*part panjang lagi gengs.. heppy reading..*
“Eca! Abang lo dalam bahaya!!”
Ucapan Nadine terus terngiang di telinga Eca. Eca menginjak gas dan membawa mobilnya melaju di atas rata-rata. Ah bukan mobil Eca, lebih tepatnya mobil Nadine. Setelah mendengar tentang abangnya Eca merebut kunci mobil Nadine yang di genggam di tangannya. Tidak peduli sahabatnya itu akan mengumpatinya nanti. Yang terpenting adalah abangnya sekarang.
Kurang dari 45 menit Eca sampai dirumah sakit. Ia memarkirkan mobilnya asal hingga ia mendapat teriakan dari satpam rumah sakit. Satpam sialan! Gue gak peduli lo mau teriakin gue apa! Yang terpenting adalah Ken!!
Eca berlari ke ruang perawatan Ken, tidak peduli dengan orang-orang yang mengumpatinya kasar karna menabrak orang-orang yang berada di koridor itu.
“KEENN!!!!” teriak Eca saat sampai diruangan abangnya. Tetapi nihil. Tidak ada orang sama sekali. Bahkan ruangan Ken bersih dan rapi seperti tidak ada orang yang menempatinya. Hanya ada bunga yang baru dia belikan tadi pagi.
“Ken mana.. Ken manaa..” racau Eca tak jelas.
Eca berlari menyusuri lorong kamar Ken. Ia terus berteriak ‘Ken mana?’
“Ken lo belum pergi ninggalin gue kan? Gue gak mau periksa ruangan itu. Gue yakin lo gak akan masuk ruangan itu sekarang. Ken lo dimana hem? Gue menang Ken. Gue cetak point berkali-kali.” tangis Eca. Eca terduduk di koridor yang menghadap taman rumah sakit. Ia kelelahan karena terus berlari dan tidak dapat menemukan seseorang yang dicarinya. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari Ken diruangan itu. Yah benar. Kamar mayat. Hanya ruangan itu yang belum di cek Eca.
Eca berjalan gontai ke arah ruangan itu. Namun baru beberapa langkah, Eca dikejutkan oleh sesuatu..
“Ecaa...” panggil seseorang yang kini berdiri dihadapannya. Wajah pucat nya terlihat berseri karena senyum yang mengembang lebar miliknya. Orang itu merentangkan tangannya kearah Eca berharap Eca akan memeluknya..
“Lo gak kangen gue heh??”
“ABAAAAAAAAAAAAAANNNNNNG!!!!” Eca berlari memeluknya, ya orang itu adalah Ken. Orang yang dari tadi membuat Eca berlari seperti orang gila.
“Bang? Ini lo kan? Bukan hantu atau roh yang gentayangin gue kan? Lo masih hidup kan Ken??” tanya Eca sambil melonggarkan pelukannya.
Ken menjitak kepala Eca “Gue masih hidup bego!?”
“Abang..” rengek Eca. Tiba-tiba saja Eca menangis lagi dipelukan Ken, bahkan sampai sesenggukan membuat Ken bingung dan merasa bersalah karna sudah menjitak kepalanya.
“Jitakan gue sakit Ca? Kok lo nangis? Sorry ya kalau sakit. Gue khilaf deh.”
“Jangan hilang lagi bang, gue kira tadi lo pindah ruangan ke kamar mayat bang. Gue cari keliling rumah sakit lo gak ada. Gue panik tau, kalau gak ada lo gak ada yang bisa gue mintai duit jajan lagi..”
“Jadi Cuma karena itu lo nyariin gue sampai masih pake baju basket kerumah sakit?”
Eca nyengir kuda “Enggak bang enggak! Gue buru-buru kesini karena gue gak mau kehilangan pacar gue yang bawel ini. Gue tuh sayang banget bang sama lo! Jangan sakit lagi bang.”
Ken mengelus puncak kepala Eca “Iya adek sayang. Gue juga saaayaaaang banget sama lo!” Ken kembali menarik Eca kedalam pelukannya.
