"Maaf aku hanya bisa menjamu kalian seadanya, karena seperti yang kalian lihat, kerajaan ini sedang dalam keadaan genting," ujar Galuh Astagina pada Adit dan rombongannya yang tengah membawa Raka untuk dirawat di istana kerajaan Nyi Blorong. Keadaan pemuda itu sangatlah gawat karena serangan Adit melukai sebagian besar tubuhnya, termasuk organ dalam dan aliran energi tenaga dalamnya. Beruntung, istana kerajaan siluman ini memiliki tabib yang mampu menyembuhkan luka-luka dari serangan pusaka Brajadenta dan Brajamusti milik Adit.
"Tidak masalah, Nyi Galuh, justru kami meminta maaf karena telah merepotkan anda dan para siluman disini," ujar Sembadra dengan ramah menggantikan Adit yang hanya bisa terdiam gara-gara ancaman Sembadra. Tak hanya Adit yang diancam, Gilang dan Lingga pun ikut diancam karena mereka bisa saja memancing kerusuhan yang tak perlu, karena prioritas mereka sekarang adalah menyelamatkan Raka dari ancaman maut.
"Kalian tidak merepotkan kami, Nimas, karena akulah yang bersalah disini. Aku mengira kalau teman kalian adalah bagian dari para pembelot yang ingin merebut kekuasaan Nyai Ratu untuk mereka sendiri," ujar Galuh Astagina seraya duduk di sebuah kursi di samping tahta kerajaan siluman itu. Di tangannya terdapat sebuah tongkat yang sangat mewah, pertanda bahwa ia adalah pemegang kekuasaan saat ini.
Adit merasa penasaran setelah mendengarkan ucapan Galuh mengenai para pembelot itu. Sayang baginya, karena rasa penasaran itu jauh lebih besar dibandingkan dengan perasaan takut akan ancaman Sembadra. "Nuwun sewu, Nyi Galuh, tapi aku penasaran dengan pembelot yang Nyi Galuh beritahukan tadi. Kalau boleh kami tahu, siapakah mereka? Kenapa mereka ingin merebut tahta milik penguasa Gunung Merapi ini?" tanya Adit seraya menatap lurus kearah Galuh.
"Gatotkaca! Bukankah tidak sopan bertanya seperti itu kepada orang yang telah menjamu kita?!" omel Sembadra pada Adit disertai aura angker di sekeliling tubuhnya. Adit tidak mengindahkan omelan Sembadra untuknya dan malah membuang muka, lalu melihat bahwa Gilang dan Lingga berkeringat dingin saat melihat kemarahan Sembadra.
"Nimas, tolong jangan memarahinya. Wajar bila Aden Gatotkaca penasaran dengan para pembelot itu," Galuh berkata dengan nada bijaksana, lalu menghela nafas dalam seraya melempar pandangannya kearah pengawal yang berjaga di depan pintu. Para pengawal mengangguk, lalu serempak menundukkan kepala mereka dan pergi meninggalkan ruang tahta untuk berpatroli.
"Sebelum aku menceritakan semuanya, kumohon pada Nimas dan Aden sekalian untuk tidak menyela perkataan ku, karena aku merasa kalau apa yang kuceritakan ini mungkin akan memunculkan banyak pertanyaan di benak kalian," pinta Galuh Astagina seraya menundukkan kepalanya, membuat Sembadra, Adit, Gilang, dan Lingga saling pandang sebelum mengangguk dan menyetujui permintaan Galuh.
~Kuntawijaya~
"Raka..... Bangunlah..... Kau harus memenuhi takdirmu untuk menghentikan lingkaran setan yang telah dimulai sepuluh ribu tahun yang lalu," sebuah suara terngiang di telinga Raka, membuatnya memaksakan diri untuk membuka matanya. Hal pertama yang ia sadari adalah cahaya remang-remang dari lampu minyak yang tergantung di dinding. Seluruh tubuhnya terasa sakit, jauh lebih sakit daripada saat ia tertangkap oleh para prajurit Bathara dahulu. Pemuda itu mencoba mendudukkan tubuhnya, hanya untuk mendapati bahwa dadanya terasa sesak dan terbakar.
