webnovel

Cinta Suami Orang

"Ada apa, Juan?"

Seorang wanita paruh baya membuka pintu setelah mendengar teriakan Juan sambil mengetuk pintu berulang. Ia sedang dalam keadaan mengantuk dan baru saja hendak terlelap.

"Tolongin Juan, Buk. Kiara jatuh. Ia pendarahan," timpal Juan, disertai napas terengah. Ia menunjuk kontrakannya berulang kali sembari menyapu air mata di pipinya berulang kali. Bukan karena malu sebab tato hampir memenuhi tubuh tinggi sedangnya itu. Hanya saja, ia reflex melakukan apa saja karena cemas dan takut kalau-kalau istri dan anaknya tidak selamat.

"Ya, ampun. Kiara pendarahan?"

Wanita yang tadi merasa malas membuka matanya dengan benar sebab mengantuk, seketika melotot. Ia berhenti menggaruk kepala yang rambutnya berantakkan, dan lalu menangkup mulut. Apa yang dikatakan Juan sungguh membuatnya terkejut.

"Iya, Bu. Tolongin Juan. Aku mau antar Kiara ke rumah sakit."

Juan pun mengulang ucapan permintaan tolongnya sekali lagi. Berharap, ibu kontrakan mau membantu seperti apa yang pernah ia dengar beberapa waktu lalu. Bahwa, wanita itu akan mengantar Kiara ke rumah sakit kalau sudah waktunya melahirkan. Sebab, meski kelahiran anaknya masih lama dari perkiraan, Juan yakin kalau bayinya itu akan dilahirkan malam ini juga.

"Oke, oke. Kamu siapkan dulu apa yang perlu dibawa, ya. Biar Ibu siapkan mobil sekalian kasih tahu Bapak!" balas wanita yang tak lagi merasa ngantuk itu. Ia lantas berlari masuk setelah mendapati Juan mengangguk sembari berlalu pergi.

Dipanggilnya Bagus yang telah tertidur sedari selepas Isya. Ia bahkan mengguncang pelan tubuh suaminya itu sampai terbangun. "Ada apa, sih, Bu?" Bagus pun menggeliat tanpa membuka matanya yang lengket akibat rasa kantuk.

"Ibu mau ke rumah sakit. Ayo, Bapak juga ikut!" timpal wanita bernama Kinarsih itu. Lantas ia berlari menuju lemari sebab pakaian yang dikenakannya itu adalah daster butut, bahkan warnanya telah memudar.

"Heh, mau ngapain ke rumah sakit?" tanya Bagus yang seketika mengangkat kepalanya. Ia melihat dengan mata menyipit pada Kinarsih.

"Makan-makan!" balas Kinarsih sembari mengenakan pakaian yang baru saja ia ambil dari lemari.

"Bu, yang bener kenapa kalau ditanya. Mau ngapain ke rumah sakit? Kamu atau pun aku sehat, kan?" Bagus pun duduk sembari mengucek matanya yang terasa perih. Ia bersila menghadap Kinarsih.

Namun. Alih-alih menjawab pertanyaan suaminya itu, Kinarsih justru melempar pakaian Bagus untuk dikenakan. "Pakai, Pak. Buruan! Keadaan darurat!" seru Kinarsih. Meski sedang dalam keadaan cemas sebab penghuni kontrakan yang disayanginya sedang dalam keadaan kritis, Kinarsih tetap tersenyum karena berhasil membuat Bagus penasaran.

"Iya, iya. Tapi bilang dulu, yang sakit siapa?" tanya Bagus kembali sembari meraih baju yang dilempar Kinarsih ke sampingnya.

"Barusan Juan ke sini. Istrinya pendarahan, Pak. Dia mau bawa Kiara k</span>e rumah sakit." Kinarsih yang sudah selesai dengan pakaiannya pun menjawab pertanyaan Bagus. "Ayo, buruan!" titahnya.