“Anter gue kekamar lagi ya. Gue pegel jalan-jalan..” seru Ken. Eca mengangguk. Kemudian ia meminta suster membawakan kursi roda untuk abangnya. Awalnya Ken menolak, ia masih mampu berjalan. Tapi begitulah Eca! Ia akan memaksa Ken dan membuat Ken untuk mengalah.
“Kenapa pakai kursi roda Ca? Gue masih bisa jalan kali Caaa!?” ucap Ken sambil mengelus tangan Eca. Ken terkejut saat menyadari tangan Eca di perban “Tangan lo kenapa?” tanya Ken pelan.
Eca dapat mendengar pertanyaan itu, namun ia pura-pura untuk tidak mendengar “Caa..”
“Ekh? Iya bang, kenapa?”
“Tangan lo kenapa??” Ken mengulangi pertanyaannya..”
“Gue tadi jatuh.” jawab Eca. Ia tidak berbohong, ia memang terjatuh.
“Jatuh waktu kapan? Waktu pertandingan?” tanya Ken lagi.
Eca mengangguk. Kalau Ken tahu karena Ary, Ken akan marah besar dan menghampiri Ary padahal keadaannya sendiri belum baik.
“Lo harus hati-hati lain kali..” pinta Ken. Mereka berdua sampai dikamar Ken. Disana sudah ada Caca, Nadine, juga Aby.
“Kita bersyukur bang lo dah sadar. Eca panik banget waktu tau lo kecelakaan..” seru Nadine. Ken tersenyum pada gadis itu. Ia tahu adiknya pasti mengkhawatirkannya.
Ken sudah kembali di ranjang tidurnya. Ia menatap Aby lama kemudian tersenyum “Lo Aby? Anaknya om Havil sama tante Ani kan?” ucap Ken.
Aby mengangguk kemudian menyalami teman lamanya itu “Seneng bisa ketemu lo lagi Ken..”
“Me too”
“Jadi lo cowok yang sering diceritain Eca??” Aby terheran mendengar pertanyaan Ken. “Gue??”
Eca menggeleng “Gue aja kenal dia waktu lo kecelakaan. Jadi gak osah ngarang ya bang!!”
Ken tertawa “Gue gak ngarang Caa, coba lo ingat-ingat waktu gue koma lo pernah cerita apa aja ke gue!”
Eca terdiam, ia baru ingat, orang koma kadang dapat mendengar apa yang kita bicarakan. “Lo halu bang!!” sungut Eca sebal.
“Gue bisa bernapas lega sekarang, ternyata lo Aby temen gue. Kalau gue gak kenal mungkin gue gak akan izinin Eca buat jalan sama lo!?”
“Berarti gue dapat izin dong ya?” pertanyaan yang dilontarkan Aby berhasil membuat pipi Eca bersemu merah “Lo berisik kak!!”
“Gue pikir kalian seangkatan??” tanya Ken.
Eca mengangguk “Kita memang seangkatan, tapi gue lebih nyaman panggil kakak..”
“Caaa...” panggil Caca. Ia memegang tangan Eca kemudian memutar-mutar tangan itu heran dengan perban yang ada di tangannya.
“Jadi yang diomongin si kulkas itu bener? Lo berantem sama Ary?” tanya Caca.
Eca terdiam, ia takut jika abangnya akan marah besar padanya. Abangnya baru sadar jangan sampai karena keadaannya ia merusak kesehatan abangnya.
“Kulkas siapa? Gue gak berantem sama Ary. Gue jatoh..” jawab Eca berusaha sesantai mungkin.
“Itu cowok yang sama lo di uks tadi.” Sahut Nadine.
“Eca, lo bohong sama gue?” tanya Ken. Eca terdiam, bingung mau jawab “Bang, Eca gak bermaksud bohong sama abang, Eca Cuma gak mau abang mikirin keadaan Eca. Eca baik-baik aja. Tadi Eca gak sengaja nabrak Ary, terus dia gak terima gitu.”
Eca yang masih dalam jangkauan Ken segera ditarik Ken kedalam pelukannya “Dek, apapun keadaannya jangan bohong lagi ya sama gue. Lo adik gue satu-satunya. Gue gak mau lo kenapa-napa..”
