Ternyata yang tadi teriak-teriak itu Santi, mantan ketua OSIS sekaligus ketua kelas gue. Dulu, saat gue masih kelas satu, gue pernah suka sama dia. Emang anaknya cantik, imut, tapi dulu gue ditolak mentah-mentah. Dulu, gue pendek, gendut, dan nggak pede—ya jelas aja ditolak. Tapi sekarang, gue udah berubah jauh. Udah lebih keren, percaya diri banget lah!
"Cepetan ke podium! Bukannya malah bengong di sini!" bentak Santi dengan nada tinggi, suaranya yang lantang menarik perhatian siswa dan siswi lain di sekitar kita.
"Biasa aja lah. Nggak usah pake teriak-teriak gitu." Jawab gue santai, meski dalam hati, gue bertanya-tanya kenapa dia tiba-tiba begitu bawel.
"Kamu itu dibilangin malah ngeyel!" tambah Santi dengan suara sedikit membentak.
"Ayo Ngga, kita cabut aja daripada mak lampir ngomel lagi," celetuk gue sambil sedikit becanda, berharap bisa mengendurkan tensi.
Santi melotot ke arah gue dan Angga sebelum berbalik dan meninggalkan kita berdua. Santi kemudian menghampiri teman dekatnya sebelum akhirnya kembali menatap ke arah gue dan Angga dengan tatapan asam yang menusuk.
'Anjrit, ini anak masih aja ileran sambil ngeliatin Echa yang lagi jalan ke arah podium sekolah,' bisik gue dalam hati, saat melihat Angga yang masih bengong mengamati lekak-lekuk tubuh bahenol Echa yang sedang bercanda dengan teman-teman sekelasnya.
Gue ngelirik Angga yang masih bengong dengan muka yang sangat mesum. Mukanya itu udah kayak karakter di film horor mesum, penuh imajinasi ngalor ngidul dengan ke-horny-an yang maksimal dan otak yang seolah disimpan di selangkangan. Lama-lama malah gue yang malu sendiri, "Lo nggak malu ngelirik-lirik terus?" gue bilang kesal, sambil menoyor kepala Angga sedikit.
Angga cuma senyum-senyum, pura-pura nggak dengar. "Emang kenapa sih? Dia kan enak dilihat," jawabnya santai, tapi senyumannya nggak ada beda dari tadi.
"Enak dilihat, iya… tapi mukamu itu loh, nak—lebih kotor dari got!" gue ngomel sambil ngelengos pergi. Rasanya pengen toyor kepala Angga biar sadar kalau ada hal lain yang lebih penting daripada cuma jelalatan lihat bokong cewek. Tapi ya, udah tahu lah si Angga, dia mah ya begini-begini aja, nggak bakal berubah meskipun udah diomelin berapa kali pun.
Sambil berjalan ke arah podium, gue menemukan lagi sosok Santi di barisan paling depan. Gue merasa ada yang aneh dengan sikap Santi akhir-akhir ini. Mulai beberapa bulan lalu, sikapnya ke gue mulai berubah. Dia sering marah-marah nggak jelas, nggak jarang ngajakin berantem mulu, termasuk yang tadi itu. Gue yang emang dasarnya iseng, suka banget ngerjain Santi. Mungkin kalau gue kerjain dia bisa agak "normal" dikit. Tapi ternyata tiap kali gue ngerjain dia, malah dia makin marah-marah.
Gue pikir mungkin dia lagi dapet "tamu bulanan" atau apa yang bikin dia jadi sensitif banget. Atau mungkin gue punya salah sama dia, tapi gue sendiri nggak tahu apa itu. Santi yang dulu ceria dan penuh semangat, tiba-tiba berubah jadi sosok yang gampang tersulut amarah. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi gue tahu pasti ada sesuatu yang nggak beres. Dan gue, ya, gue cuma bisa berspekulasi. Tapi satu hal yang jelas, dia bikin gue penasaran setengah mati.
