webnovel

Ketika Semuanya Baik-Baik Saja

Selesai memeriksakan diri ke dokter kandungan, Kiara tersenyum bahagia sebab bayi dalam perutnya itu dalam keadaan baik dan sehat. Usia kandungan memang sudah menginjak bulannya melahirkan, di mana dokter telah memperkirakan lahiran pada tanggal 16 Juni 2022.

"Sebentar lagi, aku akan menjadi istri yang sempurna untukmu, Yang." Di perjalanan menuju pulang, Kiara pun berucap penuh rasa bahagia pada suaminya. Ia bahkan menangis haru, sebab tak sabar menunggu harinya tiba.

"Kamu akan menjadi seorang Ibu. Dan aku, akan segera menjadi ayah bukan? Demi Allah, bahagiaku tak terkira, Ay." Juan membalas ucapan istrinya itu, dengan rasa tak kalah bahagia. Ia yang tengah fokus menyetir motornya pun menyempatkan diri memegang kedua tangan Kiara yang melingkar di perutnya.

Kedua belah sudut bibir kemerahan Kiara menyungging. Ia tersenyum lebar, sebab merasa senang juga aman tiap kali Juan menggenggam erat tangannya itu.."Kehidupan kita, jelas akan berbeda setelah itu, Yang. Waktuku akan tersisa banyak karena harus mengurus anak," katanya parau. Namun, Kiara sama sekali tidak merasa sedih.

"Nggak apa-apa. Kan, ada aku yang akan selalu membantu kamu. Aku nggak bakal biarin kamu capek sendiri, Ay. Percaya sama aku."

Apa yang diucapkan Juan benar-benar keluar dari hati. Karena selain mencintai Kiara, ia pun sangat menghormati istri yang berhasil membawanya keluar dari dunia kelam, di mana dulu … Juan adalah seorang lelaki jalanan. Hidupnya dikelilingi minuman, obat-obatan, dan juga perempuan.

"Aku tidak akan meragukan hal itu, Yang. Aku tau kamu, dan kamu pun tau aku." Bibir Kiara menyungging berulang kali. Kebahagiaan benar-benar dirasakan oleh keduanya. Ia bahkan merasa seperti seorang penganten anyar kembali. Padahal, sudah lebih dari setahun, dirinya menikah dengan Juan.

Juan mengangguk masygul. Apa yang dikatakan Kiara barusan memanglah benar. Bahwa, tidak ada yang mengerti dirinya selain Kiara, sekalipun itu adalah orang tuanya sendiri.

Perjalanan dari rumah sakit ke kontrakan lumayam jauh. Butuh sekitar lebih dari setengah jam, untuk mereka sampai. Lebih-lebih kalau tiba-tiba jalanan macet, Juan dan Kiara harus tahan oleh panasnya matahari. Namun, kali ini, sepasang suami istri itu pergi ke rumah sakit di sore hari. Membuat keduanya pulang menjelang Maghrib. Meski sedikit macet, setidaknya, Kiara tak kepanasan

"Oh, iya. Kamu ada mau beli apa dulu gitu, Ay?" tanya Juan, masih di perjalanan. Namun, jarak menuju kontrakan sudah semakin dekat.

"Apa, ya?" Kiara malah balik bertanya. Ia yang tadinya menyandarkan kepala di punggung Juan, seketika menarik diri. Pandangannya mengedar, melihat ke kedua belah sisi jalan. Sore-sore begitu, para pedang memang sudah mulai beraksi.

"Ya, apa?" Juan bertanya lagi, seiring tawa kecil menguar dari bibirnya. Sebab Kiara selalu saja begitu tiap kali ditawari beli makanan.

"Aku bingung, Yang. Nggak lagi pengen apa-apa soalnya." Kiara tersenyum lebar sembari mencubit perut suaminya itu. "Kita pulang aja. Mauku dikelonin kamu soalnya." Ia tertawa kecil sembari mengeratkan pelukannya.

**

Meski Kiara tidak menginginkan apa pun, Juan tetap membeli makanan di persimpangan jalan. Memang bukan makanan mewah. Namun, chiken adalah makanan favorit Kiara sejak dulu. Tak tanggung-tanggung, Ia membeli sampai sepuluh biji.