“Iya bang..”
“Ca, gue sama Nadine pamit dulu ya. Gue minta maaf dah buat lo panik tadi. Si suster juga ngomongnya gugup, jadi gue pikir memang abang lo dalam bahaya..”
Eca mengangguk mendengar penjelasan kedua sahabatnya itu. Kemudian eca melempar kunci mobil milik Nadine “Makasih dah pinjemin mobil lo. Lo tanya satpam ya mobilnya dimana!!”
“Caa. Jangan bilang--”
“Gue tadi buru-buru. Jadi asal parkir aja..” jawab Eca enteng “Lagian, kan salah--”
“Iya salah gue sama Caca memang. Impas 1-1..” sahut Nadine setengah hati, tetapi kemudian ia tersenyum “Ya udah gue sama Caca pamit dulu. Bang lo cepet sembuh ya!? Aby gue duluan..”
Sekarang hanya tinggal mereka bertiga diruangan Ken, tapi tidak sampai lima menit, seorang dokter dan dua susternya datang “Siang mbak Eca..”
“Siang dok..”
“Permisi mbak, kami harus memeriksa keadaan abangnya. Jadi mas dan mbaknya bisa permisi sebentar gak?”
Eca dan Aby mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu. “Are you okey Ca?” tanya Aby kemudian, ia menatap telapak Eca dengan nanar.
“Gue baik kali kak. Santai aja..” jawab Eca.
“Tapi tangan lo. Tangan lo diinjak sama Ary kan?” tanya Aby sambil memegang tangan Eca. Periksa ke dokter ya Ca? Kali aja disepatu tuh cowok ada rabiesnya..”
Eca menggeleng sambil tertawa “Lo kira ini gigitan anjing gila kali ya ada rabiesnya!?”
“Caa, gue khawatir kali lo malah bercanda..” ucap Aby pelan namun tegas. Eca terdiam ditatapnya laki-laki yang duduk dihadapannya ini. “Caa, gue khawatir kali lo malah bercanda..”
“Lo khawatir sama gue?” tanya Eca pelan. Aby yang dari tadi menatap tangan Eca berubah menjadi menatap wajah gadis itu “Iya gue khawatir sama lo..”
“Apa kak gue gak denger?” ucap Eca sambil tersenyum menatap Aby “Ulangin kak, gue mau denger lagi..”
“Lo ngerjain gue ya?” tanya Aby datar. Eca menggeleng “Gue gak ngerjain lo. Gue Cuma mau dengar lagi aja. Seorang Aby gitu bisa khawatir sama gue..”
“Gue juga manusia kali Caa..” seru Aby. Eca tertawa mendengar ucapan Aby barusan.
“Dah ah. Tuh dokternya dah keluar. Mending lo temenin abang lo dulu. Gue mau pulang ada urusan.”
“Gak mau ngobrol dulu kak sama Ken?” Aby menggeleng “Lain kali aja Caa. Gue pamit ya..” Eca mengangguk kemudian kembali keruangan Ken.
“Aby mana?” tanya Ken saat melihat adiknya masuk sendirian.
“Pulang. Dia ada urusan..” jawab Eca. “Oiya bang, ayah mana? Gue gak ada lihat dari tadi.”
“Waktu tau gue udah sadar dan bisa jalan. Ayah langsung pergi sama om Wildan.”
“Terus?”
“Ayah pamit berangkat kerja..” ucap Eca pelan.
Eca memejamkan matanya. Selalu seperti ini. Ayah gak berubah ternyata..
“Gue udah gapapa kali Ca. Wajar ayah begitu. Ayah kan kerja juga buat kita..”
“Tapi tuh bang--”
“Sini deh duduk samping gue..” pinta Ken. Eca menuruti permintaan Ken.
“Gue sama ayah mau minta maaf kalau selama ini kita jarang merhatiin lo, jarang nonton pertandingan lo. Gue yang paling-paling merasa bersalah Ca, gue serumah sama lo. Sering kemana-mana sama lo. Tapi buat nonton pertandingan lo aja gue gak pernah ada waktu. Padahal kalau gue ada sesuatu yang ketinggalan lo mau buru-buru kekantor gue, izin ke guru. Maafin gue ya Caa...”