***
Gue sekarang duduk di lantai menghadap podium sekolah. Dari teman gue yang datang duluan, gue dengar kalau semua siswa dikumpulin di sini buat dengar pengumuman nilai UN terbaik di sekolah gue.
"Untuk nilai UN tertinggi ketiga adalah... Angga Setiawan," seru salah satu guru dengan lantang.
"Wih keren bro, selamat ya!" gue memberi Angga ucapan selamat dengan penuh semangat.
"Makasih bro. Padahal gue juga nyontek dari lu," jawabnya dengan muka polos tanpa dosa, membuat gue cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Kampret. Gue aja belum tahu gue lulus apa nggak," balas gue sambil menghela napas panjang.
"Sabar bro," serunya sambil maju ke atas podium untuk menerima penghargaan berupa hadiah dari kepala sekolah.
"Untuk nilai UN tertinggi kedua... Resi Felicia," lanjut guru berikutnya dengan nada ceria.
"Untuk nilai UN tertinggi... selamat untuk Reka Adisubrata," tambahnya, diiringi tepuk tangan meriah dari semua siswa yang hadir.
Namun, di tengah kegembiraan itu, gue mulai bingung. Kok gue bisa dapet nilai tertinggi? Padahal gue nggak pinter juga. Kerjaan di kelas aja tidur, jarang dengerin guru, apalagi belajar dengan serius. Bahkan pernah saat ujian, gue nyontek sana-sini. Apa jangan-jangan nilai gue ketuker sama siswa jenius? Ya pasti nilai gue ketuker. Gue nggak mungkin seberuntung ini. Kepala gue penuh dengan dugaan dan keraguan, sementara nama gue diumumkan sebagai salah satu yang terbaik.
Gue diam sejenak, mencoba menerima kenyataan yang sulit dipercaya ini. Meskipun ada sedikit rasa bangga, tetap saja di dalam hati gue nggak bisa menepis bahwa ini semua terasa seperti mimpi. Sambil duduk di lantai menghadap podium, pikiran gue berputar—ragu, tapi juga sedikit bersyukur. Namun, tetap ada rasa tidak nyaman yang menempel, seolah ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang gue pahami.
Akhirnya gue naik ke atas podium bareng si Angga dan siswi yang nggak gue kenal. Semua orang memberi gue ucapan selamat. Padahal gue yakin kalau nilai gue itu ketuker (*dapet nilai tinggi malah nolak (-_-') *) Rasanya aneh banget, seperti menjalani sesuatu yang nggak sepenuhnya real.
***
Sesudah pengumuman tadi, gue dipaksa buat traktir anak satu kelas. Buset, rugi... rugi banget! Gue nggak bisa nolak, dan gue tahu betul kalau gue nolak, pasti bakal digantung di tiang bendera sama anak-anak satu kelas yang lagi semangat merayakan kemenangan gue. Rasanya... udah salah kalau gue berusaha menolak. Jadi, ya, gue ikutan aja, walau dalam hati gue meringis ngelihat pengeluaran yang harus gue tanggung.
Waktu lagi asik ngomong-ngomong sama anak-anak, dateng si mak lampir A.K.A Santi. Gue yang sekarang nggak begitu suka sama kelakuan dia akhir-akhir ini, nggak begitu peduli sama kedatangannya. Walaupun ada sesuatu yang mengusik pikiran gue, seperti rasa bersalah atas perubahan sikapnya. Selama gue duduk di kantin, gue terus memperhatikannya—dia terus saja ngeliatin gue. Alhasil, gue jadi salting. Apa yang salah sama gue? Gue tanya si Angga, apa ada yang salah sama muka gue. Gue cek baju, celana... perasaan nggak ada yang salah.