"Seharusnya kamu tidak bergerak dulu, Karna, atau kamu akan membangunkan Mbakyu Shinta yang sedang mengisi kembali tenaga dalam miliknya," ujar sesosok anak perempuan yang tiba-tiba saja muncul di samping Raka. Anak itu membantu Raka untuk membaringkan tubuhnya kembali, lalu meletakkan tangannya ke dahi Raka. "Kenapa kau muncul, Ranggalawe? Aku tidak mau bertemu denganmu," ucap Raka dengan nada kesal seraya mengangkat tangannya untuk menutupi matanya.
"Huh, sombong sekali kamu, Karna. Hanya karena kamu bisa mengeluarkan kekuatan sedahsyat itu, kamu jadi lupa daratan akan keberadaan ku yang membantumu untuk bisa menggunakan kembali perisai yang dulu dengan bodoh kau tanggalkan sebelum berperang melawan Arjuna. Tidak heran kau bisa tewas, tubuhmu sudah bersimbah darah terlebih dahulu, memudahkan Arjuna untuk membunuhmu dengan Pasopati yang memang memiliki kemampuan untuk menghisap darah korbannya," cibir sosok yang ternyata adalah Dewi Segara Bayu.
"Diam, keris bodoh..... Kau mengganggu tidurku," gumam Raka pelan sambil memejamkan matanya. Gumaman itu cukup pelan sehingga hampir tidak terdengar jika tidak fokus untuk mendengarkan, tapi sudah cukup keras bagi Segara Bayu untuk mendengarnya. "Dengar, Karna. Kita sekarang ada di kerajaan milik penguasa Gunung Merapi, Nyi Blorong. Dan terima kasih padamu yang mengeluarkan semua tenaga dalam milikmu sampai bisa membentuk sosok Ashura itu, baik aku maupun Mbakyu Shinta tidak bisa melihat kenapa kamu bisa terluka parah seperti itu," ucap Segara Bayu tegas seolah menyalahkan Raka.
"Apa maksudmu, Ranggalawe? Aku tidak ingat kalau aku mengeluarkan kekuatanku belakangan ini," tanya Raka seraya memiringkan kepalanya ke arah lain. Segara Bayu hanya bisa menghela nafas panjang karena pertanyaan Raka, lalu berbaring di samping pemuda itu. Anehnya, Raka bisa merasakan kalau tubuh dari perempuan perwujudan Keris Kaladete itu terasa berbeda, apalagi ketika ia merasakan sebuah pelukan pada tangan kirinya.
"Kamu mungkin tidak mengingatnya, tapi, wujud itu adalah wujud yang sama dengan yang kamu gunakan saat kamu mengamuk di Sapta Pratala. Wujud itu... Memang sangat kuat, tapi, itu bukanlah kekuatan sejatimu. Wujud Ashura hanyalah wujud dari kemarahanmu atas kematian tragis dari kesembilan belas reinkarnasimu sebelumnya," ujar Segara Bayu pelan. Nada suaranya terdengar lain dari sebelumnya, lebih melengking dan lembut.
Terpaan nafas hangat Segara Bayu menerpa telinga Raka, membuat rasa penasaran pemuda itu membuncah ke ubun-ubun. Raka segera menyingkirkan tangan kanannya dari matanya, lalu menoleh dan menemukan bahwa Segara Bayu telah berubah menjadi sesosok perempuan dewasa yang terlihat sedikit lebih tua darinya. Memang tidak terlihat terlalu jelas di tengah keremangan cahaya lampu minyak, tapi Raka bisa melihat kalau sosok di depannya ini benar-benar berbeda dari sosok Segara Bayu yang sebelumnya.
"Siapa kau? Kemana Ranggalawe pergi?" tanya Raka bingung sekaligus terpana pada paras cantik di depannya. Tangan pemuda itu tergerak untuk menyentuh pipi perempuan itu, lalu tergerak menyusuri bentuk wajah manisnya. Jari Raka akhirnya terhenti di bibir perempuan itu, yang hanya tersenyum manis seraya menggapai tangan Raka dengan tangannya yang halus.