"Kamu mau ondang siapa ke rumah?" Kiara heran karena chiken yang dibeli Juan begitu banyak. Sedang mereka hanya berdua saja di kontrakan. Mereka baru saja sampai.

"Nggak bakal ngondang siapa-siapa aku, Ay. Ini sengaja aku beli banyak biar kamu makan yang banyak aja. Kamu kan bentar lagi mau lahiran tuh. Jadi … ya, harus banyak makan biar ada tenaga."

Juan tergelak usai bicara. Ia yang baru saja masuk ke kontrakannya itu pun menyimpan kantong keresek berisi chiken di meja. Lantas, ditariknya pelan Kiara sampai istrinya itu berada dalam dekapan. Ia tersenyum menatap wajah Kiara yang berseri.

"Kamu, wanita yang sangat aku cintai, terima kasih karena sudah mengandung anak kita." Senyum binger di wajah Juan berubah haru, sehingga mencipta bening di kedua matanya. Ia merasa amat bahagia.

Kiara balas tersenyum dan seketika menyusupkan wajahnya di dada bidang sang suami. Dadanya bergemuruh seiring dengan kedua mata kian memanas. Kiara sama menangis dan bahkan lebih menderu sebab dirinya tak dapat menahan haru. Kelahiran anaknya tinggal menghitung hari. Ia harap, prosesnya akan berjalan dengan lancar.

"Sayangnya aku kok malah nangis? Senyum dong. Kan, kita akan segera menghadapi masa-masa paling mendebarkan sekaligus membahagiakan." Perlahan, Juan mendorong tubuh Kiara itu dari dekapannya. Kedua tangannya menyangga pipi Kiara, sembari melempar tatap penuh harap. "Kamu kan kuat. Aku yakin kamu bisa, Ay."

"Iya, Sayang. Aku pasti bisa," balas Kiara sembari menganggukkan wajahnya yang telas basah oleh air mata. Lantas ia meraih kedua tangan Juan dan menurunkannya dari pipinya. "Jadi, sekarang mending kita makan, ya?" ajaknya seraya membawa Juan duduk di karpet lantai. "Aku mau ambil nasi dulu."

Namun, baru saja Kirana beranjak dari duduk, Juan menahan dengan meraih tangan istrinya itu. "Hati-hati, Ay!" ucapnya seraya mendongak diiringi senyuman tipis.

Kirana mengangguk dan kemudian berlalu setelah Juan melepaskan cengkeramannya. Debar yang tadi sempat membuat dadanya bergemuruh, seketika mereda. Rasa takutnya akan proses melahirkan yang kadang datang tiba-tiba pun juga mereda. Ia percaya, Tuhan mengirim Juan memang untuk menjaganya, melindunginya dan menemaninya sampai raga tutup usia.

Sembari tersenyum-senyum, Kirana terus mengelus perut buncitnya itu. Ia juga bicara dalam hati, kalau dirinya sudah sangat merindukan kehadiran sang jabang bayi. Kemudian di akhir, saat Kirana sudah memegang sangku wadah nasi, ia mengajak anaknya itu untuk makan Bersama.

Namun, chiken segitu banyak jelas saja tak habis dalam sekali makan. Kiara yang telah kekenyangan, tiba-tiba saja merasa kegerahan. Ia ingin mandi, meski tahu kalau waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.

"Emang nggak apa-apa, Ay kalau mandi jam segini? Kan, udah malam." Sembari membereskan bekas makannya, Juan mempertanyakan hal yang tak biasa dilakukan Kiara. Ia khawatir saja kalau itu akan membawa pengaruh buruk pada sang jabang bayi.

"Nggak tau, Yang. Tapi, kayaknya sih nggak apa-apa. Lagian aku cuman mau buang keringat aja, kok. Nggak enak banget ini lengket."

Kiara bersikukuh. Ia langsung mengambil handuk dan segera meluncur ke kamar mandi. Dan, Juan pun hanya menggelengkan kepala saja. Ia tahu, istrinya itu, kalau sudah ada maunya memang susah untuk dicegah.