Tiba-tiba Santi berdiri, lalu dengan lembut namun penuh tekad, dia menarik tangan gue dari kerumunan teman sekelas di kantin. Wajahnya terlihat gugup, tapi seolah ada keberanian tersembunyi yang membuatnya melangkah maju. Meskipun ekspresinya terlihat galak dan judes, pipinya memerah merona—menunjukkan perasaan malu yang terpendam. Gue hanya mengikuti, sedikit bingung dengan perubahan sikapnya yang begitu drastis. "Reka, aku mau bicara sama kamu..." ucap Santi pelan, suaranya lembut namun penuh makna.
Kami berjalan bersama menuju tempat yang benar-benar sepi, di mana hanya ada suara angin dan suasana yang terasa begitu sunyi. Tempat ini dikenal angker di sekolah gue, dan gue mulai bertanya-tanya, ngapain Santi memilih membawa gue ke tempat kayak ini. Bukan soal takut dengan keangkeran tempat ini, tapi ada ketidaknyamanan yang aneh waktu elu di tempat sepi kayak gini bareng cewek cantik seperti Santi. Takutnya otak gue dipenuhi oleh hal-hal yang nggak perlu. Ada bisikan setan sedikit aja bisa-bisa ada hal yang diinginkan terjadi.
"Apaan sih, narik-narik gue segala?" protes gue dengan nada yang sedikit kesal, mencoba melepaskan lengan yang mulai terasa sedikit sakit akibat ditarik cukup keras oleh Santi.
"Aku mau ngomong sama kamu, berdua aja," jawab Santi dengan suara yang serius, matanya menatap dalam seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Ada gelombang emosi yang tak terdefinisikan di balik tatapannya—campuran antara gugup, berani, dan sedikit malu.
"Gak usah pake ditarik-tarik juga dong!" sahut gue dengan nada yang sedikit kesal, sambil menunjuk lengan yang kini mulai memerah. Namun, di balik rasa sakit itu, ada kebingungan yang lebih besar. Perubahan sikap Santi yang tiba-tiba dari galak menjadi lembut membuat gue tertegun. Dia bukan lagi sosok yang cuek dan terkadang judes, melainkan seseorang yang tampak lebih rentan dan penuh penyesalan.
"Iya, aku minta maaf," kata Santi dengan suara yang lebih lembut, terdengar sedikit bersalah. Ekspresi penyesalan yang terpancar jelas dari wajahnya membuat gue melunak sedikit. Ada rasa hangat yang muncul di hati, bercampur dengan ketidakpastian akan maksud dari pernyataannya yang mendalam itu.
"Maksudnya mau ngomong apa? Sampai harus berdua aja, gak bisa apa ngomong depan anak-anak aja?" tanya gue, merasa penasaran sekaligus masih sedikit kesal. Rasa ingin tahu ini bercampur dengan keraguan, karena selama ini Santi selalu memegang sikap yang tegas dan tak pernah menunjukkan sisi lembut seperti ini sebelumnya.
"Enggak bisa. Aku mau ngomong sama kamu empat mata aja," Santi melanjutkan, kali ini suaranya lebih rendah dan mantap. Ada ketegasan di balik nada lembut itu, membuat gue merasa sedikit lebih terbuka pada apa yang akan diungkapkannya.
"Ya udah ngomong aja," jawab gue dengan sedikit keluhan, merasa lelah karena situasi yang terasa begitu berat dan membingungkan. Tapi di sisi lain, ada rasa ingin tahu yang terus membara, mengalahkan segala kebingungan itu.
"Sebenernya aku..."
Saat Santi hendak melanjutkan perkataannya, tiba-tiba ada suara langkah kaki yang menghampiri. Sosok yang datang membuat jantung gue berdebar kencang bukan karena ketakutan, tapi karena siapa yang muncul. Bukan setan, jelas bukan—nggak mungkin ada setan yang secantik bidadari. Dan gue juga bukan tipe yang takut diadukan mojok sama cewek di tempat sepi, lalu diarak keliling kampung. Sosok yang membuat gue terkejutkan adalah Rani—cewek gue.
"Kak Reka, Teh Santi? Ngapain kalian berduaan di tempat sepi?" tanya Rani dengan suara yang sedikit naik, penuh rasa ingin tahu dan sedikit cemburu.