"Kamu masih saja memanggilku dengan nama yang diberikan oleh Guru Rudra padaku, padahal kamu telah mengetahui nama asliku," ucap Segara Bayu seraya melepaskan tangan Raka dari wajahnya, lalu bergerak untuk duduk bersimpuh disamping sang reinkarnasi Karna. "Dewi Segara Bayu....." panggil Raka pelan, yang dijawab dengan anggukan oleh sosok yang ia panggil. Raka masih terpana saat melihat paras ayu dari wujud baru Segara Bayu, membuatnya tak tahu harus berkata apa.
Tiba-tiba saja, pintu ruangan itu terbuka dan Sembadra berjalan memasuki ruangan itu dengan langkah dihentak-hentakkan. Ekspresi wajah gadis itu menampakkan kemarahan, tapi berbeda dengan ekspresi marah yang Raka lihat sebelumnya. Ekspresi itu lebih seperti ekspresi seorang gadis yang cemburu pacarnya digaet perempuan lain. Sekonyong-konyong Raka tersadar dari delusi ngawur di pikirannya, karena sebuah tamparan keras menghajar wajahnya diikuti bantal yang memukul-mukul bagian atas tubuhnya.
"Kamu ini! Sudah sadar! Tapi malah berduaan dengan perempuan lain! Mana perempuan itu adalah siluman cantik lagi! Dasar laki-laki nggak peka! Mesum! Jelalatan! Menyebalkan!" omel Sembadra seraya terus memukuli tubuh Raka dengan bantal. Si korban hanya bisa pasrah karena tubuhnya dipukuli dengan brutal oleh Sembadra. Memang, dipukul bantal seharusnya tidak terasa sakit, tapi beda cerita kalau bantal itu sudah dialiri dengan menggunakan tenaga dalam dalam jumlah besar. Ditambah, kondisi fisik Raka yang masih belum pulih menambah damage dari bantal yang digunakan oleh Sembadra.
Setelah agak lama, akhirnya Sembadra berhenti memukuli Raka yang sudah kewalahan menahan rasa sakit. Sembadra hanya bisa terdiam dengan wajah khawatir, melihat Raka yang hanya menatap kosong kearahnya. "Kenapa kamu ada disini.... Kenapa kamu tetap mencariku walaupun kamu tahu kalau aku adalah penyebab dari hancurnya Sapta Pratala?" tanya Raka seraya mengalihkan pandangannya kearah lain. Entah kenapa, Raka merasa belum siap untuk menemui Sembadra sekarang.
"Kalau kamu tanya kenapa.... Aku juga tidak tahu. Aku... Cuma cemas karena kamu tidak bisa dihubungi sejak saat itu," ujar Sembadra seraya mengambil tempat duduk di samping Raka. "Kenapa kamu tetap mencariku?" Raka kembali bertanya, kali ini dengan tangan kiri yang menutupi wajahnya. Sembadra hanya bisa menghela nafas saat melihat bahwa Raka tidak ingin menatapnya, lalu memindahkan kepala Raka ke pangkuannya dengan pelan.
"Anu, bukannya ingin mengganggu kemesraan kalian, tapi aku masih ada disini, dan jangan lupakan tiga pemuda jomblo yang ada di ambang pintu itu," ucap Segara Bayu pada Sembadra, membuat momen romantis yang sudah susah payah diciptakan oleh Sembadra buyar seketika. Tak lupa, di ambang pintu berdirilah Adit, Gilang, dan Lingga yang menatap Raka dengan tatapan iri. Raka menahan tawa saat mendengar perkataan Segara Bayu, lalu memutuskan untuk memejamkan matanya kembali.
