar. Di sisirnya rambut kebelakang, lalu di ikat seadanya dengan karet hitam. Tak lupa sebelum mengenakan baju, ia memakai kolon, karena tidak ada minyak wangi, dia taburkan juga kolon di leher dan tangan pengganti parfum. Setelah itu barulah di pakainya kemeja biru dengan klip nama terpasang di bagian dada kiri.
Sukama R.D. Singkatatan dari Rick Deckard, nama karakter film favorit ayahnya. Sebuah nama yang Sukma yakini terucap tanpa pikir panjang terlebih dahulu, hanya berdasar kepada sebuah tokoh yang bahkan Sukma sendiri enggan untuk tonton filmnya. Dia terlanjur malu akibat selalu di ejeki "Dickhard" semasa SMP. Jadi kapanpun dia harus menuliskan nama, Rick Deckard akan selalu disingkat.
Sukma bekerja sebagai pegawai kasir sif malam di sebuah swalayan. Jaraknya kira-kira lima ratus meter dari kosnya. Dia mulai bekerja pukul dua belas malam menggantikan anak pemilik swalayan yang bekerja sedari petang. Dari tengah malam, Sukma berjaga hingga pukul enam pagi, yang nanti akan bertukar sif dengan pemilik.
Di pulau Kapas Hitam yang kotanya hidup selama dua puluh empat jam ini, swalayan tempat Sukma bekerja tidak pernah sepi ketika malam. Selalu saja ada orang yang mampir di etalase, entah hanya numpang duduk selayang sembari menikmati jajanan yang baru saja dibeli, atau berkumpul bermain game bersama hingga subuh. Selama mereka membeli produk dan menghamburkan uangnya di swalayan, Sukma tidak ingin ambil pusing dengan apa kegiatan mereka. Toh semakin banyak pelanggan, maka rezekinya juga akan lancar.
Anak pemilik swalayan baru saja selesai bersih-bersih ketika Sukma datang. Anak remaja akhir dengan perawakan gemuk itu tengah mengetuk-ngetuk serokan ke dalam tong sampah.
"Dit," sapa Sukma sembari lewat.
"Yep, bang. Eh, ada roti tawar baru datang, ntar tolong susun aja langsung. Kebetulan rotinya juga udah kosong."
Sukma mengiakan dengan jentikan jari. Ia lalu menuju ujung ruangan di dekat ruang pekerja. Ada dua tingkat keranjang berisi roti tawar. Sukma menarik kotak tersebut agar lebih dekat dengan etalase roti. Setelah itu barulah ia mulai menyusun dari belakang ke depan, sesuai dengan lebel merek dan harga yang tertera. Selesai dengan pekerjaan pertamanya malam ini, Sukma kembali ke meja kasir. Adtiya anak pemik swalayan sedang melayani tiga antean pelanggan. Sukma mempercepat langkahnya, mempersilahkan antrean untuk dipecah menjadi dua.
Ingat akan Sukma yang terduduk mati di kamar kosnya? Kini dia telah berubah menjadi Sukma si mata sayu yang lebam dengan senyum mengerikan, bibirnya bergetar sanking terpaksa senyum—persis seperti arwah badut yang mati penuh dendam. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja berat untuk bisa bertatapan dengan Sukma. Kecuali Aditya dan pemilik swalayan mungkin yang sudah terbiasa.
Itu juga karena mereka telah mengenal Sukma sebelum dia menjadi mayat hidup seperti sekarang. Kira-kira sudah hampir dua tahun dia bekerja di tempat ini.
"Bang," sapa Aditya sebelum berangkat pulang. Dia mengeluarkan dua buah buku dari tas sandangnya. "Nih, aku udah paham dasarnya, tinggal liat tutorial di youtube buat lebih jauhnya."
Yang dikembalikan adalah buku tentang dasar-dssar pembuatan game pada sebuah software dan juga android.
Sukma menatap kedua buku tersebut beberapa detik, dan barulah berkata, "udah simpen aja. Aku juga nggak pakai lagi kok. Lagian nggak banyak tempat lagi di kos."
"Jadi buat aku aja nih, bang?"
"Iya, ambil aja. Ntar juga pasti perlu lagi."
"Ya udah kalau gitu, makasih banyak nih, bang."