"..." Gue bingung harus berkata apa lagi, seolah-olah tertangkap basah sedang berselingkuh. Semua kata-kata tercekat di tenggorokan, membiarkan hanya kepanikan yang tampak di wajah gue.
"Eh Rani. Ini aku sama Reka tadi disuruh guru olahraga buat ambil matras." Santi langsung menjelaskan dengan tenang, tetapi suaranya terdengar sedikit gugup. Kebetulan lorong tempat kami berada memang dekat dengan gudang sekolah.
"Hah? Jadi lu tarik-tarik gue cuman buat ngambil matras doang?" tanya Rani, kali ini terdengar terbata-bata dan sedikit ikut berakting seperti mempertanyakan sesuatu yang tak wajar.
"Ehm nggak.. eh iya.. iya," jawab Santi terbata-bata, menelan perasaan canggungnya.
"Lah kan sekarang bukannya pengumuman kelulusan kalian yah?" Tanya Rani curiga, matanya menyipit seperti memeriksa kami dengan penuh ketidakyakinan.
"Eh... itu.." Santi kebingungan untuk menjawab, mulutnya terkatup rapat seolah ada sesuatu yang ingin disembunyikan.
"Itu... ga tau deh, Pak Bambang kan emang suka gitu ngerjain kita. Sayang nanti pulang maen dulu yah" gue mencoba mengalihkan pembicaraan ke topik lain agar Rani tidak semakin curiga.
"Oh kirain lagi ngapain.. ya udah aku masuk kelas dulu ya kak. Dah Kak Reka sayang nanti aku tunggu yah. Dadah juga Teh Santi," Rani akhirnya meninggalkan kami, masih tampak sedikit bingung, tapi tetap curiga.
"Elu emang minta tolong buat bantuin ngambil matras? Klo gitu ga usah pake tarik-tarik. Untung aja Rani nggak mikir macem-macem. Lu sih..." gue pura-pura mengeluh, berharap memang itu yang dimaksud Santi.
"Eh, kok dia nggak nyaut-nyaut?" gumam gue heran. Pas gue nengok ke belakang, ternyata dia tengah menangis.
"Lah emang gue salah apa kok dia sampe nangis gitu?" tanyaku heran, mencoba mencari jawaban atas sikapnya yang tiba-tiba berubah.
"…"
"Ngomong dong Ti, maafin gue kalau gue salah deh," kata gue lirih, mencoba menghiburnya.
"Kamu nggak salah kok.." Santi menjawab dengan suara yang lembut, namun tetap menahan kesedihan yang dalam.
"Lah trus kenapa lu nangis?" tanyaku, mulai cemas.
"…"
"Ti?"
"…"
Santi hanya menundukkan kepala, seakan menyimpan sesuatu yang begitu berat di dalam hatinya.
"Santi?" tanyaku semakin lirih, menatap matanya lekat-lekat. Dia kemudian mengangkat wajahnya, langsung menatap gue dengan dalam.
Gue bingung dengan situasi yang gue hadapi sekarang. Ada sesuatu yang begitu familiar, begitu mendalam dalam tatapan matanya—seperti sebuah kisah yang telah lama terkubur dalam waktu. Dari dalam tatapannya, gue menangkap sebuah kesedihan yang teramat dalam, bercampur dengan harapan yang tak tergapai.
Wajah itu semakin dekat, semakin mendekat, dan tanpa sadar, gue merasakannya. Sebuah kecupan lembut dan hangat menyentuh pipi gue. Benda basah yang lembut itu menyentuh kulit dengan penuh makna, membuat waktu seolah berhenti sejenak.
Jantung gue berdegup kencang, dan seolah-olah nyawa gue melayang-layang dari raganya. Namun, dalam detik itu, semua terasa begitu indah—seolah-olah segala rasa, segala emosi, hanya tertumpah dalam satu momen yang tak terlupakan.