webnovel

You Deserve Better

Setelah kejadian nggak terduga itu, gue masih belum bisa move on. Benda lembut dan basah yang menempel di pipi gue tadi bikin gue terpaku sejenak. Ya, hanya beberapa detik, tapi efeknya luar biasa. Bibir manis dan lembut itu yang sekilas menyentuh pipi gue sukses bikin gue kehilangan fokus seharian. Rasanya seperti mimpi indah penuh warna yang nggak mau gue akhiri. 

Sepanjang hari, gue nggak bisa berhenti senyum-senyum sendiri. Bahkan sampai di rumah, ekspresi gue tetap nggak berubah. Gue yakin, kalau ada yang lihat, pasti bakal ngira gue baru dapat hadiah undian gede. Tapi kali ini, "hadiah" itu datang dari momen singkat yang nggak terduga.

Setelah euforia itu perlahan mereda, gue baru sadar ada sesuatu yang gue lupa. Gue janji buat ngajak cewek gue jalan hari ini, tapi momen tadi sukses bikin gue lupa semuanya. Pikiran gue langsung kalut, membayangkan dia nungguin gue sambil uring-uringan karena nggak ada kabar. 

Akhirnya, dengan perasaan panik, gue buru-buru nelpon dia. Walau cuma bisa kasih alasan seadanya, gue tahu itu lebih baik daripada nggak ngomong apa-apa. Dalam hati, gue berharap dia nggak marah besar. Tapi tetap aja, rasa bersalah gue nggak hilang begitu saja.

"Halo... Yang?" gue akhirnya ngomong setelah nada sambung lama banget nggak diangkat. Suara gue gemetar, antara cemas dan takut. 

"Halo, kok baru nelpon sih?" suara Rani muncul di ujung sana, nadanya nggak tinggi, tapi cukup buat bikin gue tambah gugup. 

"Iya, maaf ya. Tadi tuh anak-anak ngajak ngobrol soal SMA tujuan kita masing-masing," jawab gue cepat, berusaha kedengeran santai. Padahal, jujur aja, gue baru aja bohong gede. 

"Oh, bukan sama Teh Santi, ya?" Rani nanya lagi, kali ini dengan nada curiga yang jelas banget. Jantung gue langsung berdegup lebih kencang. 

"Ng... nggak kok. Tadi sama Santi cuma disuruh guru buat ambil matras di gudang," gue balas, mencoba tetap terdengar tenang walau kepala gue udah penuh pikiran. 

"Oh... tadi itu Kak Reka beneran cuma disuruh guru buat ngambil matras?" dia tanya lagi, nadanya mulai lebih lembut, tapi gue tahu betul dia masih belum sepenuhnya percaya. 

"Iya, bener kok, cuma disuruh. Nggak ada apa-apa," jawab gue, kali ini berusaha meyakinkan dengan suara setenang mungkin. Rasanya kayak lagi ujian lisan yang salah jawabannya bisa bikin gue gagal total. 

"Oh gitu ya..." katanya pelan, tapi gue bisa denger ragu yang nggak hilang dari suaranya. Suasananya jadi makin tegang, bahkan gue bisa ngerasain keheningan di sela napas kami berdua. 

"Emang kenapa kok nanya beg—" Belum selesai gue ngomong, tiba-tiba suara tut-tut dari telepon memotong kalimat gue. Gue lihat layar ponsel, panggilan udah berakhir. Dia nutup telepon duluan. Gue terdiam, jantung gue masih berdegup kencang, dan sekarang rasa panik yang lebih besar mulai datang.

Gue masih kebawa suasana tegang, mencoba mikir apa yang salah. Belum sempat gue menyusun berbagai spekulasi di kepala, tiba-tiba ada notifikasi SMS masuk. Nggak tanggung-tanggung, dua sekaligus. Satu dari Rani, satu lagi dari... Santi.

Rani: "Sorry tadi hp aku mati."

Santi: "Bisa ke rumah aku nggak? Bentar aja, penting."

Gue terdiam sejenak, mencoba mencerna isi kedua pesan itu. Jantung gue udah berdegup nggak karuan. Kalau pesan dari Santi itu beneran penting, gue harus ke sana. Rumah Santi juga nggak jauh, cuma sekitar lima menit naik motor. Gue akhirnya memutuskan buat buru-buru pergi.