"Segara Bayu, kembalilah dan bantu Shinta untuk memulihkan tenaga dalam miliknya," ujar Raka memerintah perempuan perwujudan Keris Kaladete itu. Mendengar perintah Raka membuat Segara Bayu menggembungkan pipinya, lalu berkata pada Raka, "Asal kamu mau menggunakanku sesekali dalam pertarunganmu, maka aku akan dengan senang hati membantu Mbakyu Shinta untuk memulihkan tenaga dalamnya."
"Akan kupikirkan nanti setelah aku benar-benar bisa menggunakan kekuatanku dengan benar," gumam Raka pelan, mengundang dengusan dari Segara Bayu yang tubuhnya mulai memudar menjadi percikan petir yang memasuki tubuh Raka. Sembadra, Adit, Gilang, dan Lingga terdiam saat mengetahui bahwa ternyata perempuan siluman yang ada di ranjang itu adalah perwujudan dari pusaka Raka, lalu menatap si empunya pusaka yang masih menutupi wajahnya dengan tangan.
"Raka... Apa benar kalau perempuan siluman yang tadi itu adalah keris Kaladete?" tanya Sembadra hati-hati seraya menyentuh tangan Raka dan memijatnya pelan agar kepalan tangan Raka bisa terbuka. "Ya..... Dia adalah perwujudan dari pusaka milikku, seperti Shinta," jawab Raka yang masih kukuh mengepalkan tangannya. Melihat bahwa Raka malah makin erat mengepalkan tangannya membuat Sembadra berhenti memegang tangan pemuda itu, lalu melingkarkan tangannya ke leher Raka.
"Apa yang kamu khawatirkan sekarang, Raka? Apa kamu takut kalau kamu akan menghancurkan semuanya? Apakah kamu takut kalau kamu akan disalahkan atas hancurnya Sapta Pratala?" tanya Sembadra pada Raka yang masih terdiam. "Aku..... Takut kalau kalian semua akan membenciku... Aku... Kemarahanku atas kematian kesembilan belas lainnya..... Aku tidak bisa mengontrolnya..." bisik Raka dengan suara bergetar.
"Aku menghancurkan Sapta Pratala... Tempat dimana aku berguru untuk memperdalam kemampuanku... Padahal... Asmitha sudah susah payah melatihku untuk menjadi seorang kesatria seperti Karna... Tapi, aku dengan tidak tahu malu malah menghancurkan Sapta Pratala dengan kekuatanku ini..." Raka terdiam saat sebuah jari menempel di bibirnya. Tetes-tetes air mata mengaliri wajahnya, meski ia menutupinya dengan tangan, aliran air mata itu tetap saja tampak oleh Sembadra.
"Harusnya, kamu tidak berkata seperti itu, Raka....." terkejut, itulah yang Raka rasakan saat mendengar suara serak dari Sembadra. Tetesan air mata lain jatuh ke pipi Raka, membuat keterkejutan semakin menggunung di hati Raka. Akhirnya, Raka pun menyingkirkan tangannya dari matanya, dan melihat bahwa Sembadra menangis seraya menatapnya.
"Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu atas hancurnya Sapta Pratala, Raka. Aku tahu, kami semua tahu kalau kamu masih belum bisa mengendalikan kekuatanmu karena ingatanmu akan kehidupan sebelumnya masih kabur. Kemarahanmu atas kematian para reinkarnasi Karna sebelum dirimu adalah sesuatu yang wajar, maka dari itu..... Izinkan aku membantumu untuk mencari solusinya," ujar Sembadra seraya memeluk Raka erat.
Raka tak bisa berkata-kata lagi. Dalam pikirannya, terbayang kematian dari para pendahulunya yang tragis, meski beberapa dari mereka akhirnya bisa mendapatkan pemakaman yang layak. Akan tetapi, keinginan mereka untuk membalas dendam jauh lebih besar dibandingkan keinginan untuk memutus mata rantai yang mengikat takdirnya, menjadikan kekuatannya yang murni menjadi tercemar oleh amarah dan dendam yang mendalam sebagai Ashura.