"Iya. Ngomong-ngomong udah masuk matkul 3D modeling belum?"
Aditya menerawang langit-langit sebelum menjawab, "semester depan deh kayaknya."
"Oh, bentar lagi berarti. Ntar aku bawain buku-buku tentang 3D modeling deh."
"Aduh, tiap semester aku kayaknya dapat warisan nih," Aditya lalu tertawa renyah. "Oh iya, ini. Tadi bapak dateng ngasih bekal. Kebetulan ada sisa bekas pesta kemaren di rumah saudara." Aditya menaikkan rantang yang ternyata sedari tadi ia taruh di bawah. "Di makan ya. Jangan mubazir, badan udah kayak papan baliho gitu. Ketiup badai terbang."
"Bajingan. Bilang makasih sama om," Sukma tergalak dengan candaan Aditya, tawanya membuat sekujur tulangnnya gemetar.
"Woke."
Dan begitulah iteraksi Sukma dengan manusia bumi malam ini. Selanjutnya pasca Aditya pulang, iya hanya mengulang kata yang sama seperi robot: "Selamat datang", "silakan datang lagi", dan "Sudah semuanya buk/pak?". Kalau sedang sepi, dia akan membersihkan teras, atau mendata barang-barang yang ada di swalayan, mengecek tanggal kadaluasa, serta merapikan susunan barang. Terkadang Sukma menatap jauh keluar jendela Swalayan, mengintai sudut-sudut gelap di mulut gang dengan perasaan tidak nyaman. Ada sosok yang Sukma yakini selalu mengawasinya. Antara penguntit, halusinasi, atau bisa jadi utusan Tuhan yang rajin memantau ciptaannya yang menunjukkan tanda-tanda pembelotan… yang manapun itu, hawa keberadaannya membuat Sukma tidak nyaman.
Tak jarang Sukma mengalihkan pikirannya pada siaran televisi yang membawa khayalannya melayang pada kemungkinan-kemungkinan yang tak mungkin lagi terjadi. Sebelum mengubur semua impiannya dan fokus mencari cara membalas dendam pada Tuhan, Sukma sempat memiliki mimpi untuk bekerja sebagai seorang Broadcaster atau menyutradarai film atau game. Makanya dia punya banyak buku bersangkutan dengan multimedia. Bahkan semasa SMK Sukma sudah banyak melahirkan Film-Film pendek yang sesekali diikutkan dalam lomba. Ada yang menang ada yang tidak. Setelah kembali dari angan-angannya, Sukma akan tertawa geli, masa-masa keemasan, gumamnya.
Sebelum jam enam datang, Sukma sudah beres-beres. Pemilik selalu datang lima belas menit sebelum ganti sif. Mengecek barang yang sebelumnya telah di data oleh Sukma. Sama dengan Aditya, pemik swalayan juga berperawakan gemuk, Cuma lebih pendek dan berkepala plontos, mengenakan kacamata bundar dengan min dua di sebelah kiri dan min tiga di sebelah kanan. Dan yang paling menonjol adalah perut buncitnya seperti akan meledak kapan saja.
Pukul enap tepat, Sukma berpamitan seraya mengembalikan rantang dan berterima kasih atas makan malamnya.
"Tunggu, Sukma. Minggu depan kamu ambil libur ya?"
Sukma sedikit bingung dan bertanya, "bapak ada mau pergi?"
"Iya, tiga hari ke Jakarta. Urusan keluarga, jadi orang rumah juga ikut."
"Oh," balas Sukma singkat sambil menggaruk kepala. "Berarti saya libur tiga hari ya, pak?"
"Enggak, Seminggu aja. Si Anto pulang minggu besok, udah aku minta buat bantu-bantu toko. Kamu istirahat aja." Pemilik swalayan yang bernama Pak Guna kemudian menyusul Sukma. Ia meraih lengan kurus Sukma dan mengisinya dengan kumpulan uang berwarna merah.
Sukma ingin protes, tapi kata-katanya tertahan. Dia tahu benar atasannya itu keras kepala. Lagipula dia tak ingin beragumen terlalu lama karena satu jam lagi pukul tujuh. Tapi menerima uang tersebut sangatlah berat baginya. Ingin segera ia kembalikan, namun Pak Guna menahannya dengan tenaga penuh yang tentu saja tidak ada apa-apanya dibanding tubuh krempeng tak bergizi Sukma.