Gue segera mengirim pesan ke Rani untuk mengonfirmasi bahwa dia baik-baik saja dan memberitahunya bahwa gue sedang ada urusan mendadak lagi, dengan alasan proses daftar masuk SMA yang mendesak. Setelah itu, gue membalas pesan Santi, memberi tahu bahwa gue akan segera datang.

Nggak lama, gue udah sampai di depan rumah Santi. Motor kesayangan gue, 'Si Item,' gue parkir di halaman kecilnya. Pas gue turun, ternyata dia udah nungguin gue di teras. Matanya kayak menyimpan sesuatu, tapi mulutnya diam. Gue merasa ini bakal jadi pembicaraan serius. "Ada apa, San?" tanya gue akhirnya, mencoba memecah keheningan.

"Cepet banget kamu," balas Santi. Matanya sedikit terkejut melihat gue yang sudah sampai begitu cepat, seperti belum benar-benar siap menghadapi kedatangan gue yang tiba-tiba. Tangan yang tadinya bersandar di pinggangnya perlahan turun, dan ekspresinya sedikit memucat seiring dengan nafas yang sedikit terengah. Gue bisa merasakan bahwa kedatangan gue dalam waktu singkat ini membuatnya sedikit bingung, namun ada juga rasa lega yang samar-samar terpancar dari matanya yang sebelumnya gelisah.

"Ya udah, apaan yang penting?" Gue langsung to the point, nggak mau buang waktu. 

"Nanti pas upacara adat perpisahan kelas 3, kamu yang jadi pengantennya," jawab Santi. Tapi nada suaranya mengisyaratkan bahwa itu bukan inti dari apa yang mau dia omongin. 

Gue tahu dia ingin bicara soal lain—atau mungkin gue cuma berharap dia bakal bahas soal kejadian tadi siang. Tapi untuk sementara, gue ikutin aja alur pembicaraannya. "Lah, kok gue? Bukannya ada siswa lain yang lebih ganteng?" 

"Ya, tapi kamu paling keren kok," katanya lirih. Saat itu gue nggak dengar jelas apa yang dia bilang. Gue baru tahu isi kata-kata Santi itu jauh di kemudian hari, waktu kami ngobrol tentang kenangan masa lalu. Lalu, dia menambahkan, "Lagipula, kamu kan yang nilai UN-nya paling tinggi."

"Bukannya nilai si Angga juga tinggi? Kenapa nggak dia aja?" Gue mencoba mengelak sambil nyengir. Alasannya simpel: Angga itu mirip artis Korea. Kalau aja K-Pop udah booming waktu itu, mungkin dia nggak bakal jones kayak sekarang. 

"Angga udah aku hubungin tadi. Dia nggak bisa," jawab Santi singkat. 

"Ya udah, gue juga nggak bisa." Gue coba ngeles lagi, tapi Santi nggak memberi celah. 

"Kamu nggak boleh nolak lagi. Semuanya udah fix, panitia juga udah setuju," jelasnya tegas. Lalu, dengan nada yang tiba-tiba melunak, dia menambahkan, "Lagian…" 

"Lagian apa?" Gue penasaran. 

Dia menghela napas pelan, tampak gugup. "Eh, soal tadi siang," katanya pelan sambil menunduk. 

"Tadi siang, ya?" Gue merasa jantung gue berdetak lebih cepat dari biasanya. 

"Iya... itu karena aku..." Santi mengangkat pandangannya, matanya bertemu dengan mata gue. Suaranya lebih lembut, tapi penuh keberanian. 

"Karena aku suka kamu," ucapnya sambil menatap gue lekat-lekat. Kalimat itu meluncur begitu saja, meninggalkan gue dengan perasaan yang sulit digambarkan.

***

Sejak kejadian 'penembakan' itu, hubungan gue sama Santi berubah drastis. Setiap kali ketemu, suasana di antara kami jadi canggung dan penuh kebekuan. Jujur, gue nggak nyaman sama keadaan ini. Gue nggak pernah menyangka momen itu justru bikin jarak, padahal sebelumnya kita selalu bisa 'ribut' dengan santai. Sayangnya, gue nggak tahu harus mulai dari mana untuk memperbaikinya. 

Di sisi lain, ada latihan upacara adat yang seharusnya gue ikuti karena gue ditunjuk jadi 'pengantin'. Tapi, gue malah sering bolos dan memilih kabur ke rental PS dekat sekolah. Bukannya gue malas atau nggak menghargai tradisi, gue cuma nggak mau ketemu Santi untuk sementara. Masalahnya, dia, ketua OSIS, pasti menjadi salah satu panitia, dan gue nggak siap menghadapi tatapan atau interaksi yang mungkin bakal bikin suasana makin canggung. 

