Hari ini Mega berencana ikut Haris ke Indramayu kota untuk mengambil bahan baku kerupuk kulit ikan di desa industri kerupuk yang paling terkenal di wilayah Indramayu, namun bukan untuk menemani suaminya mencari bahan-bahan tersebut, melainkan untuk berkumpul dengan teman se-genknya waktu kuliah.
Fajar membawa mobil pick up untuk mengangkut kulit-kulit ikan, ditemani Eza, anak sulung Haris dan Mega, sedangkan Haris membawa mobil pribadinya mengantarkan Mega ke rumah makan surabaya yang terletak di tengah kota Indramayu. Setelah menurunkan Mega di depan rumah makan, Haris melajukan mobilnya menuju toko grosir plastik sebelum menyusul Fajar mengambil stok kulit ikan basah.
"Megaaaaaa," teriak Lelis memanggil dari lantai dua rumah makan yang dikhususkan untuk pengunjung yang ingin menikmati makan dengan duduk lesehan di tikar.
Mega dengan segara berjalan memasuki rumah makan dan naik ke lantai atas untuk bertemu sahabatnya.
"Ya Allah long time not see you beib, cantik banget sih, Bos kerupuk kulit," sapa Lelis langsung berpelukan dan cipika cipiki.
"Kamu kurus sih Lis, kurang makan ya di Yogja," terka Mega asal, kemudian berpelukan dengan Dinda.
"Kok gak bau kulit ikan sih, Ga?" Dinda mengendus badan Mega setelah berpelukan.
"Ngaco, Dia kan nyonya besar, si Haris yang pontang-panting kerja dia mah tinggal ngangkang aja," cerocos April, dia mendorong Dinda dan bergantian cipika cipiki dengan Mega.
"Bos obrag abrig gitu ya, cablak banget ngomongnya, jangan buka kartu Bet," balas Mega pada April. April, sering di panggil 'Jembet' oleh keempat temannya karena dia yang paling ganjen, paling heboh dan paling doyan dandan ketika hidup bersama di rumah yang mereka kontrak.
Terakhir Mega mendekat ke arah Sinta untuk cipika cipiki, setelahnya mereka duduk untuk mengobrol ngalor ngidul gak karuan melepas kerinduan. Mereka hanya berhenti ngobrol ketika makanan datang, setelah selesai makan mereka kembali terlibat obrolan seru. Mereka membahas semua topik, dari masalah anak-anak, kerjaan, suami, dan mertua.
Tawa mereka kerap kali terkadang mencuri perhatian pengunjung lain, hingga Dinda yang paling waras diantara mereka berlima meminta maaf dengan senyum dan anggukan.
"Eh benar deh, pulang dari Yogja, aku malah punya ide buat buka biro jasa," cetus Lelis.
Lelis baru kembali dari Yogjakarta setelah hampir tiga bulan menempuh pendidikan profesi guru yang mengharuskannya meninggalkan anak dan suami untuk mengikuti workshop di salah satu kampus yang ditunjuk sebagai LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) di Yogyakarta.
Diantara mereka berlima, hanya Mega dan Lelis yang benar-benar menjadi guru setelah menyelesaikan pendidikan mereka di fakultas keguruan (FKIP). Mereka berlima mengambil program studi yang berbeda-beda di FKIP, tetapi tinggal dalam satu kontrakan selama empat tahun. Kini meskipun berbeda-beda profesi mereka tetap kompak untuk selalu menyempatkan waktu setidaknya setahun empat kali untuk bersilaturahmi dan bercengkrama bersama.
"Biro jasa?" tanya keempatnya serempak.
"Iya, biro jasa yang menerima klien emak-emak kaya kalian buat memperbaiki hubungan ranjang," jawab Lelis santai sambil mengedip-edipkan matanya.
"Apa?" Mega terbatuk-batuk kaget mendengar ide Lelis yang menurutnya ngaco.
"Kamu kalau minum beneran kaya onta, Ga, sampe nyembur-nyembur tersedak gitu," protes Lelis, Sinta yang duduk di samping Mega menepuk-nepuk bahu dan punggung sahabatnya.
"Lagian kamu juga edan Lis, buka biro jasa apa itu, yang bahas ranjang, kamu kira bakal ada gitu orang yang tertarik bahas urusan ranjang dengan orang lain," protes April sarkas.
"Eh, Pril yang namanya usaha itu kan wajib di coba, ah gak asik kamu mah, ada teman pengen mulai usaha malah dicibir bukannya didukung," gerutu Lelis.
"Gak ada usaha lain gitu? Jadi reseller kerupuk kulitnya si Mega atau jualin batiknya Sinta kan bisa," saran Dinda yang diangguki ketiga temannya.