"Kalau kau cuma takut tidak bisa mengendalikan kekuatanmu, kau harusnya cerita, jangan malah kabur seperti ini, bodoh!" ejek sebuah suara yang Raka kenali sebagai suara Adit. Raka sontak menoleh kearah pintu, dan menemukan bahwa Adit, Gilang, dan Lingga tengah berdiri di ambang pintu seraya tersenyum jenaka. "Adit... Gilang..... Lingga....." ucap Raka memanggil nama teman-temannya satu-persatu.
"Sekarang aku paham, kenapa kau belakangan ini menjaga jarak dari kami, ternyata karena ini toh," ucap Gilang seraya berjalan maju dan berhenti di samping ranjang Raka. Sembadra hanya melirik mereka dengan tatapan kesal, lalu membuang muka seraya menyeka air matanya. "Kenapa kalian bisa ada disini? Sebenarnya..... Siapa kalian?" Raka bertanya dengan terkejut, karena dia bisa merasakan tekanan energi yang sangat besar dari ketiga temannya itu, terutama pada tubuh Adit.
"Kenapa kami bisa ada disini? Tentu saja karena kami mencemaskanmu, bodoh!" ejek Lingga seraya bersandar pada tiang kelambu. "...dan mengenai siapa kami, bukannya sudah jelas kalau kami ini temanmu, Raka?" timpal Adit seraya menyilangkan tangannya di depan dada. "Gatotkaca, Antareja, Antasena, kalian membuatnya bingung," ucap Sembadra pada ketiga pemuda itu, lalu menggerakkan tangannya untuk menyisiri rambut Raka.
"Baiklah, kita tidak punya pilihan lain kan, Kangmas Gatotkaca?" Gilang bertanya seraya mengangkat bahu dan melirik kearah Adit. Senyum jenaka masih saja terpampang di wajah ketiganya, lalu, mereka pun serempak membungkuk layaknya seorang prajurit dan mulai memperkenalkan diri mereka sekali lagi.
"Mungkin kamu sudah tahu namaku, Raka, aku Aditya Pratama Jati. Satu hal yang tidak kamu ketahui tentangku, yaitu aku adalah reinkarnasi dari Kesatria Pringgodani, Gatotkaca," ucap Adit seraya menatap Raka dengan sebelah mata yang dikedipkan.
"Aku, Gilang Mahardika, reinkarnasi dari adik pertama Gatotkaca. Sang Kesatria Ular dari Sumur Jalatunda, Antareja," Gilang berkata seraya menarik poni rambutnya ke belakang. Sungguh, ia sedikit membenci poni rambutnya, tapi terlalu malas untuk memotongnya karena menurutnya poni itu menambah ketampanannya.
"Kalau aku, Lingga Buana Garudhawijaya, Kesatria Naga dari Mandraka. Dikenal sebagai adik kedua dari Gatotkaca, serta pewaris dari kekuatan Sang Hyang Antaboga dan Sang Hyang Sambhu, Antasena," ucap Lingga sedikit menyombongkan dirinya. Perkataan dari ketiga temannya ini membuat Raka terkejut bukan main, seolah-olah mereka memang sengaja menyembunyikan hal ini darinya.
Rasa dongkol langsung saja mengendap di hati Raka, ia tak menyangka bahwa ia akan ditipu seperti ini oleh teman-temannya. Akan tetapi, kemarahan itu seketika sirna ketika ia mengingat bahwa ia juga menyembunyikan hal yang sama dari teman-temannya. Raka lalu melempar pandangannya pada teman-temannya, lalu berusaha untuk mendudukkan tubuhnya.
"Maaf, teman-teman..... Karena aku sudah menyembunyikan fakta bahwa aku adalah reinkarnasi Karna dari kalian," ujar Raka dengan nada siap menerima konsekuensi. Akan tetapi, permintaan maaf itu hanya berbuah tawa dari teman-temannya. Mereka terpingkal-pingkal melihat Raka meminta maaf untuk hal yang menurut mereka tak perlu. Bahkan Sembadra pun diam-diam menutupi mulutnya dengan tangan untuk menahan tawa.