"Hati-hati, Ay." Lagi dan lagi, kata itu keluar dari mulut Juan.

"Iya, Sayang,iya. Aku hati-hati kok dari tadi," balas Kiara seraya menutup pintu kamar mandi dalam kontrakannya itu.

Namun, sejauh apa manusia berencana dan berlaku hati-hati dari sebuah tragedi, ada peran Tuhan yang paling mendominasi. Kiara yang dengan percaya diri kalau dirinya akan selalu baik-baik saja sebab begitu hati-hati dalam menjaga kandungannya, tiba-tiba saja terpeleset usai membersihkan diri.

"Yank!" Kiara berseru usai beristigfar dan mengaduh. Ia memanggil suaminya berulang kali sembari berusaha untuk berdiri. Namun, darah yang mengalir dari jalan lahir membuat tubuhnya lemas seketika.

Juan yang mendengar teriakan Kiara pun sontak berlari dari kamarnya. Ia menggedor pintu kamar mandi yang dikunci dari dalam. Kiara tak lekas membukanya, karena syok akan darah yang ia lihat. Wanita berlesung pipit itu hanya bisa menangis sesenggukan sembari meminta tolong.

"Ay, buka pintunya. Kamu kenapa?" teriak Juan dari luar. Ia yang takut akan keadaan istri juga bayinya itu terlihat cemas, bahkan berkeringat.

"Sakit, Yang. Aku jatuh," balas Kiara yang baru saja sadar dari syoknya. Ia menoleh ke arah pintu dan berpikir bagaimana caranya ia dapat membuka pintu tersebut. Perlahan ia beringsut, berdiri sembari berpegang pada dinding.

"Ya, Allah. Kamu bisa buka pintu nggak, Ay? Kalau nggak, biar aku dobrak saja." Juan tak lagi punya cara selain mendobrak pintu kamar mandi dalam kontrakannya itu.

"Aku lagi coba," timpal Kiara dengan suara lemah. Rasa sakit akibat jatuh, sekarang bertambah sakit sebab perutnya tiba-tiba saja melilit. Namun, ia tahu kalau itu bukan rasa seperti biasanya. Perutnya itu terasa kram dan bagai diperas.

Juan yang mendengarnya tak dapat berkata selain beristigfar dan meminta agar Tuhan menyelamatkan istrinya itu. Kedua tangannya bertumpu pada pintu, tak sabar menunggu Kiara membukanya. Sedang napasnya menderu, sebab rasa takut kian menjadi.

Untungnya, Kiara yang meski dalam keadaan lemah dan sakit, ia dapat membuka pintu. Hanya saja, tubuhnya ambruk seketika. Ia masih dalam keadaan sadar, tapi rasa sakit membuatnya bahkan seperti kehilangan kesadaran.

Juan yang kaget langsung menghambur dan meraih istrinya dari lantai. Ia mendudukkan Kiara terlebih dahulu sebelum kemudian membopong istrinya ke dalam kamar.

"Tunggu sebentar, Ay. Ya, Allah." Dengan perasaan tak keruan, bercampur aduk, Juan pun memberingkan istrinya itu di ranjang. Ia lantas berlari, keluar dari kontrakan untuk menemui pemilik tempat yang ditinggalinya. Mereka punya mobil, sehingga Jian hendak meminta bantuan mereka untuk membawa Kiara ke rumah sakit.

Juan memang lelaki yang akrab dengan minuman juga obat-obatan, hidup di jalanan dan terkenal sebagai preman, tak berdaya melihat istrinya dalam keadaan keritis. Sekujur tubuhnya itu melemah, bergetar, bahkan ia merasa jantungnya amat berdebar. Luruh air matanya di sepanjang jalan menuju tempat di mana ia akan meminta pertolongan.

"Allah, sungguh aku memohon kepadamu … tolong selamatkan istri juga anakku," lirihnya penuh harap. "Jangan ambil mereka dari hidupku dengan cara seperti ini," sambungnya sembari menyeka air mata.