"Gak tertarik buat dagang, Din. Lagian kan itung-itung nambah pahala memperbaiki hubungan rumah tangga klien biar lebih hot, harmonis dan langgeng," bela Lelis pada idenya.
"Kamu pulang dari Yogja kesambet setan apa sih, Lis?" tanya Mega sambil memajukan badannya ke depan mencoba memegang dahi Lelis.
"Aku waras ko, apaan sih pake cek suhu badan segala," gerutu Lelis menepis tangan Mega.
"Nih, Kalian denger ya, jaman sekarang tuh pelakor ada dimana-mana. Di rumah punya istri cantik, seksi, mulus, masih aja diluaran kena perangkap pelakor," ucap Lelis bersemangat.
"Itu mah saking lakinya aja kurang iman, gak bersyukur punya bini cantik," sela Mega.
"Lagian kamu stress deh, urusan ranjang itu hal yang tabu untuk di bahas, eh kamu malah mau buka biro jasa yang anti mainstream dengan budaya kita, bahas ranjang. Beneran edan kamu, Lis," sambung Sinta.
"Kenapa sih kalian gak diam dulu, dengerin aku ngomong sampai kelar baru deh kalian nge-beo bully ide aku," omel Lelis.
"Okay, yang lain silent dulu, dengerin Lelis speak up dengan halusinasinya ngebahas biro jasa konyol ala dia," putus Dinda. April, Sinta, dan Mega tanpa komando secara kompak melakukan gerakan mengunci mulut.
"Jadi, kalian tau gak kenapa para pelakor, PSK, itu masih pada laku?" tanya Lelis yang dijawab dengan gelengan kepala oleh mereka berempat, kemudian Dinda memberikan isyarat dengan tangan untuk mempersilakan Lelis melanjutkan kalimatnya.
"Oke lah, pertama faktornya iman, mungkin Mega yang suaminya ustadz dan gak banyak berinteraksi dengan cewek-cewek di luar sana bisa dikatakan aman dari tikungan pelakor, tapi jangan salah ya, Ga. Banyak tuh ustadz yang akhirnya memilih poligami,"
Pletaaak. Lelis mengaduh kesakitan karena centong nasi yang di lempar Mega mengenai dahinya
"Anjrit, kamu kalau ngomong bisa gak sih disaring dulu." Mega melotot ke arah Lelis, ketiga temanya cekikan melihat mereka.
"Aduh, kok kamu baper sih, kan ngomongin ustadz lain bukan si Haris yang cinta mati sama nyonya Meganya," rintih Lelis sambil mengusap dahinya.
"Udah, Ga, diem dulu! Lanjutin, Lis," perintah April.
"Kedua, kita juga bisa ikut andil loh, jadi penyebab suami kita ngelirik si pelakor atau parahnya booking PSK, kan kata temen kosku yang lulus S2 psikologi di univeritas...." Lelis menyebutkan universitas paling besar se Yogjakarta.
"Kita sebagai bini yang harusnya punya tugas manjain suami, ngelayanin suami, serta memuaskan suami di ranjang, eh malah kalau diajak ML (Making Love) diem aja kayak gedebog pisang. Pasrah di bawah, sampai kasarnya nih ya. Laki kita naik sendiri, goyang sendiri, turun sendiri, selesai." Lelis memperagakan ucapannya dengan gerak tangan yang berubah-ubah.
"Kalau begitu kan namanya bukan ngelayanin laki, tapi terpaksa, tetapi para PSK itu loh, kalau ada tamu kan ya disambut, dandanannya cantik, bajunya seksi, ajakannya menggoda, jembet banget dah kaya si April," lanjutnya kemudian yang dihadiahi lemparan sedotan dari April.
"Kok gue disamain jembetnya kayak PSK sih,"protes April yang langsung mulutnya dibekap oleh Dinda, kemudian Dinda mempersilakan Lelis melanjutkan pemaparannya.
"Nah, biro jasa gue ini bener-bener ngasih tips and tricks biar suami kita selalu ingat istrinya di rumah. Jadi, setiap ada yang gatel, selalu ingat yang di rumah lebih bikin gatel. Begitupun kalau ada yang ganjen deketin, selalu inget yang di rumah lebih ganjen."
"Emang kita ulat bulu apa, gatel, ogah," celetuk Mega bergidik.
"Bentar deh, kamu dapat ilham dari mana sih, Lis? Bisa kepikiran mau buka biro jasa kaya begituan." Dinda memberi aba-aba stop ketika Lelis hendak melanjutkan kalimatnya.
"Ilham nya dari rumah tanggaku sendiri," aku Lelis dengan cengiran kuda.
"Maksud kamu, Wahyu, laki kamu itu selingkuh?"