Seminggu berlalu dengan gue terus menghindar. Tapi perlahan, rasa bersalah mulai muncul. Gue sadar, gue nggak bisa kabur terus. Kalau gue terus-terusan begini, nggak ada yang akan berubah. Akhirnya, gue coba untuk mulai mencairkan suasana. Gue beranikan diri untuk menyapa dia, meski cuma sekadar basa-basi. Tapi sayangnya, ternyata usaha itu sia-sia. Sekarang malah Santi yang menghindar dari gue. 

Setiap kali gue coba mendekat, Santi selalu punya cara untuk menghindar. Kadang dia pura-pura sibuk, kadang malah langsung pergi sebelum gue sempat ngomong. Situasi ini makin bikin gue frustasi. Gue nggak ngerti kenapa dia bersikap seperti itu. Mungkin dia masih canggung, atau mungkin dia merasa gue nggak merespon dengan baik perasaannya. 

Setelah lama berpikir, gue akhirnya mutusin buat nyelesain semuanya. Gue nggak mau hubungan gue sama Santi terus-terusan kayak gini. Kalau gue nggak ambil langkah sekarang, kebekuan ini bakal jadi semakin parah. Gue putuskan untuk bicara langsung sama dia, apapun risikonya. Dan latihan adalah momen yang paling tepat untuk melakukannya.

"Eh bro, kemana aja lu? Bukannya lu harus latihan?" Tanya Angga dengan suara santai saat gue tiba di tempat latihan. Pandangannya masih tertuju pada Echa yang menjadi penari di upacara adat nanti, tetapi sesekali melirik ke arah gue dengan penasaran.

Gue mendesah, tampak malas. "Males gue latihan. Eh, lu tahu nggak siapa yang jadi pengantennya?" tanya gue. Sebenarnya, pertanyaan itu lebih karena ingin memastikan siapa yang akhirnya harus berperan sebagai 'pengantin', mengingat gue gak pernah ikut latihan.

Angga mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat. "Bukannya yang jadi pengantennya lu sama Santi, bro?" tanyanya sambil menatap gue dengan heran. Suaranya terdengar sedikit bingung, seolah-olah gak percaya kalau gue belum tahu.

Suaranya yang membuat gue tersentak, membuat kepalaku langsung dipenuhi dengan kenangan momen beberapa waktu lalu. "Santi? Gue nggak tahu. Kok dulu dia nggak kasih tahu gue?" tanyaku dengan nada heran. Walaupun sebenarnya, gue tahu betul alasan utama kenapa Santi mungkin lupa untuk memberi tahu hal ini. Itu semua berhubungan dengan momen di mana dia mengungkapkan perasaannya—momen yang begitu intens sampai membuat kepala gue nge-freeze. Baru pas gue sampai di rumah gue sadarkan diri, untung selamet bawa motor sampai rumah.

"Lah waktu itu kan lu ke rumahnya Santi," Angga berkata, mengingatkan dengan suara bingung. 

"Doi lupa bilang kali," jawab gue seadanya, berusaha mengalihkan pembicaraan agar tidak terlalu dalam membahasnya. "Ya udah, gue mau cari dulu anaknya."

Akhirnya gue nemuin dia di tempat latihan. Sekali lagi, saat gue mencoba untuk berbicara, dia kembali menghindar. Sebelum dia benar-benar pergi, gue tarik tangannya lembut, membawa dia agak menjauh dari kerumunan latihan.

"Eh, kok lu terus-terusan ngehindar tiap kali ketemu gue?" tanya gue dengan suara sedikit tegas, tapi ada nada kecewa yang samar di baliknya. 

"Eng... gue di...dipanggil guru," jawabnya tergagap, sambil berusaha melepaskan tangan dari genggamanku. Tapi, gue tetap tidak melepaskannya, menyadari bahwa ada sesuatu yang ingin dia katakan.

"Bentar tii, gue mau ngomong. Lu jangan pergi dulu," kata gue dengan suara yang lebih lembut, mencoba menguatkan. 

"Mau ngomong apa? Aku lagi buru-buru," ujarnya cepat, tapi suara itu sedikit bergetar, menunjukkan kecemasan yang terpendam.