"Hei, Raka, kalau kau memang serius dengan permintaan maafmu, maka sebaiknya kau tidak mengulangi lagi perbuatanmu itu. Gara-gara kau, kami kesusahan untuk mencarimu, apalagi saat kami bertemu denganmu disini, kau malah dikendalikan oleh Galuh Astagina karena dikira sebagai komplotan dari para siluman pemberontak," ucap Adit setelah beberapa saat tertawa. Raka hanya bisa menundukkan kepalanya dengan malu, lalu membuang muka hanya untuk mendapati bahwa pipinya menempel pada bibir Sembadra.
"'Ciyeeeee...'" cibir trio Adit, Gilang, dan Lingga saat melihat wajah Raka dan Sembadra memerah seperti tomat. Ketiganya hanya bisa tertawa melihat sikap malu-malu dua sejoli itu, meskipun apa yang terjadi adalah suatu kebetulan. Kelimanya terhanyut dalam tawa, membuat Raka akhirnya bisa sedikit melupakan kesedihan dan amarahnya.
~Kuntawijaya~
"Ra..... Aku tidak yakin kalau mereka akan menerimaku... Apalagi..." ucap Raka ragu-ragu saat kelimanya berdiri di depan gerbang Sapta Pratala. "Kenapa harus takut, Ka? Kau pakai celana kan? Kau pakai baju kan? Nah, kalau kau nggak pakai, baru boleh takut," ujar Gilang melawak. "Masih sempat-sempatnya kau melawak, Antareja!" geram Adit sambil menjitak kepala Gilang, mengundang tawa dan ledekan dari Lingga dan Raka.
"Kalau kamu tidak yakin, kita bisa mengundur waktunya sampai besok, Raka. Kurasa, satu tahun lagi akan menjadi waktu yang tepat kalau kamu masih ragu-ragu untuk kembali kemari," ujar Sembadra yang berdiri di samping Raka. Raka menghela nafas dalam, lalu menoleh kearah teman-temannya sebelum berkata, "Aku harus melakukannya sekarang. Aku sudah bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di Sapta Pratala, maka dari itu, aku harus kembali kemari dan mempertanggungjawabkan perbuatanku disini."
"Kalau kau memang yakin inilah jalannya, maka kami akan ikut. Ingat, teman, kau tidak sendirian," ucap Lingga yang maju selangkah sambil menepuk pundak Raka. Raka mengembangkan senyumannya, lalu menghela nafas dalam. "Terima kasih, teman-teman, aku beruntung karena memiliki teman seperti kalian," ucap Raka seraya tersenyum dan berbalik. Mereka lalu berjalan memasuki gerbang itu, dan menemukan bahwa tempat itu terasa berbeda dari sebelumnya.
Sepi....
Tak tampak satupun penghuni Sapta Pratala yang berlalu lalang di jalanan menuju istana Asmitha. Rumah-rumah para penduduk pun tampak kosong seakan tak ada kehidupan disana. Aura yang menyelimuti Sapta Pratala terasa berbeda, menjadi jauh lebih mencekam dan mengancam. Raka bisa merasakan beberapa pasang mata tengah menatapnya dengan tatapan membunuh, ditambah suara-suara anjing yang menggonggong menambah kesan mencekam yang ada disana.
"Aneh... Biasanya jalan ini tak pernah sepi oleh para warga, apa terjadi sesuatu pada mereka belakangan ini?" tanya Raka entah pada siapa. "Ini adalah kedua kalinya aku datang ke Sapta Pratala, dan tempat ini telah berubah sangat jauh dari apa yang kuingat," timpal Lingga seraya menoleh ke sekeliling mereka. Adit menoleh ke sekitar, lalu tanpa sengaja melihat sebuah kilatan senjata tajam yang mengarah pada Raka.
"Brajadenta! Brajamusti!" panggil Adit pada kedua pusaka kesayangannya, diikuti mewujudnya sepasang sarung tangan berwarna merah darah dan hitam batu pada tangan Adit. Adit maju ke samping Raka, lalu menangkis senjata tajam yang ternyata adalah sebuah anak panah berujung runcing. Ketiga pemuda lainnya terkejut melihat sikap Adit yang tiba-tiba saja maju dan menangkis anak panah yang mengarah pada Raka. Serentak, keempatnya membentuk formasi lingkaran dimana Sembadra diletakkan di tengah sebagai seseorang yang dilindungi.