"Yaudah kalau begitu pak. Terima kasih banyak … Saya pamit." Sukma agak menundukkan badannya.
"Iya. Istirahat. Beli makanan enak biar gemukan. Saya pecat kamu kalau makin parah."
Sebuah kalimat kepedulian yang membuat tubuh Sukma merinding. Jantungnya terasa sakit. Uang dan kata-kata Pak Guna merupakan simbol tentang seberapa hancurnya dia sebagai seorang insan. Begitu lamah dan tak berdaya sehingga patut untuk dikasihani.
Perjalanan pulangnya terasa begitu panjang, Suka diselimuti oleh kebencian dan rasa tak berdaya. Entah benci terhadap dirinya sendiri atau murka kepada Pak Guna, dia tidak tahu. Karena semakin lama dirinya semakin membenci hal-hal yang terjadi disekitarnya, ia menjadi sensitif perihal yang menyangkut ketidak berdayaannya sebagai manusia atau kehidupan sosialnya yang telah hancur. Pengorbanan yang mungkin tak setimpal dengan keinginannya untuk balas dendam kepada kesempurnaan. Tapi hanya ini yang bisa dia lakukan: hidup tanpa rasa syukur dan menolak untuk meminta pertolongan Tuhan. Memyangkannya saja sudah membuat Sukma muak.
Lima ratus ribu, aku bisa menginap di warnet caffe, besutnya dalam hati setelah menghitung uang yang diberikan oleh Pak Guna.
Setibanya di kos, Sukma segera mandi. Ada tiga puluh menit lagi sebelum pukul tujuh pagi. Selesai mandi dia lalu berkemas pakaian, memasukkan kantong plastik berisikan pakaian kotor dan satu plastik lagi untuk celana panjang dan jaket. Pagi ini ia mengenakan kaos oblong merah dan celana pendek selutut, serta sandal sehari-harinya yang berwarna hitam. Setelah lengkap (termasuk dompet dan Smartphone), Sukma membawa semua barangnya tidur. Ya, telungkup di atas kasur mengenakan ransel dan sandal, mirip orang yang hendak mendaki.
Sukma melirik jam dinding, jarum panjang sudah berada dekat dengan angka dua belas. Ia menarik napas panjang di saat detik berjalan menuju pukul tujuh tepat, Sukma melepaskan napasnya, mencoba serileks mungkin dan memejamkan mata.
Suasana hening, hanya detik jam yang terdengar di seluruh ruangan. Lalu kemudian…
Sukma menyerengit. Tiba-tiba seluruh tubuhnya menegang, kedua tangannya menarik sampul kasur dengan kuat mencoba menahan rasa sakit yang mulai datang dari dalam kepalanya. Dia meringis kesakitan, darah keluar dari hidung. Sukma mulai kejang-kejang, napasnya tidak beraturan—kesakitan, melebihi orang yang mengidap kanker otak. Rasanya kepalanya ingin pecah, matanya berdenyut bagai taburan gendang edan, dan mungkin jika dia membuka mata, keduanya akan meloncat keluar karena rasa sakit yang teramat sangat. Hawa dingin di pagi hari tak lagi terasa, dari ujung kaki sampai kepala semuanya panas. Sukma bermandikan keringat, bahkan hingga lupa untuk bernapas.
Dan setiap kali dirinya mengira akan mati karena rasa sakit, kepalanya berhenti mencoba untuk meledakkan diri. Rasa sakit mereda, ditarik dari ujung saraf, menuju ubun-ubun kepala dan menghilang. Menyisakan urat-urat yang berdenyut hingga Sukma dapat mendengar mereka. Ketika ia telah bernapas dengan normal lalu membuka mata, Sukma mendapati dirinya berada di tempat lain. Terbaring di atas rerumputan, di bawah pohon rindang, bukan di dalam kamar kosnya yang sumpek dan sempit.
Sukma sekali lagi menghela napas, mengumpulkan energi dan duduk bersender pada pohon. Wajahnya datar seperti biasa, tapi terlihat lebih lesu dari sebelumnya. Sukma menyapu keringat yang memenuhi wajah dan lehernya, lalu mengambil Smartphone. Pukul tujuh pagi, November, 2025. Hari ini dia mengunjungi masa dapan.