"Kenapa lu nggak ngasih tahu gue kalau penganten perempuannya itu lu?" tanyaku dengan nada penuh heran, mencoba mencari jawaban yang sudah lama gue tunggu.

"Harusnya kamu tahu sendiri kalau kamu nggak bolos latihan terus," jawabnya dengan nada sedikit kesal, namun ada sesuatu yang menyiratkan bahwa dia juga merasa bersalah. 

"Iya, gue minta maaf soal itu. Trus soal yang waktu itu, waktu lu bilang suka sama gue. Lu serius?" tanyaku dengan suara yang lebih lembut, berusaha memahami apa yang ada di pikirannya.

"Kamu pikir aku bercanda?" tanyanya balik, dengan tatapan yang tajam namun penuh dengan keraguan yang sulit disembunyikan.

"Lu kan tahu gue udah punya cewek," tanya gue dengan nada serius, menatap Santi langsung ke matanya. Wajahnya tenang, tetapi sorot matanya berbicara lebih banyak dari yang bisa dia ungkapkan.

"Iya, tapi..." Santi menjawab dengan suara yang bergetar, lembut namun penuh keraguan. Matanya penuh ketakutan, seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan tetapi takut untuk mengungkapkannya sepenuhnya.

"Tii... dengerin gue," ucap gue sambil memegang kedua pundaknya dengan lembut namun kokoh, seperti mencoba memberikan kekuatan agar obrolan ini tidak berlalu begitu saja.

"Nggak! Aku nggak mau denger." Ujar Santi sambil berusaha lepas dari pegangan tangan gue. 

Gue menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Gue minta maaf, Tii. Gue nggak bisa bohong kalau gue juga suka sama lu, tapi Tii... gue nggak mau nyakitin lu. Gue nggak mau lu jadi sakit hati," kata gue dengan suara lembut namun penuh penekanan. Setiap kata terasa seperti bebannya menghempas di pundak.

"..." 

Santi menundukkan kepala sejenak, menyembunyikan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. "You deserve better, Tii. Lagian kita bisa kok jadi sahabat," tambah gue, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan yang semakin berat. 

"Iya, aku tahu. Tapi aku nggak bisa kalau harus cuma jadi sahabat," jawab Santi dengan suara pelan namun penuh emosi, seperti ada kepedihan yang sulit dia sembunyikan. Wajahnya menahan kekecewaan, air mata yang hampir tumpah berhasil dia redam, namun kesedihan terlihat jelas di setiap gerak wajahnya.

"Tii..." ujar gue dengan nada penuh pengertian, merasa berat hati melihatnya seperti ini, namun tak bisa berbuat banyak. 

"Thanks, yah," kata Santi dengan senyum tipis yang sulit terbaca, tetapi terasa dalam setiap kata yang dia ucapkan. Ada rasa kecewa yang kuat, disembunyikan rapat-rapat, namun tak bisa sepenuhnya terlupakan.

Gue berdiri di sana, masih mematung, mencoba memahami apa yang baru saja dia katakan. Namun, sebelum gue bisa merespons lebih jauh, Santi tiba-tiba berbalik dan berlari menjauh. Air matanya mengalir deras, terlihat jelas di pipinya yang memerah. Tubuhnya bergetar, seolah menahan sesuatu yang sulit untuk dilepaskan. Gue cuman bisa mematung, menyaksikan punggungnya yang semakin menjauh, merasa hampa dan penuh penyesalan. 'Andai aja elu bilang semua ini sebelum Rani datang.'

Semenjak itu, hubungan gue sama Santi bukannya kembali seperti biasa, malah semakin parah. Setiap kali ketemu, ada jarak yang sulit dihilangkan. Dia mulai menghindar dan jarang mengikuti latihan. Awalnya hanya dugaan, tapi setelah mendengar dari ketua panitia, semuanya menjadi jelas. Santi memutuskan mundur dari perannya sebagai pengantin. 

Gue benar-benar nggak mengerti bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini. Semuanya terasa begitu cepat berubah, tanpa ada kesempatan untuk memperbaikinya. Akhir yang jauh dari harapan, jauh dari apa yang gue inginkan. Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang berharga, dan penyesalan itu terus menghantui gue. 

Setiap momen bersama Santi seakan menjadi bayangan yang sulit dilupakan. Gue merasa bertanggung jawab atas semuanya, meskipun tidak bisa menyalahkan sepenuhnya. Tapi rasa penyesalan itu tetap ada, mengisi setiap pikiran gue dengan kesedihan yang tak terungkap.