Kiara masih terbaring lemah di ranjang sembari menahan sakit. Ia merintih, memanggil Juan dan berulang kali berdoa agar Tuhan senantiasa memberinya kekuatan untuk bertahan. Namun, getar pada tubuhnya belum juga mereda dan malah semakin parah.

Kedua mata yang telah basah oleh air mata itu terpejam, menahan perut kian terasa bagai diperas. Sesekali tangannya mengusap perut, sesekali pula tangannya itu meremas seprai sebagai upaya menahan sakit. Kiara melihat pintu, begitu mendengar suara langkah kaki. Suaminya telah kembali.

"Ay, aku udah bilang Bu Kinarsih kalau kamu pendarahan. Sekarang kita ke rumah sakit, ya."

Masih dalam keadaan cemas, takut, dan juga gugup, Juan pun mengambil pakaian Kiara seiring dengan napas terengah-engah. Istrinya itu memang hanya memakai handuk saja, sehingga ia harus memakainkan pakaian lengkap sebelum berangkat. Kiara tak bicara. Ia hanya mengangguk dan sibuk merintih kesakitan saja.

"Tapi, aku harus siapain apa saja, Ay?" Suara Kiara bergetar. Begitu juga dengan tangannya yang tak bisa apik saat memakaikan pakaian Kiara. "Bajumu? Baju bayi kita?" sambungnya begitu selesai.

Kiara yang telah memakai pakaian lengkap itu mengangguk lagi. Meski entah apa yang dikatakan Juan karena ia hanya mendengar samar. Tak jelas, akibat sakit yang membuatnya terus merintih dan mengaduh.

Sigap Juan beralih pada barang-barang yang hendak dibawa. Namun, belum selesai ia berkemas, Bagus dan Kinarsih tiba di sana. Si lelaki langsung membantu Juan. Sedang si wanita langsung menghampiri Kiara di ranjang.

"Allahu Rabbi, kamu kenapa bisa kaya gini?" tanyanya, seiring dengan terlihatnya raut wajah kian cemas. Ia adalah seorang wanita. Namun, belum juga diberi kesempatan untuk menjadi seorang ibu setelah lebih dari lima belas tahun berumah tangga. Itu kenapa, Kinarsih sangat menyayangi Kiara.

Kiara menggeleng, tak kuat membuka mulut selain hanya meringis dan mengerang kesakitan. ia juga meremas pelan perutnya yang terasa kian mengeras. Bayinya seolah tak sabar ingin keluar.

"Sudah belum, Juan?" Kinarsih pun beralih melihat suami dari wanita yang ada di hadapannya. "Buruan ini bawa Kiara ke mobil. Biar Ibu yang bawa tasnya!" sambungnya sembari turun dari ranjang dan mengambil alih tas yang ada di genggaman Juan.

Dengan dibantu Bagus, Juan langsung membopong dan membawa Kiara ke mobil yang sudah terparkir di depan kontrakan. Karena geger, penghuni kontrakan lain pun keluar melihat keadaan. Mereka bertanya dan mengira-ngira sehingga merasa kasihan begitu tahu kalau Kiara mengalami pendarahan.

"Duh, kasihan itu darahnya sampai banyak gitu. Teman gue, kemarin aja sampek nggak selamat karena kehabisan darah." Seorang gadis bernama Lusi bicara berbisik-bisik di tengah-tengah ketegangan yang dirasakan Juan.

"Hust. Nggak boleh ngomong gitu di depan orang yang lagi kena musibah itu. Bagus-bagus, doain yang baik-baik." Salah seorang yang lain menimpali, sembari menyikut Lusi yang tadi bicara asal. Mereka adalah mahasiswi yang tinggal di sebelah kontrakan Juan. Namanya Raina.

"Iya, iya. Keceplosan gue tuh." Wanita berambut pendek itu menyengir. Gigi putih nan rapi milik Lusi pun terlihat dengan jelas. "Semoga aja Mbak Kiara dan bayinya selamat, ya? Kasihan juga si Juan kalau sampai jadi duda. Masih mudah gitu dia."