"Kenapa kalian semua mengelilingiku? Aku tidak butuh perlindungan kalian, kalian tahu!" seru Sembadra kesal karena perlakuan keempat remaja laki-laki itu terhadapnya, meski tak dapat dipungkiri kalau ia merasa senang karena tidak harus ikut bertarung. "Diamlah, aku bisa merasakan kalau mereka mendekat," ucap Gilang yang sudah mengeluarkan sepasang pisau yang tersambung pada rantai di tangannya.
Di sebelah Gilang, tampak Lingga yang sudah bersiap dengan memunculkan tanduk miliknya, ditambah kulitnya yang perlahan berubah menjadi sisik berwarna kekuningan. Raka hanya bersiap dengan kuda-kuda muaythai miliknya, diikuti munculnya api Brahma Dahana yang melapisi kedua kaki dan tangannya. Sementara Adit yang berada di samping Raka sudah bersiap dengan Brajadenta dan Brajamusti yang diangkat ke depan dada.
Tak lama kemudian, muncullah sosok-sosok warga Sapta Pratala yang keluar dari dalam semak-semak dan pintu rumah mereka. Ekspresi mereka tampak penuh kemarahan, dan bagian mata mereka menyala biru seakan sedang dikendalikan oleh seseorang. Salah seorang warga yang memegang tombak melemparkan tombaknya pada Raka, yang bisa ditahan dengan cara ditendang oleh Raka. Raka memunculkan petir Rudra di sekitar tubuhnya, lalu menaikkan hawa membunuh miliknya untuk melumpuhkan para warga.
"Ada apa dengan mereka? Ini tidak biasanya terjadi kan?" tanya Adit bingung pada Raka dan yang lainnya. Para warga yang berada di luar jangkauan hawa membunuh Raka melepaskan anak panah dan tombak-tombak mereka kearah Raka dan yang lainnya. Akan tetapi, sebelum senjata-senjata itu mampu melukai targetnya, Lingga sudah terlebih dahulu mengeluarkan tenaga dalam miliknya dan menjejakkan kakinya ke tanah.
"Ajian Ilmu Toya: Tameng Ombak!" ujar Lingga saat sebuah ombak besar muncul dari dalam tanah dan menghalau seluruh senjata tajam yang mengarah padanya dan teman-temannya. Tak sampai disitu saja, ombak besar itu ikut menyapu para warga yang berada cukup jauh dari posisi mereka. Adit dan Raka ikut melancarkan petir mereka kearah ombak itu, membuat para warga pingsan karena tersengat arus listrik.
"Nimas, apa kau tahu apa yang terjadi pada mereka?" tanya Gilang seraya melemparkan pisaunya pada sebuah pedang yang melesat kearah mereka. Kedua senjata tajam itu bertemu di udara, menimbulkan suara dentingan yang sangat keras. "Mereka semua kesurupan, kelihatannya ada yang mengendalikan mereka dari jauh dengan menggunakan Nyalawadi sebagai sarana untuk mengendalikan tubuh mereka," jawab Sembadra yang berdiri seraya memanggil busur perwujudan Srikandhi.
Sebuah hembusan angin menerpa kelima remaja itu, diikuti sebuah bayangan raksasa yang menukik kearah mereka. "Apa itu?! Siluman Garuda?!" teriak Gilang panik saat melihat seekor Garuda raksasa terbang menukik kearah mereka berlima. Garuda itu menyambar kelimanya dengan cakarnya yang kuat, lalu terbang seraya membawa kelima remaja itu pergi.
Bersambung
Chapter kali ini endingnya sengaja dibuat menggantung, karena chapter ini dan chapter depan adalah kunci menuju Arc baru yang berhubungan dengan pantai yang merupakan destinasi wisata yang terkenal di Yogyakarta, Pantai Parangtritis.