Eca menatap abangnya yang duduk disampingnya ini “Kok gue gak bisa mellow ya bang. Yang ada gue mau ketawa..”
“Lagian lo alay banget pake minta maaf kayak sama orang lain aja. Gue ini adik lo kali bang. Dari lo hobby berak dicelana gue dah biasa. Dari hobbynya lo ngompol di kasur gue lo gak pernah minta maaf. Jadi udah lah. Gue ngerti lo kerja, lo sibuk. Sama kayak ayah. Kalian sama-sama kerja. Gue paham kalau kalian gak bisa nonton pertandingan gue. Tapi gue gak habis pikir aja kenapa ayah setega itu. Dulu waktu bunda koma juga gitu. Ayah stay disamping gue sama lo. Tapi waktu bunda sadar, ayah milih kerja. Sekarang juga gini sama lo. Gue kira ayah bakalan berubah.”
“Tapi bang--” Eca mengubah topik pembicaraannya “Lo kok bisa kecelakaan? Lo tidur waktu bawa mobil? Lo mikirin apa??”
Ken terdiam. Kalau ia cerita soal kejadian sebenarnya. Dia yakin, wajah cantik mantannya itu akan hancur dengan amarah Eca.
“Bang. Lo gak boleh bohong! Lo harus jujur..”
“Gue gak lihat ada orang nyebrang Ca. Jadi gue banting stir ke kiri. Terus mobil gue nabrak pohon.” jawab Ken asal.
“Lo bohong terus..”
Ken mengelus puncak kepala Eca “Gue putus sama Tika..”
*
*
Setelah 2 hari ia bolos sekolah, Eca akhirnya menepati janjinya pada Ken semalam. Ia akan pergi sekolah setelah tahu keadaan Ken mulai membaik.
Kini Eca sedang menyusuri koridor kelas IPS, mencari orang yang kemaren menolongnya. Si kulkas kelas IPS apa ya??
Eca menghentikan seseorang yang baru keluar dari kelas 11 IPS-1. “Misi. Gue mau nanya, kalian tau cowok yang sering di panggil si kulkas gak sih?”
“Kulkas? Maksud lo Devan?”
Oh namanya Devan..
“Dia kelas IPS apa ya?” tanya Eca ramah.
“Dia kelas ini. Gue temen mainnya. Kenalin gue Wendy.” orang itu, Wendy mengulurkan tangannya dan disambut oleh Eca “Gue Eca..”
“Lo ada perlu apa nyari Devan?” tanya Wendy.
“Devan nya ada?” tanya Eca balik.
“Dia di perpus baru aja keluar. Ini gue mau nyusul..”
Ah iya kok gue gak kepikiran ya nyari dia diperpus. “Oke makasih ya Wendy..” ucap Eca kemudian berjalan ke arah perpus..
*
*
Eca berjalan cepat mencari laki-laki itu. “Namanya Devan. Tapi gak resmi banget kalau gue tau dari orang lain..” gumam Eca.
Eca tersenyum setelah mendapati laki-laki itu sedang bersantai dengan buku di tangannya.
“Si kulkas kan??”
Laki-laki itu melongo melihat siapa yang barusan menegurnya “Heii.. gue gak tau nama lo, jadi gue panggil kulkas aja gak papa kan??”
“I..iya gak papa..”
“Gue boleh duduk sini?” tanya Eca. Laki-laki itu mengangguk “Duduk aja kali. Ini tempat umum.” jawab nya pelan.
“Gue mau nanya sama lo, lo tau markas Ary sekarang dimana gak?” tanya Eca. Membuat laki-laki itu mendongakkan kepalanya menatap Eca aneh “Mau apa lo?”
“Gue Cuma pengen tahu aja..”
“Gue ada perlu sama dia.--”
“Gedung tua belakang sekolah. Lantai dua.” jawabnya pelan.
Eca tersenyum, ia dapat mendengarnya “Oke Devan makasih!?”
Eca segera keluar dari perpus dan secepatnya ia harus menemui Ary, laki-laki brengsek itu.
*
*