"Astaga, malah mikirin si Juna jadi duda. Dah, dah ayo masuk kita. Di luar dingin!" seru Raina sembari menarik lengan sang teman. "Lagian, mereka udah pergi juga!" sambungnya sambil cengengesan.

"Iya, iya! Tapi, kalau Bang Juan jadi duda, lu jangan mau ya? Biar dia buat gue aja!"

"Dih! Ngarep banget bininya meninggal? Jahat lu!" Raina menggeleng, meski inginnya menjewer kuping Lusi.

"Nggak gitu juga. Itu kan misal, seandainya, kalau. Gitu loh." Lusi bersikukuh dengan apa yang dikatakannya barusan, kalau dirinya hanya sedang mengkhayal.

"Iya-iya, serah dah. Gue mau tidur aja dari pada ngayal gitu." Raina pun berlalu, meninggalkan Lusi di ruang depan, menuju kamar.

Namun, Lusi justru tertawa dan mengejar Raina ke kamar mereka tentunya. "Ngayal mah boleh kali. Kalau merebut kek pelakor-pelakor yang lagi viral tuh … baru jangan!" ucapnya sambil terkikik begitu Raina sudah duduk di ranjang.

"Serah!" timpal Raina sembari merebahkan diri. Lantas, ia menyusup ke dalam selimut untuk menghindari temannya itu. "Kalau lagi kumat ya gitu. Gila!" umpatnya sambil menahan tawa.

Sedang Lusi sendiri, tergelak sembari menghambur mengganggu Raina yang hendak tidur. Sungguh, ia merasa gemas akan khayalan yang bahkan tak pernah terlintas dalam pikirannya. Meski, dirinya memang sedikit menyukai suami dari Kiara itu karena wajahnya yang tampan dan juga manis.

"Ampun, Lus! Geli gue," teriak Raina dalam balutan selimut. "Kalau sange itu cari cowok lah. Masa ke gue?" sambungnya, diiringi gelak tawa membahana.

"Gila aja gue kalau sange ma lu! Cowok keren masih banyak tuh di kampus," balas Lusi yang justru makin menggelitik Raina.

"Hilih! Banyak cowok keren tapi kok ngarep Bang Juan jadi duda." Raina menyinggung temannya itu kembali, seraya berusaha keluar dari dalam selimut. Lusi benar-benar membuatnya tak kuat menahan geli.

"Itu mah ngayal gue bilang ish. Dah lah, mending gue pantau aja keadaan istrinya lewat Bu Kinar. Dia pasti update terusn kan?" Lusi pun berhenti mengelitiki Raina. Kemudian duduk di tepi ranjang usai merogoh ponsel dari saku celana kolornya.

Dan benar saja, pemilik kontrakan sudah membuat satu postingan di facebook. Bahwa, keadaan Kiara makin memprihatinkan, di tengah-tengah perjalanan menuju rumah sakit yang lumayan.

"Ada?" tanya Raina yang seketika duduk di belakang Lusi. Ia juga penasaran dengan kondisi tetangganya itu.

"Makin kritis katanya. Tapi, mereka udah sampai rumah sakit."

"Syukurlah. Aku harap, Mbak Kiara dan bayinya baik-baik saja."

"Aamiin."

"Yang ikhlas!" singgung Raina, sembari merebahkan dirinya lagi. Ia masih terpikir ucapan Lusi.

"Iya, iya. Lagian gila aja kalau gue ngarepin orang meninggal saat melahirkan. Ya, meski gue emang suka sih sama Bang Juan."

"Kumat!!" Raina pun menendang Lusi sampai terguling ke samping. "Aih, maaf-maaf!" sambungnya sambil tergelak. "Sengaja!" ucapnya lagi.

"Wah, ngajak ribut!" Lusi bangun dari tergulingnya. Namun, ia justru menghela napas kalem. "Tapi nggak apa-apa. Mungkin, gue emang lagi gila! Gila cinta sama suami orang!" ucapnya lagi, dengan santainya.